Rezim Orde Baru di bawah komando the smilling general ‘Soeharto’ sudah tumbang. Namun warisan-warisannya masih ada. Salah satu di antaranya karya tangan Jokowi dan kawan-kawanya yaitu Neo-Orba atau orde baru bergaya baru plus kekinian dalam balutan kebaikan.
Nabs, rentetan peristiwa telah terjadi di Indonesia. Dari masa nirleka atau prasejarah, manusia purba, kerajaaan, kolonialisme, masa kebangkitan kebangsaan, orde lama, orde baru, dan reformasi yang belum sepenuhnya terjadi. Di saban periode masa terkandung ibrah di dalamnya.
Namun perubahan arah pembangunan bangsa terjadi secara nyata ketika orde baru mencengkram Indonesia dalam tempo yang lama. Dimana seyogianya Indonesia yang merupakan negara agraris mampu menjadi bangsa yang berdikari, bukan menjadi negara agraris yang jauh dari kata agraris dan kerap ngutang sana-sani.
Angin sepoi-sepoi berhembus, pada medio Mei 1998, warga negara Indonesia mampu membuat pendar perubahan dimana rezim diktator plus otoriter ala Soeharto berarkhir secara struktur, namun bukan berakhir secara kultur.
Dimana korupsi, kolusi, dan neportisme (KKN) menjadi trend di kalangan pejabat Indonesia. Nampaknya pemikiran dan laku founding parents Indonesia absen/tidak hadir dalam denyut nadi pejabat negeri.
Sebuah cerita yang masyhur dan penuh teladan dari Bung Hatta, dimana dia rela tidak membeli sepatu keinginannya, dan lebih mencurahkan jiwa dan raganya untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Di era kiwari, demokrasi di bawah kemudi Jokowi bak senjakala. Hal tersebut bisa diketahui dari berbagai peristiwa yang terjadi dari Sabang hingga Merauke. Dikutip dari Catatan 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang diterbitkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengabarkan bahwa demokrasi perlahan mati di tangan Jokowi.
Hal tersebut terjadi karena memburuknya situasi kebebasan sipil, absen atau tidak hadirnya negara daalam melindungi human rights defender atau pembela HAM, macetnya reformasi sektor keamanan, sikap buruk Jokowi terhadap isu global, pendekatan represif di Bumi Cendrawasih ‘Papua’, dan berkaratnya kasus pelanggaran HAM berat.
Di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, Jawa Timur, terlihat jelas bagaimana peran aparat keamanan terlalu mencampuri ranah sipil. Hal tersebut bisa diketahui di balik bisnis minyak, bisnis izin usaha seperti hiburan malam, dan lain sebagainya.
Dikutip dari Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bojonegoro Jawa Timur (KontraS, 2004), bentuk-bentuk keterlibatan militer dalam bisnis nampak jelas di Bojonegoro, terbagi dalam bentuk institusional, non-institusional, dan ilegal.
Bentuk bisnisnya di Bojonegoro antara lain: bisnis jasa transportasi (Gajah Oling), keterlibatan militer dan polisi di perusahaan minyak di Bojonegoro (Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java dan Technical Assistance Contact Pertamina-Mobil Cepu Ltd.), bisnis pengamanan sarang burung walet dalam balutan Primer Koperasi Angkartan Darat (PRIMKOPAD), dan lain sebagainya.
Beberapa hal tersebut berdampak pada kehidupan sosial dan budaya mayarakat Bojonegoro, ada beberapa pihak yang mengungkapkan ketidaknyamanannya dari campur tangan militer, seperti di pengamanan sarang burung walet, karena pemilik gedung sarang burung walet harus membayar dobel yaitu pajak ke Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan ke PRIMKOPAD.
Kalau bayar pajak, uang (harus) lari ke rakyat, kalau ke PRIMKOPAD? Tidak ada titik terang hal ihwal tersebut.
Nabs, perlu upaya semua warga negara Indonesia untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Entah itu pegawai, pengusaha, pelajar, buruh, petani, dan lain sebagainya. Wabilkhusus mahasiswa, yang kerap gembar-gembor mahasiswa sebagai agent of change ketika ada masa orientasi mahasiswa baru, bak teriakan di udara yang hampa dan tak bermakna.
Lantas apa perubahan signifikan karya mahasiswa? Komersialisasi pendidikan telah membutakan mahasiswa dan beberapa kalangan tentang permasalahan pokok bangsa. Lebih asyik kuliah pulang-kuliah pulang, atau kuliah rapat-kuliah rapat dan ujung-ujungnya menjadi kapitalis birokrat, wqwqwq.
Mari, mendekatkan diri pada tanah dan air di desa-desa, melakukan pengabdian yang sesungguhnya bersama warga negara yang ada di desa-desa, gotong royong, advokasi buruh dan petani, dan lain sebagainya. Karena menurut Wakil Presiden pertama Republik Indonesia ‘Bung Hatta’, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakrata, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin desa”. Lal salam!