Sepatu rusak nggak harus beli baru. Apalagi kalau belinya mahal. Bisa kok diperbaiki. Berbeda dengan hati. Kalau sudah rusak, harus operasi cangkok hati. Jangan cuma cinta yang ada di pikiranmu, Nabsky!
Kata orang, hang out nggak bakal keren kalau nggak pakai sepatu. Dan sepatu keren nggak harus dari merk terkenal. Sebab keren bukan perkara brand. Keren itu soal rasa dan kerapian.
Memperbaiki sepatu rusak jauh lebih survive daripada beli sepatu baru. Selain itu, mereka yang terbiasa memperbaiki, punya daya hidup lebih kuat dibanding mereka yang terbiasa beli. Halah!
Nabsky yang budiman, reparasi sepatu masih cukup eksis di Bojonegoro. Jasa perbaikan sepatu rusak yang kerap disebut Sol Sepatu itu, hingga kini masih mudah dijumpai.
Satu di antaranya dalah Sugianto. Sugianto setiap hari membuka lapak Sol Sepatu di depan kantor BNI Bojonegoro. Tepatnya di sudut pertigaan Jalan Panglima Sudirman dan Jalan Dr. Soetomo.
Menurut Sugianto, sepatu itu sama seperti peralatan pada umumnya. Butuh perawatan. Tidak hanya dipakai terus menerus hingga tidak layak dipakai lagi. Kalau rusak masih bisa diperbaiki.
“Sepatu sekarang itu selalu butuh perawatan, eman-eman kalau rusak terus nggak dipakai,” kata warga Jambean tersebut.
Menurutnya, sepatu rusak paling sering disebabkan lem yang mengelupas. Untuk itu, perlu dilem kembali kemudian dijahit agar lebih kuat dan awet.
Sugianto sering menerima perbaikan sepatu. Paling sering adalah sepatu futsal dan sepatu fantopel. Setiap sepatu yang diperbaiki, butuh treatmen berbeda. Misalnya, cukup dijahit, dilem atau divermak.
“Kalau cuma dijahit, sepasang sepatu biasanya sekitar 20 menit,” kata Sugianto.
Selain itu, bapak 2 anak itu juga bisa mengubah ukuran sepatu. Sepatu yang ukurannya terlalu besar, bisa disesuaikan denga ukuran kaki konsumen. Namun, berbeda lagi jika memperlebar sepatu. Biasanya diperlukan bahan tambahan.
Wiku, warga Bojonegoro, mengaku pernah menggunakan jasa Sol Sepatu. Hal ini karena sepatu yang dia miliki rusak. Alas karet sepatunya mengelupas.
Sepatu tersebut, kata Wiku, memang sering dia gunakan. Nah, saat mendeteksi ada kerusakan, dia memilih memperbaiki sepatunya ketimbang harus beli baru.
“Belinya mahal dan rusaknya kan cuma mengelupas, mending dilem lagi aja. Kalau beli lagi kan mahal,” ucap Wiku.
Sugianto memiliki keahlian memperbaiki sepatu secara turun-temurun. Dia belajar dari kakeknya. Dia mengaku bahwa hampir semua keluarganya, bisa memperbaiki sepatu. Namun, hal itu tidak dijadikan sebagai mata pencaharian.
“Semua kan bisa kerja. Kalau lapangan kerja susah, baru menjual jasa sol sepatu. Kalau jasa kan ga perlu pakai modal ya,” kata pria yang berusia 43 tahun tersebut.
Setiap hari, Sugianto membuka lapak dari jam 10 pagi hingga 4 sore. Dalam sehari, dia tidak pernah menghitung berapa jumlah sepatu yang dia perbaiki. Kalau agak susah atau butuh bahan tambahan, sepatu tersebut akan dia bawa pulang dan diperbaiki di rumah.
“Kalau malam, saya menjahit sepatu lagi di rumah,” ujarnya.
Sugianto mengaku tidak hanya memperbaiki sepatu saja. Bola, tas dan koper juga biasa dia tangani. Selama bisa dilakukan, dia akan melakukannya.
Menurutnya, bekerja bukan semata-mata karena uang, tapi perkara sudah diberi kepercayaan konsumen. Sugianto menyadari bahwa kepercayaan jauh lebih berharga dari uang.
Uang bisa didapat dari kepercayaan, sedang kepercayaan tak bisa dibeli dengan uang. Prinsip itu yang menjadi daya dorong bagi Sugianto untuk tetap menggelar lapak reparasi sepatu.