Orang Jawa memang hebat-hebat. Selain santun, ucapannya mengandung makna mendalam. Satu contohnya adalah ungkapan: Pagar Mangkok Lebih Kuat Daripada Pagar Tembok.
Saya mau nulis soal filosofi pagar mangkok. Nabsky pasti pernah mendengar. Atau ada yang belum mendengar? Nah, di sini saya ingin membagi cerita sekilas tentang ungkapan Jawa populer, “Pagar Mangkok Lebih Kuat Daripada Pagar Tembok.” Apa sih itu?
Awalnya saya juga belum tahu. Saya mendapat ungkapan ini dari ceramah Ustaz Agus Sholahuddin. Beliau penceramah yang berdomisili di Bojonegoro. Jika belum tahu, bisa anda cari sendiri di google. Hehe. Insyaallah pasti ada.
Nah, kebetulan, saya ikut kajian beliau waktu itu. Kapan ya? Insyaallah sekitar bulan Maret awal sebelum pandemi covid-19 menyebar ke Bojonegoro.
Temanya adalah tentang zakat, infak dan sedekah. Beliau menjelaskan, bahwa orang itu harus memiliki jiwa berbagi kepada orang lain. Apalagi untuk mereka yang membutuhkan.
Baca juga: Baznas Bojonegoro dan Sembako dari Masyarakat untuk Masyarakat
Seberapapun harta kita sekarang, patut disyukuri. Yakni dengan bersedekah atau mengeluarkan zakat jika sudah sampai nisab. Sedekah tidak perlu menunggu kaya. Jika menunggu kaya, kapan sedekahnya? hehe.
Karena ukuran kaya bagi setiap orang pasti berbeda. Karena pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang ia dapat. Betul tidak? hehe. Itu pun juga dijelaskan di dalam Al-Qur’an.
Berbicara tentang sedekah, tentu banyak sekali manfaat yang begitu dahsyat. Ada salah satu hadis yang artinya, “obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (HR. Thabrani dan Baihaqi). Luar biasa bukan?
Menusia hendaknya senang jika mau berbagi. Seperti judul tulisan saya ini. Pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok. Maksudnya bagaimana? Begini, beliau menjelaskan secara gamblang dan mudah dipahami.
Baca juga: Suka Cita di Pemakaman Umum Lewat Kegiatan Sedekah Bumi
Misalnya ada orang kaya. Rumahnya pagar besi. Keturunan ningrat. Pokoknya tidak kurang suatu apapun. Tapi kok orangnya pelit, ya akan dijauhi orang-orang di sekitarnya.
Pun, misalnya ada orang miskin atau sederhana. Hidupnya cukup hanya untuk makan. Tetapi, jika ia dermawan. Suka berbagi. Ibarat masak kolak satu panci, tapi tetangganya dikasih.
Punya rezeki makanan lain, tetangganya selaku kecipratan. Pasti orang tersebut akan disenangi banyak orang. Hidupnya akan nyaman jika senang berbagi. Meski nilainya tidak seberapa. Tetapi dimata orang lain itu sangat berharga.
**
Pada suatu hari, ketika orang kaya tersebut mengalami kemalingan, tetangganya tidak peduli. Mereka acuh saja. Karena orang kaya tersebut terkenal pelit. Mereka biasa saja. Tidak terlalu berniat untuk menolong.
Pun sebaliknya, ada orang miskin atau sederhana. Mereka kemalingan tv, tetangganya ikut merasakan apa yang si miskin rasakan. Ke sana kemari mencoba menenangkan. Mengejar malingnya. Hingga dapat. Mereka saling merengkuh dalam keprihatinan.
Dari kisah di atas, pembaca akan mendapatkan suatu kesan atau pesan. Dan tentu mengerti apa maksud ungkapan Jawa populer “Pagar Mangkok Lebih Kuat Daripada Pagar Tembok.”
Baca juga: Ketika Tembok Menjelma Telinga dan Mulut
Pagar besi tidak akan ada artinya jika orang tersebut pelit. Ketika si kaya mendapat musibah, jarang ada orang yang mau menolongnya. Karena ia tidak pernah berbagi dan baik dengan tetangganya.
Pun sebaliknya, si miskin gemar sedekah, berbagi makanan. Maka tetangganya pun ikut merasakan dan membantu jika si miskin mendapat musibah.
Nah, Nabsky, manusia hidup bersosial. Berbagi akan melahirkan suatu ketentraman jiwa dan keberkahan. Hal itu diperkuat salah satu hadis: “Sesungguhnya tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, kecuali bertambah dan bertambah.” (HR. Tirmidzi).