Sebuah surat balasan sekaligus manifesto untuk kawan-kawan yang kemarin sempat ngirimi link berita untuk saya.
Beberapa kawan mengirim sebuah link berita terkait salah satu personil band Slank, Abdee Negara, yang menduduki kursi komisaris independen PT.Telkom. Salah satunya dari Rizky, komisaris sekaligus Pentolan sekaligus Ketua Sekte Jurnaba yang juga kawan saya.
Dari link tersebut saya paham maksud dan tujuannya. Sebagian kawan mengenal saya Slankers – sebutan fans Slank. Padahal ya tidak begitu amat. Apalagi saya tidak terdaftar dalam keanggotaan resmi Slank fans club yang tersebar hampir di daerah NKRI.
Band beraliran rock ini telah dikenal mempunyai basis massa yang loyal, militan, dan masif. Bahkan pernah muncul anekdot “Apa pun konsernya bendera Slank terus berkibar”. Bagi pecinta musik beraliran melow atau dangdut koplow, tidak usah kaget.
Melalui media Jurnaba ini, saya akan secukupnya bercerita. Ya, saya memang penggemar Slank. Dimulai sekitar 14 tahun lalu ketika saya jengah soal cinta. Cukup rasional seseorang mengagumi bukan karena dominan objek itu sendiri. Namun ada faktor yang melatarbelakangi. Setidaknya bukan karena fanatisme buta. Begitu pula kekaguman saya dengan Slank.
Saya mengagumi Slank bukan secara figur personalnya saja. Tentu dari karya yang tertuang dalam lirik dan lagu. Ditambah nilai bakti orang tua terhadap sosok Ibu. Dibalik kesuksesan Slank tak lepas dari peran sang Ibu yang dikenal Bunda Iffet.
Slank bukan grup musik musiman. Musiknya khas dan cadas. Tidak melulu bertema cinta-cintaan. Pentolan Slank, Bimbim pernah berujar lagu Slank terinspirasi dari beberapa unsur.
Mulai alam (lingkungan), budaya, cinta, dan sosial politik. Bahkan Slank sempat menciptakan lagu bernuansa religius melalui judul Sedekah dalam album Restart Hati.
Kreativitas Slank seolah menutupi perjalanan hidup mereka yang pernah terjerembab narkoba. Slank bangkit dan kembali berkarya. Mampu menyerap aspirasi masyarakat lapisan bawah lewat musik. Bahkan, dengan lantang Slank berani bersebrangan dengan pemerintah.
Tak sedikit lirik musik Slank yang mengusik pemegang sistem pemerintahan. Lirik seperti pada lagu Gosip Jalanan, Aktor Intelektual, BBM, dan Seperti Para Koruptor kiranya merepresentasikan kegelisahan masyarakat.
Tak heran jika Slank begitu diidolakan masyarakat. Wabilkhusus para Slankers dan Slanky. Dalam konteks perebutan basis massa, keberadaan Slankers/ky lebih dari cukup menggiurkan. Maka, bukan suatu kebetulan para politisi pembidik kursi kekuasaan ingin merangkul Slank. Bisa jadi lebih menjanjikan dibanding ormas besar yang telah terpapar dualisme. Apalagi radikalisme. Na’uzubillah.
Adalah Jokowi, politisi yang mampu meluluhkan Slank. Dengan perawakan merakyat, sederhana, dan mengaku rockers, Slank menyatakan dukungan pada Jokowi. Slank tampil all out pada pilpres 2014 dan 2019. Jokowi juga berhasil merangkul tokoh agama berpengaruh demi label halal MUI konsep nasionalis – religius.
Keputusan Slank bukan tanpa pertimbangan matang. Selain karena rocker, bisa jadi Slank telah melihat rekam jejaknya. Sebab, sepertinya belum pernah menemui sosok pejabat yang rela masuk gorong-gorong dan blusukan menyerap aspirasi rakyat secara langsung. Yang ada malah marah-marah hingga membentak bawahan.
Waktu telah berlalu. Jokowi berhasil melenggang menyabet predikat orang nomor satu. Meski demikian saya tidak dapat memastikan bahwa Slankers juga ikut berkontribusi.
