Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Sebuah Requime untuk Masa Lalu

Branda Lokamaya by Branda Lokamaya
June 29, 2019
in Cecurhatan
Sebuah Requime untuk Masa Lalu
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun lalu, aku akan ke Surabaya menggunakan sepatu.

Ada yang tak bisa ditolak dalam hidup. Cita-cita yang berakhir malang. Kekasih yang menghilang. Hingga orang asing yang disayang, tapi hanya bisa dikenang. Aku sudah berjuang dengan sehormat-hormatnya untuk melupakan itu semua. Tapi, seperti udara, ia kembali datang dengan semena-mena.

Buku itu benar-benar memukul telak kepala sekaligus dadaku. Aku selalu berusaha menjauhi atau berupaya tak pernah membaca judulnya. Atau, saat sekelebat mengetahui wujudnya, aku akan memejamkan mata dan selekas mungkin melupakannya.

Tapi, sore itu, entah kesialan apa yang menimpaku. Seseorang membawa buku itu tepat di depanku. Dia membaca keras-keras di depanku. Andai dia tidak perempuan, tentu sudah aku lempar gelas di kepalanya. Sial, dia perempuan.

Lebih sialnya lagi, perempuan di depanku, yang sekalipun tak kukenal itu, dengan semena-mena, seperti tahu apa yang kurasakan. Dia begitu menikmati ketidaknyamanan yang menerjang ulu hatiku.

Jangankan mendengar kalimat pembuka buku itu. Melihat cover atau judulnya saja, sudah membuat hatiku serasa disogrok-sogrok Tugu Pahlawan. Sekali lagi, andai dia tidak perempuan, pasti sudah kuhantamkan gelas berisi kopi panas di kepalanya.

Tapi, alih-alih aku menghantamkan gelas atau sekadar bergeser posisi ke meja lain, aku justru menikmati suara perempuan yang membaca buku itu. Aku menikmati sayatan duka. Serupa menabur bubuk garam di atas luka.

Aku seperti tak bisa menggerakkan kakiku. Tak bisa, meski sekadar mengubah posisi dudukku. Aku menyesal kenapa harus duduk di meja dekat pintu itu. Bahkan, aku menyesal kenapa harus masuk ke perpustakaan itu.

“Kau seperti tahu buku ini?” Bisakah kau menceritakannya padaku?” Kata perempuan yang tak kukenal itu, mengagetkan.

Bangsat. Aku sudah berusaha tak menatap buku itu. Berusaha tak mendengar suara jelek yang menyuarakan buku itu. Bahkan sedang berupaya untuk pergi dari meja itu. Tapi, dengan kesialan yang sempurna, perempuan itu justru bertanya demikian.

Siapa yang tak mengenal Lima Serpihan Moral? Siapa yang tak mengenal Umberto Eco? Aku sangat mengenalnya. Aku sangat dekat dengan buku itu. Bahkan, aku sempat hapal perkara-perkara yang ada dalam tiap bab di buku itu. Tapi, aku berusaha melupakannya. Berupaya menghilangkannya dari ingatan-ingatan di kepala.

Dan berusaha tak menjawab pertanyaan perempuan di depanku itu.

“Aku tahu, kau pasti pernah membaca buku ini. Kau hanya pura-pura tak mendengar apa yang aku tanyakan,” ucap perempuan berambut lurus sebahu itu, sekali lagi.

Bangsat. Aku sudah berusaha tak mendengarkan apa yang barusan dia tanya. Aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku pada perkara-perkara pekerjaan yang sesungguhnya tak ingin kuingat. Tapi, dengan semena-mena, perempuan itu menanyakannya lagi. Mempertebal pertanyaan yang sebelumnya, dengan begitu tenangnya.

Siapa yang tak ingin menjawab pertanyaan itu? Aku ingin menjawabnya. Aku benar-benar ingin menjelaskan tiap detail isi buku itu. Tapi, aku ingin melupakannya. Aku ingin membuang ingatan tentang apa-apa yang ada di dalamnya. Aku ingin beringsut dari meja itu. Tapi, kaki meja seperti mengikat kedua kakiku.

Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku berupaya tak mendengar apa yang diucapkan perempuan di depanku itu. Aku masih berupaya diam, pura-pura memantau layar ponselku. Tapi, diam-diam hatiku bergumam menjelaskan:

Lima Serpihan Moral, merupakan esai tentang perang, spiritualitas, pers, fasisme, dan situasi menjelang pergantian milenium. Perkara-perkara itu yang dibahas Eco dalam buku tersebut. Setiap bab-nya serampangan dan memang tak saling berkaitan.

Yang menyatukan esai-esai itu adalah ciri etikal tentang apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang tidak seharusnya, dan apa yang tidak harus kita lakukan dengan dalih apa pun. Iya, memilih untuk tidak melakukan dan memilih untuk melakukan.

Entah kenapa, tiba-tiba aku mengingat Adelaida. Dia seperti membacakan buku itu padaku. Membacakan isinya di depanku. Perempuan yang sudah berupaya aku lupakan itu, hadir dalam cover buku itu. Hadir dalam pertanyaan-pertanyaan iseng yang sebenarnya sangat merajam itu.

Tiba-tiba pula, Pasar Blauran, warung kopi di Jalan Kranggan dan berbagai sudut tempat yang pernah kulewati bersama Adelaida, menghantam mata dan wajahku hingga memar-getar serupa rasanya makan makanan yang terlalu pedas dan aku lupa menaruh di mana air minumku.

Adelaida perempuan baik. Perempuan pertama yang aku temui saat pertamakali menginjakkan kaki di Surabaya. Kami bertemu secara tak sengaja. Saat sedang memilih buku di Pasar Blauran.

Waktu itu, aku membeli buku Kiat Sukses Menembus SNMPTN, sehari sebelum ikut ujian perguruan tinggi. Dan Adelaida, entah buku apa yang dia cari, secara tak sengaja menginjak sepatuku. Injakannya tepat mengenai luka di jempol kakiku. Aku reflek menjerit. Kakiku berdarah. Aku mencopot sepatuku.

Dengan penuh kesadaran, Adelaida meminta maaf. Mencarikan Betadine. Meneteskannya di kakiku. Dan sesaat setelah proses mencari buku selesai, dia menemaniku mencari makanan. Kami pun berkenalan. Dia mendaftar di kampus yang sama dengan kampus yang aku incar.

Entah kesialan atau kemujuran, Adelaida dan aku lolos tes SNMPTN. Meski jurusan yang kami ambil tidak sama, tapi kami kian dekat. Dan singkat cerita, hubungan antara kami berdua sudah membara.

Aku sering bolos kuliah demi menemani Adelaida. Sebab, setelah itu, kami akan mencari buku bersama. Menghabiskan waktu bersama, sekadar untuk membahas dan mendiskusikan buku-buku dengan kualitas cetakan yang buruk itu, berdua.

Untuk melakukan itu semua, aku rela tak pernah masuk ke kelas dan hanya menemani Adelaida. Begitupun dia. Dia kerap bolos dan memintaku menemaninya, begitu saja.

Di ulangtahunku, Adelaida menghadiahiku sebuah buku berjudul Lima Serpihan Moral, karya Umberto Eco. Sesungguhnya, aku tak pernah menyukai tulisan berbentuk esai. Tapi, justru karena itu, Adelaida menghadiahiku buku kumpulan esai. Katanya, aku harus mulai membaca esai. Dan entah kenapa, buku itu aku baca. Aku baca hingga aku sangat kenal tiap lekuk lembarannya.

Dan di saat yang sama, aku sangat yakin jika Adelaida, adalah sosok yang dijanjikan. Aku pun memberanikan diri mengenalkannya pada orangtuaku di rumah. Meski sekadar melalui foto dan cerita-cerita belaka.

Aku masih ingat. Sesaat setelah dia memberiku buku itu, aku memberinya buku resep masakan. Aku tahu, dia akan tertawa. Tapi, tak mengapa. Karena aku juga tahu, dia pasti tahu maksudku. Awalnya dia memang tertawa. Tapi, setelahnya, dia menangis. Menangis terharu lebih tepatnya.

Ya, benar sekali. Aku ingin membangun hubungan yang sangat serius padanya. Aku ingin memasak kehidupan bersamanya. Di usiaku yang teramat masih muda, aku sudah nekat ingin melamarnya. Aku ingin menikahinya.

