All my bags are packed, I’m ready to go
I’m standin’ here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye
But the dawn is breakin’, it’s early morn
The taxi’s waitin’, he’s blowin’ his horn
Already I’m so lonesome I could die
Cafe ini tiba-tiba memutar lagu kesukaanku. Lagu yang kutahu setelah menonton film Armageddon. Sebuah film yang begitu keren, bercerita tentang upaya menyelamatkan bumi dari asteroid yang hendak menabrak bumi, dirilis pada era 90’an ketika aku masih begitu kecil.
Di hadapanku, duduk seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan bukunya. Ia duduk menunduk dengan tangan membentuk siku diletakkan di atas meja sembari memegangi tumpukan kertas berisi laporan.
Tangannya sesekali membetulkan letak kacamatanya, sesekali menyambar kentang di depannya, atau cangkir kopi di sisi sebelah kanan tangannya. Ia begitu serius. Kedua alis matanya hampir bertemu di tengah-tengah. Dahinya sesekali mengkerut seperti sedang menggugat perkataan di dalam bacaannya.
Aku suka caranya mengangkat cangkir tanpa melihat ke arah cangkir itu sendiri. Matanya disihir oleh mantera di dalam kumpulan laporan itu. Perlahan ia mengarahkan cangkir di bibirnya, lalu menyeruput kopi di dalamnya. Perlahan pula ia meletakkan cangkir tersebut kembali ke tempatnya, dengan kuping berada di bagian terluar.
Sadar aku memandanginya, ia meletakkan kertas-kertas laporan itu di atas meja. “Tumben nggak baca buku?” tanyanya padaku.
“Nggak. Aku baca yang lain.”
“Baca apa?”
Aku mengangkat lenganku dan tertawa. Membaca dirimu, batinku.
Dia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. “Masih ada tiga jam. Mau nonton?” Aku menggelengkan kepala. “Gini aja udah cukup.”
Duduk bersama menghabiskan waktu-waktu singkat kami. Hanya duduk bersama, itu sudah sangat cukup. Aku tidak ingin melihat yang lain. Film atau apapun, tapi dia, laki-laki di hadapanku yang sedang mengenakan pakaian piket dibungkus dengan jaket berwarna biru tua.
Dia duduk, melipat tangannya di atas meja. Memandangku dengan matanya yang bundar itu. Tersenyum. Ada lesung pipit di kedua sisi pipinya. Aku suka.
“Kamu baca apa?”
“lingkaran hitam di matamu. Noda kecil di kerah bajumu, darah. Rambut memanjang yang berantakan diikuti brewok. Kapan terakhir kali kamu pulang ke rumah?”
Dia tertawa. “Are you being Sherlock now? Investigates me?”
Kami tertawa. Kurapikan rambutnya dengan tanganku. Rambutnya begitu kasar, entah berapa hari sudah ia tak mencuci rambutnya. “Can i sit next to you?” tanyanya.
Aku mengangguk. Dia seketika berdiri, menggeser duduknya di sampingku, lalu bersandar. Kuambil laporan di atas meja dan kukembalikan padanya.
“Kalau harus diselesaikan, selesaikan aja dulu.”
“Nanti aja.” Ia menutup matanya. Seperti tidur, tapi kurasa tidak.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari keberhasilan membagi sunyi berdua. Kami hanya duduk seperti itu selama tiga jam. Duduk saja tanpa obrolan. Memandangi orang-orang yang lalu lalang. Kendaraan di jalan dan awan-awan yang mengapung di langit.
Keretaku berangkat lima belas menit lagi. Aku harus sudah masuk ke dalam. Kami berpisah di pintu masuk, tempat di mana petugas memeriksa karcis. Aku membalikkan badanku, memandangi kekasihku… lamaa sekali.
Kami menukar senyum untuk bertahan menghadapi rindu selama tiga bulan mendatang.
Now the time has come to leave you
One more time, oh, let me kiss you
And close your eyes and I’ll be on my way
Dream about the days to come
When I won’t have to leave alone
About the times that I won’t have to say …
Oh, kiss me and smile for me
Tell me that you’ll wait for me
Hold me like you’ll never let me go
‘Cause I’m leaving on a jet plane
I don’t know when I’ll be back again
Oh, babe, I hate to go
Teeeetttt. Sebuah seruan untuk bergegas. Aku melambaikan tangan padanya. Dia mengedipkan sebelah mata untuk menggoda. Cheesy sekali, batinku. Kami tertawa. Sampai jumpa~