Banyak ilmu yang tak punya adab, akan mudah terlihat bodohnya. Sedang sedikit ilmu yang punya adab, mudah menyembunyikan kebodohannya.
Era medsos membikin orang-orang punya kecenderungan melampaui kemampuan The Gang of Three (Socrates, Plato dan Aristoteles). Bahkan, tak sedikit yang memiliki kemampuan ketiga-tiganya sekaligus.
Socrates menekankan pentingnya argumentasi dan pemikiran kritis dalam berpikir. Plato menekankan perlunya selalu mencari kebenaran dan mempertahankan pemikiran kritis. Aristoteles mengembangkan pemikiran kategoris — segala sesuatu harus dapat didefinisikan dan dikategorikan.
Dari kecenderungan Socrates maupun Plato maupun Aristoteles, semua sudah dipahami dan dikuasai dan diterapkan oleh masyarakat era digital. Sehingga, tak ada kesempatan untuk menjadi sederhana. Semua harus diselesaikan secara cerdaswi dan pandaiwi.
Karena semua harus cerdaswi dan pandaiwi, tak ada ruang temu bagi kesantunan. Sebab, semua harus diselesaikan secara keilmuan. Sial, keilmuan cuma bungkusnya. Tapi dalamnya nafsu belaka. Nafsu ilmuwi atau ilmu nafsuwi.
Dari Socrates yang menekankan pentingnya argumentasi dan pemikiran kritis misalnya, saya kira sudah jarang ada orang yang tidak bisa berargumentasi dan tidak berpikir kritis. Hampir semua orang yang bisa nyambungkan ponsel ke Wi-Fi, pasti kritis dan kerap membeber argumentasi.
Meski, tidak semua yang dikritisi dan di-argumentasikan, sesuai dengan apa yang terjadi. Yang penting terlihat kritis dulu. Yang penting tampak argumentatif dulu. Sesuai dan tidak sesuai permasalahan, itu urusan nomor 15.
Berargumentasi tentang Pilpres adalah satu contoh paling mudah. Meski tak paham sila ke-2 atau ke-3 atau ke-4, membela mati-matian capres idola adalah seutama-utamanya perjuangan. Bukankah itu sesuatu yang hehe sekali?
Dari pandangan Plato yang menekankan perlunya selalu mencari kebenaran juga sama. Semua orang kini hobi sekali mencari kebenaran. Sialnya, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran versi kelompok masing-masing. Bukan kebenaran yang objektif sesuai kondisi.
Dan lebih sialnya lagi, proses mencari kebenarannya terlalu memaksakan diri. Sehingga, muncul berbagai narasi. Oke, tidak ada narasi tunggal di dunia ini. Tapi, jika semua pihak membikin narasi sendiri-sendiri, mana bisa produktif? Coba pikir, bagaimana bisa berkembang biak jika masih suka sendiri? Ehhhh
Yang paling unik dan paling mendekati kenyataan adalah pandangan Aristoteles: mengembangkan pemikiran kategoris — segala sesuatu harus dapat didefinisikan dan dikategorikan. Ini yang saat ini sedang banyak terjadi.
Semua dipandang secara kategorial. Iya kalau variabel kategorinya beragam. Saat ini kategorinya cuma dua. Hitam atau putih. Tuhan atau hantu. Joko atau Bowo. Satu atau dua. Bukankah itu sesuatu yang sangat membosankan hehe sekali?
Mendefinisikan dan mengkategorikan segala sesuatu sangat penting. Sebab, kedua kemampuan itu sangat dibutuhkan oleh proses hidup. Tanpa punya keahlian itu, bakal sulit menjalani hidup.
Misalnya, kamu harus bisa mendefinisikan mana yang perempuan dan mana yang laki-laki. Ini kemampuan primer yang harus kamu miliki agar tidak salah ketika mau memilih calon suami atau calon istri.
Atau kamu juga harus bisa mengkategorikan, mana yang cinta dan mana yang cuma-menghubungi-saat-membutuhkan-kamu-saja. Ini penting agar kamu bisa membedakan peran: sebagai sopir grab atau kekasih.
Tapi, kemampuan mendefinisi dan mengkategorisasi jadi membosankan ketika yang didefinisi dan dikategorisasi mbalik-mbaliknya di urusan politik. Anehnya, semua orang tiba-tiba hobi mengurusi itu semua. Hmm
Dalam pandangan Plato, Jiwa manusia dibagi menjadi tiga bagian. Di antaranya: bagian rasional, bagian kehendak dan bagian nafsu-nafsu. Bagian rasio dilambangkan kepala. Bagian kehendak dilambangkan dada. Dan bagian nafsu-nafsu dilambangkan perut ke bawah.
Mari kita ingat, saat marah-marah dan berdemonstrasi, bagian mana sih di antara ketiga bagian itu yang paling berperan? Kalau bagian kepala, pasti bisa berdialektika. Kalau bagian dada, pasti bisa memeram emosi. Nah, kalau marah-marah berarti yang dipakai sempol sama cakar hehe
Di saat semuanya sudah bebas berbicara, kepandaian dan kelihaian dan kecerdasan dan kemampuan berbicara sudah kurang penting. Yang penting itu kemampuan mendengar dan membuka pemahaman.
Sudah sepantasnya adab di depan ilmu. Adab dulu baru ilmu. Bukan ilmu dulu baru adab. Sebab, banyak ilmu yang tak punya adab, akan mudah terlihat bodohnya. Sedang sedikit ilmu yang punya adab, mudah menyembunyikan kebodohannya.
Ingat, kecerdasan itu nisbi! Secerdas dan sekeren dan se-intelektual apapun dirimu saat ini, kelak akan terlihat bodoh pada waktunya. Karena itu, sebelum kebodohan itu terlihat, mari belajar mengutamakan adab.
Dengan mengutamakan adab, memicu hadirnya kesantunan. Kedalaman berpikir dan rasa saling hormat menghormati. Nah, jika sudah saling menghormati, kan tidak ada ruang untuk membodoh-bodohkan orang lain? Gitu nggak sih? Hehe