Untuk urusan pernikahan, keluargaku sangat liberal. Aku diizinkan menikah di usia muda, asal tetap melanjutkan kuliah. Sebab, harapan mereka sederhana: aku mau mengurus yayasan milik orang tua.

Hal sama juga dialami Adelaida. Kedua kakak perempuannya, menikah di saat masih sedang menjalani kuliah. Dan orangtuanya sangat terbuka untuk urusan anaknya yang ingin menikah di usia muda.

Aku sering membayangkan bisa pulang dan mengurus yayasan peninggalan orangtua, bersama Adelaida. Setidaknya, dia mampu membenahi kecerobohanku mengurus administrasi. Itu satu-satunya alasan aku masih mau melanjutkan sekolah.

Tapi, angan-angan itu lekas binasa ketika tiba-tiba, Adelaida menjauh dan tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan mengakhiri hubungan kami. Dia hanya menyelipkan selembar surat dalam buku resep masakan yang pernah aku berikan kepadanya.

Surat itu tak berisi banyak pesan. Hanya permintaan maaf karena orangtuanya memilihkan pasangan yang lebih siap mendampinginya. Dan pasangan yang seiman dengannya. Iya, pasangan yang seiman. Sesaat setelah memberikan surat itu, dia tak pernah mau menemuiku.

Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu. Yang jelas, aku bisa tiba-tiba bersedih lalu menangis saat melihat sepatu. Kau tahu, itu perkara yang sangat memalukan bagi seorang mantan pemain bola sepertiku. Tapi, begitulah kenyataannya.

Seminggu setelah aku menerima surat dari Adelaida, aku memutuskan untuk membakar buku Lima Serpihan Moral, Umberto Eco pemberiannya. Buku yang mengajarkan memilih untuk melakukan dan memilih untuk tidak melakukan itu, menunjukkan padaku bahwa pada akhirnya, dia memilih untuk meninggalkan.

Tak hanya membakar buku Umberto Eco, aku juga memutuskan untuk tak lagi ke kampus. Tidak melanjutkan kuliah. Dan aku, juga memutuskan untuk tak pernah mau memakai sepatu saat pergi ke Surabaya.

“Apa kau masih belum bisa memaafkanku?” Kata perempuan di depanku itu, lirih dan menyedihkan.

Aku menatap matanya. Beberapa kali. Iya, aku mengenalnya. Kenal dekat sekali. Aku ingin segera menjawab pertanyaannya. Tapi, suaraku seperti bersembunyi entah kemana.

Kuambil sebatang kretek. Kunyalakan. Kuhempaskan asapnya ke arah mataku. Kutatap sekali lagi mata perempuan di depanku itu. “Aku sudah memaafkanmu. Aku telah memaafkanmu sesaat setelah kubakar buku itu,” suaraku bergetar.

“Tapi, kenapa kau masih tak mau pakai sepatu?”

“Aku kesini untuk liburan. Bukan menghadiri pernikahan, jadi kurasa aku tak perlu pakai sepatu,”

“Saat melihat kau tak bersepatu, aku takut kau belum memaafkanku.”

“Percayalah, aku telah memaafkanmu,” tiba-tiba, hatiku terasa lega. Batu di kepala dan badai di dada yang tersimpan bertahun-tahun, terasa menghilang begitu saja.

“Terimakasih,” jawabnya sambil menangis tersedu.

“Tenanglah, besok jika aku ke Surabaya lagi, aku akan memakai sepatu,”

Kami bersalaman. Berpamitan. Dan tersenyum, lega sekali.

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan
Cecurhatan

Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

February 26, 2021
Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory
Cecurhatan

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021
Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga
Cecurhatan

Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

February 23, 2021

REKOMENDASI

Panggil Saja Aku, Jum

Panggil Saja Aku, Jum

March 2, 2021
Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

Menerawang Khasiat Bunga Telang: Si Serbaguna dari Bumi Anglingdharma

March 1, 2021
Sarapan penuh Kehangatan 

Sarapan penuh Kehangatan 

February 28, 2021
Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

February 27, 2021
Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

February 26, 2021
Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved