Buat Nabsky yang suka hiking atau naik gunung, kamu bisa coba gunung yang satu ini. Cocok banget buat kamu yang baru belajar untuk hiking. Lokasinya tidak jauh dari kota. Tapi, merupakan puncak tertinggi di Bojonegoro.
Kami termasuk perkumpulan orang yang tidak terlalu kuat dalam hal ketahanan fisik. Karena teman-teman pada saat itu ingin tahu bagaimana rasanya naik gunung, aku pun memberi alternatif untuk mencoba naik di Gunung Pandan.
Iya, Gunung Pandan. Satu-satunya gunung yang ada di Bojonegoro. Dengan peralatan seadanya dan fisik yang lemah gemulai, kita bisa sampai ke puncak. Tapi jangan tiru-tiru kami ya, Nabs. Karena yang kita lakukan termasuk nekat. Hehe
Gunung Pandan dengan ketinggian 897 mdpl. Sebuah gunung bertipe Stratovolcano yang terletak di selatan Kabupaten Bojonegoro. Utara Kabupaten Madiun dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api (“istirahat”) dan telah lama tidak aktif. Gunung ini jadi puncak tertinggi di Pegunungan Kendeng.
Baiklah, sebagai sosok mirip Fiersa Besari dengan Perjalanan Menghapus Lukanya, aku akan ceritakan pengalaman sekaligus beri ganbaran tentang trek menuju puncaknya.
Perjalanan kami mulai dari kota Bojonegoro ke arah Klino kecamatan Sekar. Jarak ini kita tempuh dengan waktu hampir 2 jam menggunakan motor. Saat itu, kami berangkat pukul 20.00 wib dan sampai 22.20 wib. Karena perjalanan malam, kita pelan-pelan sambil metani jalan.
Sebab, penerangannya kurang memadai. Dari mulai Desa Dander ke arah Desa Bobolan akses cukup baik tapi tetap tidak ada penerang karena sepanjang jalan itu dipenuhi hutan jati.
Sesampai di Paldaplang, akses jalan mulai nggeronjal. Dan suasana gelap semakin menyelimuti perjalanan kami. Pokoknya, harus siapkan nyali cukup untuk melewati jalanan ini, Nabs.
Meski gelap dan sepi, lokasi aman. Sebab, di Bojonegoro jarang ada begal. Tapi ya hati-hati dengan celeng (babi hutan) yang melintas. Ya kalau celeng beneran, kalau jadi-jadian kan jadinya meringis. Hmm
Kami sampai di Desa Sekar sekitar pukul 10 malam. Suasanya masih lumayan ramai. Sebab, kami beristirahat di lokasi Wisata Atas Angin. Pasti tahu Atas Angin dong, Nabsky.
Setelah menikmati seseruput kopi, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Klino. Pendakian Gunung Pandan bisa dimulai dari Dusun Tugurejo. Motor kita titipkan di rumah Pak Kepala Dusun. Saya lupa namanya siapa, yang pasti rumah beliau sangat dekat dengan jalan setapak menuju puncak.
Nah, ini nih perjalanan yang sesungguhnya bakal dimulai. Seperti yang saya ceritakan awal, kami tidak membawa peralatan hiking. Kami tidak membawa tenda. Tidak membawa nasting (peralatan masak). Kami juga tidak memakai baju tebal anti dingin dan anti badai dan anti masuk angin.
Bahkan, kami tidak membawa lampu penerangan. Padahal, pendakian dilakukan malam hari. Sangat tidak patut di contoh ini, Nabs. Tapi perjalanan tetap kami lakukan dengan bekal doa dan tekad kuat.
Formasi barisan kita atur pas kita mau masuk ke jalan setapak menuju hutan. Paling depan ada Wisnu dengan postur besar seperti beruang. Kesepakatan kami menaruh Wisnu di depan karena kami khawatir kalau dia tidak kuat, kita bisa cover dari belakang.
Urutan kedua ada Faisal. Mahasiswa Unigoro yang belum pernah naik Gunung. Persiapan yang Faisal bawa sungguh sangat sia-sia. Terbukti di dalam ransel yang ia bawa tidak berisi apapun kecuali laptop dan bongkokan kunci gembok. Entah apa yang dia pikirkan sampai membawa laptop ke mana-mana. Ini gunung woyyy!!
Kemudian barisan ketiga ada Saya sendiri. Gunung Pandan bukan gunung pertama yang saya daki. Namun, pendakian malam hari adalah pendakian perdana dalam hidup saya. Kenapa saya menempatkan diri di barisan ketiga? Karena jujur, saya juga penakut. Apalagi kalau soal demit. Waduuuh..ampun wes..
Paling belakang ada Tulus. Dia cukup berpengalaman dalam pendakian Gunung. Sudah 4 Gunung yang sudah dia daki. Dan yang paling penting, dia tahu jalan. Sebab, sebelumnya dia sudah pernah ke puncak pandan.
Okesip. Jadi posisiku paling tepat nih. kalau misalnya ada yang lihat sesuatu, aku bisa berlinduung. Kan posisiku di tengah-tengah. Yee
Kami memulai perjalanan pukul 22.30 wib. Setapak demi setapak langkah menerobos gelapnya malam. Di saat perjalanan kami memakai penerangan menggunakan lampu hp, trek pertama kami menyusuri galengan/lempengan sawah menuju rerimbunan pohon.
Jalanan hanya setapak tanah dan tak berbatu. Di sini masih terasa landai untuk awalannya. Setelah melompati galian kali, baru ada terasa sedikit menanjak. Pada saat itu, pemandangan samping kiri kanan adalah perbukitan kecil. Walaupun gelap,namun sinar rembulan tetap masih menyinari sela sela malam.
Setelah hampir setengah jam lebih perjalanan, kita disuguhi rerimbun pohon mahoni. Nah disini nih Nabs, suasana agak merinding. Hawanya terasa anyep. Rerimbunan pohon menutup sinar rembulan. Suasana menjadi mencekam ketambahan dengan suara krosak krosak binatang yang suka begadang. Langkah kami percepat karena takut. Mataku tak berani menoleh ke mana-mana, hanya menunduk ke bawah saja.
Setelah hampir 15 menit di hutan mahoni, tanjakan mulai menjulang. Badan Wisnu mulai agak sempoyongan, sampai akhirnya sandal swallownya copot japitannya. Jalannya setelah melewati hutan memang agak becek. Mungkin disebabkan adanya kabut malam, sehingga lumayan banyak lumpur yang bikin licin. Buat kamu, hati-hati pokoknya, Nabs. Pakaiah alas kaki yang standart untuk melakukan kegiatan yang seperti ini.
Pukul 00.15 kita sampai gapura selamat datang di puncak Gunung Pandan. Sebentar, belum selesai di sini aja. Kami masih belum percaya ini adalah puncaknya. Sebab, masih ada jalan setapak lagi menuju ke atas. Tapi ini beda. Jalannya hampir semuanya bebatuan. Dan batunya besar-besar. Kalian harus merangkak untuk mencapai ke atas. Bebatuannya sangat licin, Nabs.
Selang 2-3 menit kami melihat ada tower yang sudah berkarat. Di sampingnya, ada semacam gazebo. Di gazebo ada 7 orang yang sedang tidur berselimut sarung. Sambil ada bekas bakaran kayu untuk penghangatan mereka.
Jadi benar kata Pak Kepala Dusun sebelum kita berangkat tadi. Katanya, kami akan bertemu dengan segerombolan orang bertapa di atas. Dan mereka, kata Pak Dusun, berdomisili di Malang.
Kami tak berniat untuk membangunkan mereka. Dengan pelan langkah, tetap berjalan ke gazebo di dekat peristirahatan mereka. Dan, sampailah kita di Petilasan Ki Derpo.
Sedikit ulasan tentang mitos eyang Derpo. Mitos yang ada di puncak Pandan, antara lain Eyang Derpo yang ahli dalam pengobatan secara gaib yang mempunyai hubungan dengan Ki Ageng Lawu. Eyang Derpo masa mudanya bermeditasi di Gunung Pandan dan terkenal sebagai tabib yang mujarab mengobati segala penyakit kecuali penyakit mati atau kutukan orang tua.
Beliau, setelah cukup umur, menikah dengan gadis cantik di daerah Ngrambe (ereng – ereng gunung lawu) tetapi setelah meninggal, beliau dipercaya kembali ke Gunung Pandan dan menetap sampai sekarang.
Keadaan di luar rintik-rintik hujan, Nabs. Jadi keadaan harus membuat kita masuk kedalam.
Kami berempat masuk ke Petilasan Ki Derpo. Ternyata di dalamnya ada 4 orang. 2 orang bapak berjaket kulit. Satu orang pemuda yang sedang menemani embah-embah tua.
“Assalamualaikum”, sapa kami.
“Monggo-monggo mas melebet”, sahut bapak-bapak berjaket kulit.
Di dalam gelap tidak ada penerangan sama sekali. Lampu hape kami nyalakan untuk bisa melihat apa yang ada didalam ruangan tersebut. Ruangan itu berukuran 3×3 persegi. Jadi kalian bisa bayangkan ada 8 orang di dalam tempat itu. Tapi tak apalah karena memang kita juga tidak bawa tenda untuk berteduh dan bermalam terpaksa harus ikut nimbrung dengan orang-orang yang sedang bersemedi. Iya, bersemedi.
Gimana, Nabs. Terlalu panjang ya ceritaku. Ini cerita paling panjang yang pernah aku tulis lho, Nabs. Hehe
Dipost pertama Desember 2018