Sampah makanan. Dua kata ini sering diremehkan orang sebagai sampah yang akan kembali ke alam dengan sendirinya. Namun, ternyata, kenyataannya berkata lain.
Urusan sesampahan memang tak pernah ada habisnya. Bahkan, kerap juga menimbulkan kesalahpahaman dalam penanganannya. Misal soal sampah jenis food loss dan food waste yang belum banyak diketahui.
Nabs, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), organisasi yang menangani makanan dan agrikultur di Amerika menjelaskan, sampah makanan terbagi menjadi dua, yaitu food loss dan food waste.
Food loss adalah penurunan kualitas dan kuantitas makanan karena perilaku oleh pemasok bahan makanan di luar ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen. Biasanya ini terjadi di tahap awal rantai produksi pangan.
Di Indonesia, hal tsb pernah terjadi di tahun 2019, tepatnya di Banyuwangi. Sekelompok petani membuang buah naga hasil panennya ke sungai sebagai aksi bentuk protes terhadap anjloknya harga buah naga di pasaran.
Sementara itu, food waste adalah bahan makanan yang semula diproduksi untuk konsumen, tetapi malah dibuang atau batal dikonsumsi. Hal ini bisa terjadi dalam tahap distribusi, ritel, maupun konsumsi.
Contoh sampah makanan pada tahap distribusi dan ritel (pasar tradisional dan modern) adalah makanan yang sudah kadaluarsa. Sementara pada tingkat konsumsi, contohnya adalah sisa makanan. Hal tsb disebabkan oleh kebiasaan menyisakan makanan, dimana ini biasa terjadi dalam sektor rumah tangga.
Isu ini merupakan masalah global yang berkaitan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama tujuan 2 (Tanpa Kelaparan) dan tujuan 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).
Menurut UN Environment Programme, sekitar 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi (1,3 miliar ton), hilang ataupun menjadi sampah setiap tahunnya. Bahkan, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017, Indonesia adalah negara kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Beliau menyebutkan bahwa limbah makanan yang terbuang atau food loss and waste di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019.
Mirisnya, angka ini bertentangan dengan data tingkat kelaparan di Indonesia menurut Global Hunger Index. Walau tingkat Indonesia masuk kategori moderat untuk pertama kalinya di tahun 2020, kita masih menempati peringkat ke-70 dari 107 negara.
Tak hanya itu, secara tidak langsung isu ini berkaitan juga dengan tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Sampah makanan ini akan mempersulit terlaksananya tujuan tsb. Mengapa demikian?
Pertama, sampah makanan menghasilkan gas metana. Sampah yang terbuang akan dikumpulkan dan ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ketika makanan tersebut mengalami pembusukan, gas metana akan dilepaskan ke udara.
Gas ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Jika gas ini terakumulasi pada TPA, bisa memicu terjadinya bencana ledakan sampah, seperti yang terjadi pada TPA Leuwigajah di Cimahi pada tanggal 21 Februari 2005. Bencana tsb mengubur dua pemukiman dan menewaskan 157 orang.
Kedua, ketika kita membuang makanan, kita juga membuang energi dan air yang diperlukan untuk menumbuhkan, memanen, mendistribusikan, dan mengemas makanan tsb. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), di Amerika Serikat sendiri, produksi dari sampah makanan menghasilkan emisi gas yang setara dengan polusi yang dihasilkan oleh 32,6 juta mobil.
Ketiga, munculnya air lindi/air sampah. Air hujan yang merembes ke dalam tumpukan sampah akan menjadi air lindi. Air ini berbahaya dan beracun karena mengandung zat berbahaya jika berasal dari sampah yang tercampur dengan sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Jika air ini tidak dikelola dengan optimal, maka dapat mempengaruhi kualitas air tanah dangkal di sekitarnya.
Keempat, bisa membahayakan biodiversitas. Kegiatan alih fungsi lahan maupun penangkapan hewan buruan secara besar-besaran untuk produksi makanan bisa mengurangi populasi flora dan fauna di alam.
Tentunya, produksi tersebut terlalu berlebihan karena masih banyak makanan yang menjadi sampah. Selain itu, air lindi dapat mencemari sumur/air tanah, air sungai, dan air laut yang bisa menyebabkan kematian biota laut dan merusak ekosistemnya. Jika ini dilakukan dalam jangka panjang, keanekaragaman flora maupun fauna semakin terancam.
Maka dari itu, seiring meningkatnya populasi manusia, tantangan kita seharusnya bukan bagaimana cara menghasilkan lebih banyak makanan. Namun, bagaimana cara memberi makan lebih banyak orang dengan memanfaatkan apa yang telah kita produksi.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita bisa ikut berkontribusi dalam mengurangi sampah makanan. Mulai dari memberikan makanan yang masih layak kepada orang yang membutuhkan, memisahkan sampah berdasarkan jenisnya, dan memasak bahan makanan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Nabs, pintar-pintarlah dalam berbelanja bahan makanan maupun menyimpannya karena banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah ini. Akan tetapi, dengan tidak menyisakan makanan, kita juga telah berdampak bagi bumi ini. Yuk, jangan lupakan sampah makanan ini!
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2021. Lahir di Jakarta dan tinggal di Bekasi.