Pahlawan tanpa tanda jasa identik sebagai julukan guru. Benarkah? Berikut penjelasan dan tips menjadi guru pahlawan zaman now.
Hadirnya Hari Guru Nasional (HGN) 25 November yang baru saja diperingati, harusnya menjadi pemantik bersama, bahwa guru adalah pahlawan berjasa. Bila hari pahlawan dihadirkan sebagai penghormatan terhadap pahlawan yang gigih mengusir penjajah, di HGN, perlu ejawantah bila pendidik (guru, dosen, ustaz, kyai, dan orang tua) yang setia mendidik adalah pahlawan berjasa.
Para pendidik tersebut adalah orang yang dengan tulus, ikhlas memberikan ilmu pengetahuan yang dipunyai untuk mencerdaskan bangsa. Kepahlawanan para pendidik hari ini kiranya perlu disadari oleh siswa zaman now di tengah maraknya sikap kurang terpuji peserta didik kepada guru.
Apalagi, posisi guru yang dulu sebagai sumber primer pengetahuan, hari ini perannya terasa tergantikan oleh derasnya teknologi dan informasi.
Hadirnya internet mau tidak mau menjadi kompetitor terhadap guru. Internet dengan segala kecanggihannya, mampu menampilkan keinginan pengguna terhadap aneka konten. Baik berupa narasi, foto, video dan lainnya.
Sehingga, keserbacanggihannya mampu memanjakan “peserta didik” lebih percaya hasil informasi mbah google, dari pada informasi guru. Alhasil, guru “tanpa tanda jasa” akan selamanya menjadi merk paten yang jasa kepahlawanannya tidak dikenang dan mudah lapuk bagi mereka.
Hanya kenangan “galak” itulah yang membekas untuk mengingat guru semasa di sekolah.
Jasa Guru
Bagi penulis, menjadi guru yang berjasa di zaman now adalah suatu keniscayaan. Hakikat dan martabat guru perlu direkonstruksi ulang, sehingga keberadaannya menjadi bermakna bagi peserta didik.
Kebermaknaan itu, tidak hanya saat terjadinya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Melainkan, pasca purna belajar, tutur, sikap dan perilakunya menjadi kenangan tidak terlupakan oleh peserta didik untuk ditiru sampai kapanpun.
Untuk meneguhkan guru sebagai pahlawan yang berjasa, tentu hal itu harus dimulai dari kepribadian guru. Artinya, guru mempersiapkan diri menjadi pahlawan zaman now. Jangan sampai pendidik menjadi tidak berarti oleh siswanya sendiri.
Mengutip Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim, “Ketahuilah sesungguhnya orang yang mencari itu akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya tanpa mau menghormati ilmu dan gurunya”.
Berkaca pada hal di atas, menghormati guru adalah suatu keharusan agar ilmu yang diperoleh bermanfaat. Kebermanfaatan itu, hakekatnya belum bisa dirasakan siswa saat berstatus sebagai pelajar.
Baru setelah purna, ilmu yang ditimba bermanfaat dengan ikut andil mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, untuk menjadi guru pahlawan zaman now, bisa dilakukan dengan:
Pertama, profesional mendidik. Guru sebagai profesional profesi, di era kekinian menuntunya siap diri menjadi pendidik inovatif, melek teknologi, cerdas, serta memahami etika sosial baik sebagai warganet maupun sosial kemasyarakatan. Inovasi guru, terwujud dalam pembelajaran yang menyenangkan (fun).
Kemelekan teknologinya, menghadirkan guru cakap membuat aneka conten pembelajaran, penguasaan aplikasi PJJ, hingga menjadi informan informatif penggunaan teknologi tepat guna. Adapun pada wilayah kecerdasan dan etik jejaring sosial, gemar belajar dan melengkapi diri terhadap literasi etik dunia maya.
Kedua, punya kompetensi tambahan. Pada tahap ini, guru juga dituntut untuk mempunyai kompetensi (kemampuan atau kecakapan) tambahan di luar tugasnya sebagai guru. Tentang kompetensi yang sebidang dengan dunia pendidikan yang relevan menurut penulis adalah kompetensi menulis.
Guru yang memiliki kompetensi tambahan semisal “menulis”, tentu akan bertambah statusnya. Dari guru biasa menjadi guru penulis. Meminjam bahasa Uhar Suharsaputra (2013:153), guru yang demikian memiliki skill mengorganisir pengetahuan (learning organization) secara baik.
Yaitu, kemampuan menerjemahkan pengetahuan yang dipelajari menjadi informasi sederhana yang bisa diaplikasikan kepada orang lain.
Agar guru bisa memiliki kompetensi menulis, yang harus dilakukan adalah segera mencatat bila muncul ide tulisan.
Terlebih, era medsos ini, banyak persoalan yang terjadi dan mudah kita dapat dari ruang privasi (gadget). Ide persoalan yang muncul tersebut, bisa menjadi bahan tulisan guru agar tidak terbuang sia-sia.
Untuk menjadi penulis, guru perlu meluangkan waktu untuk menulis, jika ia ingin menjadi penulis profesional. Waktunya, secara personal bisa dikompromikan sendiri. Semisal, dipergantian jam mengajar ada waktu jeda yang bagi penulis tepat bila ingin digunakan untuk menulis.
Waktu yang ada, walau sebentar, bisa dioptimalkan menulis buah pikiran yang muncul. Bila kemudian ingin menjadi penulis profesional, mau tidak mau menyisihkan waktu menulis adalah keharusan agar produktif melahirkan karya.
Alhasil, hadirnya blog, facebook, instagram, twitter, website dan lainnya adalah sarana mudah guru untuk belajar menulis. Melalui kebiasaan berlatih menulis yang tanpa lelah, akan membuatnya terampil menulis sebagai skill tambahan.
Ketiga, punya spiritualitas. Spiritualitas yang baik, menelurkan pembelajar dari hati. Hasil yang didapat, selain berpengetahuan, siswa juga akan berubah secara sikap sebagai hasil dari cermin gurunya. Karenanya, sikap guru yang dilandasi oleh nilai-nilai agama (religius), menjadi teladan (uswatun hasanah) para siswa dalam berperilaku.
Seakan-akan, mereka menemukan prototipe yang dekat yang bisa dijadikan rujukan. Jika hal di atas dilaksanakan, guru akan menjadi pahlawan berjasa dan bukan tanpa tanda jasa. Mudah-mudahan, ini menjadi renungan bersama di setiap peringatan HGN.
Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah UNUGIRI Bojonegoro.