Pro dan Kontra
Keputusan Slank kabarnya berdampak bagi para Slankers. Sejak Slank menyatakan ikut berpolitik telah terjadi perpecahan. Bagi yang pro, keputusan Slank adalah hak politik. Tak ada yang salah. Zoon politicon. Manusia adalah makhluk berpolitik. Demikian pembenaran sebagaimana diungkapkan Aristoteles.
Sedangkan golongan kontra lebih pada rasa ngeman, menyesalkan, menyayangkan atau apapun itu istilahnya, masyarakat khawatir Slank tidak lagi menjadi bagian elemen pengontrol kekuasaan. Wajar.
Sejak beberapa tahun, di negara yang konon menjunjung tinggi demokrasi ini, bersikap kritis dan bebas berpendapat berpotensi sanksi bui. Jangan harap hanya cukup dengan permintaan maaf dan meterai Rp.10.000 kemudian dijadikan duta. Enak saja.
Karena itu, eksistensi Slank yang sudah melekat sebagai musisi kritis masih dibutuhkan. Misalnya ketika upaya pelemahan KPK, Slank dengan lantang menggelar konser di depan kantor KPK. Aksi Bimbim dkk kala itu menuai simpati. Tapi, itu di rezim yang dulu.
Saya sendiri tidak dalam posisi golongan pro atau kontra. Saya berdiri di atas semua golongan seperti jargon yang pernah Slank gaungkan. Bagi saya, beda adalah keniscayaan. Terpenting saling menyadari dan tetap satu jua seperti Bhineka tunggal Eka. Namun melihat kondisi, untuk soal politik, sampai saat ini, nurani saya belum terketuk.
Bukannya saya apolitis. Tetapi saya tidak paham politik dan sepintar teman saya yang bernama Arsyad, yang telah menyerap banyak ilmu dari maestro sekaligus profesor ilmu di bidang politik. Saya hanya belajar skeptis dan idealis seperti para koruptor jurnalis yang tidak sekadar memburu berita bombastis dan menuhankan klik belaka.
Menjaga marwah idealisme tidaklah mudah. Apalagi di saat kehidupan mulai terasa realistis. Bagi masyarakat biasa seperti saya, menyimpan idealisme di dalam almari nurani sudah cukup. Dan merasa cukup itu penting. Pun mencukupkan penghasilan yang mungkin serba pas – pasan.
Paling tidak bisa Istiqomah menikmati secangkir kopi Giraz tiap hari. Sembari mendiskusikan literasi, wacana tes wawasan kebangsaan dan kedaerahan, bersama kawan saya, Rizki. Kadang bersama kawan lain yang sedang diet dengan cara melahap buku seminggu satu buku.
Saya memang tidak seberani Dandy Laksono, Rocky Gerung, dan bahkan Jokowi sendiri yang baru mengkritisi kerja, kerja, kerja pemerintah. Bahkan sikap kritis Jokowi ini masuk dalam trending topik twitter dengan tagar#Jokowikritikpresiden.
Hidup di era serba politik praktis dan penuh teknologi seperti ini; bersikap skeptis, idealis, apalagi kritis memang diperlukan keberanian. Sebab, UU ITE terus mengintai. Sementara para buzzerRp siap menyengat.
Slank tak salah menjatuhkan dukungan. Dari sini mungkin terjawab sudah. Bukan soal Abdee mendapat tempat sebagai komisaris. Dan bukan soal saya termasuk Slankers yang sampai harus dikirimi link berita segala.
Apa yang sedang terjadi pada Abdee mungkin bagian dari Min Haitsu La Yahtasib-nya Gusti Allah. Belum tentu bagian dari politik balas budi. Saya tetap Slankers dengan karya yang sesuai marwah Slank. Tetapi saya juga tidak ingin terjebak dalam fanatisme buta.
Sampai saat ini, sesuai titah Slank, di mana pun saya berada senantiasa menebar virus perdamaian dari Papua sampai Merauke. Berdiri di atas semua golongan dari bani bipang sampai jipang. Semua harus bersatu menuju Indonesia maju. Piss…