Islam ramah menjadi sesuatu yang mewah di tengah politisasi agama Islam yang membabi-buta. Memahami itu, Kiai muda asal Kecamatan Dander, Suudin Aziz membangun konsep Islam ramah di Gubuk Taqrib.
Gubuk Taqrib merupakan bangunan khas desa berbasis kekayuan yang terletak di Desa Sendangrejo Kecamatan Dander, Bojonegoro. Ruang belajar ini diinisiasi oleh dua bersaudara: Suudin Aziz dan Ahmad Roziqin.
Menurut keterangan Suudin, pendirian gubuk ini berawal dari kajian kitab Fath al-Qarib karya Syeikh Abi Syuja’ yang digagas kakaknya, Kiai Ahmad Roziqin bersama para alumni dari berbagai pesantren pada 2011 silam.
Awalnya, kajian kitab Taqrib dilaksanakan sepekan sekali dan berpindah-pindah dari rumah ke rumah anggota kajian. Selama tiga tahun berjalan, anggota kajian kian bertambah.
Ihwal itu memicu gagasan membangun ruang yang dijadikan sinau bareng aneka displin ilmu keislaman. Tentu berbasis keramahan.
“Awalnya pindah-pindah, dan sejak itu muncul keinginan untuk punya tempat,” kata Suudin.
Pertengahan 2014, anggota kajian sepakat gotong royong membangun sebuah gubuk mungil di perbatasan Desa Sendangrejo, Sumodikaran dan Sumberagung di atas tanah milik Ibu Fatimah Irsyad (ibunda kyai Ahmad Roziqin).
Karena terletak di perbatasan tiga desa, jamaah pun jumlahnya meningkat. Bahkan, antusiasme warga di tiga desa tersebut menyertai pembangunan Gubuk Taqrib.
Banyak dari warga masyarakat yang menyumbangkan kayu untuk lantai gubuk, rembulung — atap terbuat dari daun pohon kelapa — hingga tenaga dan konsumsi selama proses pembangunan.
Bertambahnya jumlah santri kalong (santri yang tidak menginap), memicu para santri Gubuk Taqrib memperluas bangunan gubuk. Itu terjadi pada penghujung 2015 silam.
Suudin melanjutkan, pada 2017, Gubuk Taqrib kembali diperluas karena jumlah santri bertambah. Kini, bangunan Gubuk Taqrib menjadi 2 lokal (letter L) dan 1 ruang santri. Uniknya, santri Gubuk Taqrib terdiri dari berbagai usia.
Mulai dari santri kecil (PAUD), santri sedang (SD-SMP), santri remaja (SMA-mahasiswa), hingga santri dewasa. Sampai kini, jumlah total santri mencapai 120-an, terdiri dari 10 orang santri muqim dan selebihnya Santri Kalong.
Suudin mengatakan, di Gubuk Taqrib, banyak pelajaran yang dikaji. Mulai belajar membaca Alquran dan salat hingga mengkaji sejumlah kitab sejarah, fikih, akhlak, tauhid hingga nahwu dan shorof.
Pria 31 tahun yang juga dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unsuri) Bojonegoro itu mengatakan, pemahaman agama yang menyeluruh dan tidak setengah-setengah, sangat penting di tengah maraknya paham agama instan ala internet.
Gubuk Taqrib, kata Suudin, di tengah kesederhanaan dan kekurangannya, berupaya membendung paham Islam instan itu dengan membangun konsep beragama yang ramah dan santun secara kultural di akar rumput.
” Ini upaya untuk memberitahu bahwa Islam itu ramah dan santun,” pungkasnya.