Ramadhan memang hampir berakhir. Namun, serupa apa saja yang mendekati titik akhir, segala macam kenang mudah berlintansan di depan mata. Sesekali, bahkan ia mengundang linangan air mata.
Ramadhan tiba, ramadhan tiba… tiba-tibaaa ramadhan —- Begitu sorak-sorai anak-anak tepat di depan rumah. Setelah itu, mereka semua tertawa. Penyebabnya sederhana: tetangga saya bernama Pak Ramadan.
Waktu menunjuk pukul 2.10 dini hari. Sementara puluhan anak-anak kecil — sambil membawa kentongan dan panci — tampak begitu bersemangat tanpa sedikitpun kantuk terlihat di wajahnya.
Dari dalam rumah, saya pun keluar. Sambil menyulut sebatang kretek, saya menyaksikan gerombolan anak-anak yang tak lelah memukul kentongan sambil membangunkan orang sahur itu.
Saya memang sedang menyaksikan anak-anak berusia SD dan SMP bersuka-cita. Tapi, sesungguhnya, saya serupa sedang menyaksikan diri saya sendiri.
Saya menyaksikan bocah kecil dalam diri saya benar-benar hidup bersama anak-anak kecil di depan saya itu. Rasanya mau nangis tapi tidak tahu apa yang mau ditangisi.
Semangat anak-anak kecil yang membangunkan orang sahur, bagi saya, adalah teladan terbaik perbuatan ikhlas. Tak ada yang menyuruh mereka. Tak ada yang membayar mereka. Tapi toh, mereka bersemangat tanpa menunjukkan sedikitpun malas di wajahnya.
Ramadhan tahun ini memang hampir berakhir. Namun, serupa apa saja yang mendekati titik akhir, segala macam kenang mudah berlintansan di depan mata. Sesekali, bahkan ia mengundang linangan air mata.
Puasa masa kecil adalah masa paling menyenangkan untuk diingat. Sampai saat ini, ketika saya terbangun dini hari dan secara tak sengaja mendengar suara tarhim di speaker masjid, ingatan saya akan mudah terlempar pada waktu-waktu puasa masa kecil.
Bagi anak-anak, bulan puasa menjadi bulan penuh kebebasan. Ibadah di bulan puasa terasa begitu menyenangkan. Nyaris tanpa tekanan. Sebab dilaksanakan dengan bermain, bercanda dan penuh kesenangan.
Hanya di bulan puasa, orang tua tiba-tiba menjadi sangat permisif dengan apa yang saya — dan anak-anak seusia saya dulu — lakukan. Ada banyak toleransi yang benar-benar kami nikmati saat bulan puasa.
Waktu bermain terasa sangat panjang dan nyaris tanpa ada batasan. Mau bermain hingga dini hari dan pulang saat menjelang sahur hingga subuh pun, tidak masalah. Dan tidak pernah kena marah.
Hanya di bulan puasa, anak-anak bisa main ke luar rumah pukul 2 dini hari hanya untuk ikut rombongan “thong-thong klek” berkeliling desa untuk membangunkan warga agar sahur — laku mulia yang dikemas dengan main-main.
Pada bulan puasa masa kecil, bermain menjadi label yang identik bagi anak-anak. Dari pagi sampai malam, selalu dirayakan dengan bermain. Selepas salat Subuh bisa langsung jalan-jalan. Siang hingga sore, pergi main karambol dan monopoli di depan musala.
Saat sore tiba, langsung nggolek wengi (ngabuburit) dengan bersepeda keliling desa, atau main bola sejenak sebelum berbuka puasa. Selepas Tarawih, dilanjut main petak umpat atau bahkan main bola plastik di halaman musala.
Ramadhan benar-benar terasa begitu penuh berkah dan sangat ramah pada anak-anak. Hampir sebulan penuh, isinya hanya bermain dan bermain. Beribadah diselingi dengan kegiatan bermain— sungguh anugerah yang amat nikmat.
Waktu itu, saya punya dua teman masa kecil bernama Amin. Amin pertama punya kakak bernama Soleh dan Amin kedua punya kakak bernama Abul. Saat salat Tarawih adalah momen paling asyik sekaligus menggemaskan untuk bercanda dengan kedua teman saya itu.
Sejak dimulai rakaat pertama, saya bersama rombongan teman-teman akan mencari shaf paling belakang. Tentu bukan tanpa alasan. Agar saat dimarahi, kami bisa langsung memencar berlarian.
Kami semua menunggu momen paling krusial sekaligus mendebarkan. Yakni, saat imam mengucap Walad Dhoooollliinn… kami serempak mengucapkan: Soleeehhhh! Lalu diselingi tawa kecil yang berusaha kami tahan bersama.
Jika tidak mendapat marah dari orang-orang dewasa di shof depan, kami, dengan penuh keberanian, akan mengulangi giat itu di rakaat berikutnya. Yakni, saat imam mengucap Walad Dhoooollliinn… kami serempak mengucapkan: Abuuuuuullll!!!
Kelak, ketika dewasa, saya menyadari bahwa apa yang kami lakukan adalah perbuatan yang tidak terpuji dan mengganggu kekhusyukan beribadah. Tapi, entah kenapa, saya sangat bahagia pernah mengalami episode puasa masa kecil.
Saat mudik pulang ke kampung, kadang teman-teman masa kecil masih membahas kebodohan kami di masa lalu. Kami menertawakan apa yang pernah kami lakukan di masa kecil. Di titik ini, saya bersyukur pernah memiliki masa lalu.
Soleh yang dulu namanya sering kami panggil, kini sudah menjadi karyawan swasta di Surabaya. Sedang Abul, kini sudah menjadi guru hingga kepala sekolah di sebuah sekolah berbasis pesantren yang cukup terkenal di Kota Bojonegoro.
Kini, setelah dewasa dan sudah menjadi orang tua, puasa masa kecil terasa seperti investasi nostalgia yang begitu menyenangkan, menggembirakan dan benar-benar nikmat saat dikenang.
Bersyukurlah kamu yang pernah menikmati bulan puasa di masa kecil. Sebab, hanya itu kolaborasi ibadah dan bermain yang begitu teduh dikenang, kala dewasa dan orang tua sudah berlabel pada diri kita.