Salah satu lembaga terbesar di indonesia adalah pesantren. Diakui secara luas bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan sekaligus pusat dakwah Islam paling wahid di Indonesia.
Nabs, proses islamisasi yang telah dilancarkan olen beberapa ulama adalah melalui konservasi, asimilasi, dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi kebudayaan di Indonesia.
Penyerapan nama pesantren dapat ditilik secara nampak dalam berbagai hal. Istilah pesantren sendiri, diserap dari bahasa Sansekerta yaitu _pesantrian_ , yang berarti persinggahan para pelajar agama hindu.
Clifford Geertz, seorang antropolog asal Amerika mengungkapkan pesantren mempunyai makna tempat santri. Ia juga turut mengungkapkan unsur-unsur terpenting dalam pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan suatu kompleks asrama siswa maupun siswi dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan berujung desa.
Ada seorang guru agama, biasanya disebut kiai, dan sejumlah siswa pria muda, kebanyakan bujangan, para santri yang mengaji Al-Quran, melakukan latihan-latihan mistik, dan tampaknya pada umumnya meneruskan tradisi India yang terdapat sebelumnya dengan hanya sedikit perubahan dan aksen bahasa Arab yang tidak sangat seksama.
Dengan unsur-unsur yang telah dipaparkannya kita bisa telaah bagaimana pondok pesantren dilukiskan sebagai bangunan yang mempunyai asrama dan di dalamnya terdapat santri maupun santriwati untuk mendalami ilmu agama yang dipelopori oleh kiai.
Pesantren telah lampau dikenal sebagai institusi pendidikan keagamaan yang unik dan _indigeneous_ khas Indonesia. Ratusan tahun pesantren telah menjadi bagian koheren masyarakat Indonesia, dan lembaga ini masih eksis mengepakkan sayapnya dalam membentuk khazanah intelektual Islam.
Meskipun kerapkali dicap sebagai lembaga tradisional, walakin, dalam berkembangannya, ia telah melahirkan banyak generasi muslim yang mempunyai pemikiran-pemikiran progresif, dan kritis yang disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Pesantren sering dituding sebagai lembaga keagamaan yang konservatif dan statis. Padahal, realitasnya pesantren telah mampu menujukkan eksistensinya sebagai lembaga yang mampu beradaptasi dengan gempuran zaman dengan tanpa kehilangan identitas yang melekat pada tubuh pesantren itu sendiri, Nabs.
Gambaran hemat menyoal tradisi pesantren tersebut menujukkan bahwa pesanren identik dengan
Jamak kita ketahui tipologi dalam pesantren itu berbeda-beda. Ada pesantren tradisional murni/salaf, pesantren tradisional terbuka-terbatas, pesantren tradisional terbuka, pesantren modern, dan pesantren asrama.
Jadi, setiap pesantren mempunyai tipologi yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia. Disebabkan cara pandang yang berbeda-beda perihal wewenang pemegang pondok sesuai pengalaman yang ia geluti, pengetahuan yang ia ketahui, serta hal-hal yang mempengaruhinya.
Belakangan ini, mulai muncul pesantren yang mengembangkan _entrepreneurship_ atau keterampilan bakat.
Pesantren model ini berikhtiar menjawab tuntutan zaman sehingga para santri diharapkan mampu menguasai pilihan yang ia tampilkan, keterampilan yang ia miliki, maupun skil yang ia punyai.
Meski tidak berjibun pesantren model ini yang dikarenakan belum tersedia akses dari negara. Tetapi tak dapat juga dipungkiri, pesantren model ini dapat membawa bekal pada santri untuk mempelajari apa yang ia inginkan dan minati.
Kelindanan informasi menyoal kekerasan yang dilakukan oleh santri di beberapa pondok pesantren entah kekerasan vebal maupun fisik telah menjadi sasaran empuk media untuk menggebuk informasi yang menyangkut seputar isu-isu pesantren yang di stigma buruk oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Bagaimana tidak beberapa tahun ini, pondok pesantren yang secara tempat adalah ruang aman untuk para pelajar dalam memelajari ilmu agama, justru menjadi ruang dimana kekerasan dilakukan oleh beberapa pihak yang mana tanpa diimbangi dengan perlindungan ruang aman bagi korban.
Sangat disayangkan, bagaimana perlindungan hukum perihal kekerasan di pesantren kurang dipertegas oleh pihak yang berwenang dalam membikin peraturan pondok.
Kekerasan dalam bentuk _bullying_ maupun dalam bentuk lainnya dapat berimbas terhadap kesehatan mental korban. Isu-isu menyangkut kesehatan mental di pesantren sangat jarang di gaungkan. Padahal, kesehatan mental merupakan isu yang sangat signifikan untuk diperbincangkan kepada anak-anak muda.
Tak hanya perihal kesehatan mental, pembelajaran perihal isu seksualitas masih menjadi barang tabu, dan beberapa pesantren beranggapan, dengan mempelajari isu seksualitas dikhawatirkan menjerumuskan para santri.
Namun, hal yang terjadi sebaliknya. Kasus kekerasan seksual yang dialami santri oleh para kiai, ustadz, dan gus, menandakan bahwa pesantren juga berpotensi menjadi ruang terjadinya kekerasan seksual.
Bisa kita tilik di media seperti Asumsi, Kumparan, dan Tirto perihal kasus yang menyita perhatian publik, di mana kekerasan seksual dilakukan oleh seorang ustad bernama Herry Irawan yang tega memperkosa 13 santriwatinya, Nabs.
Hingga mengantarkan sang predator seks tersebut mendapat ganjaran berupa hukuman mati oleh pengadilan atau hukuman penjara seumur hidup.
