Kitab Masnawi, yang ditulis perawi Jalaludin Rumi, yang disusun di Ikonium, di kota telaga yang hancur berkali-kali itu dianggap sebagai salah satu puisi terbaik bahasa Persia, mencoba mengurai Islam dengan peribahasa terbaik, tentang sifat-sifat Rahmat, yang kemudian menjadi inspirasi Sufisme dunia.
Kepekaannya kepada ilmu kitab pada awalnya dilontarkan Fariddudin Attar, dengan meramalkan bahwa Rumi akan termasyhur dan akan menyalakan api gairah ketuhanan. Namun segera setelah itu terwujut, jiwa yang terbakar api gairah itu terjatuh ke dalam air kerinduan ketika menemukan sosok Syam Tabrizi, yang mengajarkannya untuk meninggalkan segalanya.
Sebelum perawi Rumi berkata; “Pernahkah kamu memetik bunga mawar (Gul) dari Gaf dan Lam?”, rakawi Jawa menawarkan makna Sumanasantaka terpetik dari sumanasa (bunga) dan antaka (bersemayam). Kayanya perbendaharaan kata-kata tidak sanggup menyamai makna cahaya ketika Rumi berkata “Lihatlah Bulan pada surga, tidak pada air”.
Bahwa tidak akan mudah untuk mengurai sifat-sifat, tanpa terhanyut dan mengalaminya. Sumanasantaka menikmati purnama yang menemukan persemayaman di tempat dimana ia hidup; air telaga, seraya menunjukkan kerinduan itu pada mekarnya yang seketika.
Langit malam berhias bintang, seringkali titik-titik terang di kegelapan langit malam itu dirangkai sedemikian rupa menjadi konstelasi zaman dan dimaknai sebagai jalur-jalur abadi bagi kapal-kapal di atas samudra ketika mengarungi dunia.
Kapal-kapal tidak menyadari bahwa dirinya serupa bunga yang mekar dan mengapung di telaga.
Sementara Sufisme datang dengan kepiawaian navigasi astronomi dengan kapal-kapal itu, Mbah Jumadil Kubro menyiapkan keadaan dermaga sungai Jawa. Kapal-kapal itu memang telah menerima sisi terang purnama di pantai, dengan pasang dan surutnya, namun Mbah Kubro perlu memastikan kapal-kapal itu tetap tersinari cahaya bulan hingga dapat bersandar dengan tenang, jauh di jalur Bengawan, di pedalaman Jawa.
Sampai bulan-bulan dimana rahmat Ilahi akan disyukuri bersama di kapal-kapal maritim maupun lumbung-lumbung petani di waktu panen raya Padi. Pranatamangsa memperkenalkannya sebagai siklus Desta Pardrawana, Sesotya Sinarawedi (intan permata yang bersinar terang), Sekar Lesahing Jagad .. saat induk burung-burung memberi makan anak-anak di sarangnya, saat bunga sriwing juga bunga randu, jatuh dan beterbangan di udara.. (Bersambung).