Bagaimana tidak, aksi bejat yang dilakukan pelaku menjamur hingga membikin korban hamil kemudian melahirkan, bahkan beberapa anak dari pelaku menjadi alibi-alibi untuk mendapatkan sumbangan dan santunan dari berbagai pihak dengan dilabeli sebagai anak yatim piatu.
Nabs, tak hanya kasus Herry Irawan saja yang tersorot media, melainkan kasus-kasus kekerasan seksual lainya juga menimpa santri di beberapa pesantren.
Dari kasus-kasus entah berupa kekerarasan verbal dan fisik dalam bentuk _bullying_ maupun kekerasan seksual yang dialami oleh beberapa pembimbing atau mungkin bisa jadi santri dengan santriwati, maupun sesama jenisnya tak dapat dinormalisasi bahkan ditutup-tutupi dengan alasan menjaga nama baik pesantren.
Sudah menjadi rahasia umum di pesantren perihal pelecehan sejenis, disini dimaksudkan laki-laki sesama laki-laki maupun sebaliknya perempuan sesama perempuan dilanggengkan tanpa adanya ruang perlindungan yang aman untuk korban.
Terlepas apapun gendernya, edukasi menyoal seksualitas seyogianya menjadi hal yang perlu diperbincangkan lebih serius di pondok pesantren.
Bisa kita simpulkan respons pesantren perihal edukasi isu kesehatan mental yang dialami santri, entah disebabkan pengkotak-kotakan minat bakat, hafalan, perundungan atau _bullying_, kekerasan seksual belum begitu digaungkan.
Padahal, isu sensitif tersebut bukan sekadar bahan sepele, karena pendidikan yang menyangkut isu kesehatan mental maupun seksualitas sangatlah signifikan dan relevan untuk anak-anak muda yang bertempat singgah di pesantren supaya mereka dapat memahami isu-isu seputar kesehatan mental maupun seksualitas agar meminimalisir terjadinya aksi bunuh diri maupun depresi yang jamak terjadi di pesantren-pesantren.
Menyoal edukasi di pesantren, sangat diperlukan oleh santri untuk menjawab persoalan-persoalan yang menjerat mereka, oleh karena itu, kampanye literasi perlu digaungkan di pesantren, dan seharusnya pesantren juga menyediakan buku-buku luar pondok entah perihal novel, puisi, buku riset maupun buku-buku yang menumbuhkan empati dengan disandarkan melalui kajian kitab kuning yang dikaji dan dimusyawarahkan bersama lebih ktitis lagi.
Agar mereka dapat timbul kepekaan perihal isu kesehatan mental, lingkungan, politik, seksualitas, maupun isu-isu perihal bakat dan minat yang ingin dikembangkan.
Bukan malah mengkotak-kotakkan sebuah ilmu sekaan-akan, ilmu akhirat berkontradiksi dengan ilmu dunia.
Pesantren senantiasa harus mampu bertransformasi untuk mejawab kebutuhan-kebutuhan santri perihal apa yang ia gemari tanpa menghilangkan tradisi yang turun tumurun dilestarikan seperti mengkaji kitab kuning dengan lebih ktitis lagi, Nabs.
Berkaca dari masa lalu bagaimana dunia islam lampau pernah mengalami puncak kejayaan seperti bisa kita cermati misal, ulama seperti Ibnu Rusyd, Al Khawarizmi, Ibnu Kaldun, Ibnu Sina, Al Kindi, dan ulama muslim terdahulu lainnya telah berkontribusi sangat besar terhadap dunia keilmuan di berbagai bidang tertentu bahkan ada beberapa ulama yang ahli dalam beberapa bidang entah kedokteran, ilmu sejarah, ahli kimia, matematikawan, ahli hukum, dan lain sebagainya.
Nabs, hal tersebut menandakan bahwa ilmu pengetahuan sejatinya hadir pada manusia untuk menjawab berbagai persoalan yang menimpanya.
Bukan hadir untuk dikontradisikan antara ilmu satu dengan ilmu yang lain. Pesantren hadir seharusnya berani merekonstruksi dan mendorong para santri untuk menjajal berbagai minat bakatnya, terlepas tradisi yang masih dilanggengkan di pesantren agar tidak terjebak romantisme sejarah Islam yang pernah jaya di masa lampau.
Kita harus yakin santri-santri di seluruh Indonesia mampu menjadi penerus ulama- ulama terdahulu yang mampu menguasai di bidangnya masing-masing dengan catatan pesantren harusn berani bertransformasi menjadi ruang yang terbuka untuk segala ilmu pengetahuan.
Kita yakin santri merupakan salah satu dari sekian juta orang yang mampu berkontribusi dan berpeluang besar dalam memajukan dunia _wa bil khusus_ Indonesia melalui literasi buku-buku yang berkelindan di luar sana.
Oleh karena itu, tuntutan modernitas seharusnya dapat mengubah orientasi pendidikan dan visi pesantren.
Ia mampu tidak lagi hanya memberikan layanan ruang pendidikan keagaaman dalam rangka mencetak ulama, kiai, atau ahli dalam bidang ilmu agama, melainkan juga berani merekonstruksi orientasi pendidikannya menyangkut keilmuan yang lain dalam cakupan yang lebih luas, terbuka, dan inklusif disesuaikan kecondongan bakat dibidangya agar mencetak generasi yang bisa meneruskan perjuangan ulama-ulama lampau yang membawa Islam di puncak kejayaan.
Teringat apa yang pernah diutarakan oleh Tan Malaka, bahwa tujuan pendidikan ialah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.
Kesimpulannya, pesantren perlu melatih nalar kritis santri, menumbuh kembangkan bakat apa yang santri gemari, sehingga timbul empati di dalam diri santri agar dapat mewujudkan peradaban yang maju dengan diimbangi perasaan yang halus atau empati.