Keluarga adalah simpul utama pembentuk masyarakat. Keluarga yang baik akan membentuk tatanan masyarakat yang baik pula. Begitupun dalam hal membaca.
Sungguh akan cerdas intelektual dan spiritual bila uswah membaca hadir di keluarga terkecil kita. Pernyataan penulis ini bukan tanpa landasan. Terlebih, pembaca yang mentelengi tulisan ini bisa mengajukan argumentasi. “Saya sudah membaca, tetapi WA”, atau “Saya membaca di gadget kok!” serta aneka alasan lain silahkan disampaikan.
Terhadap berbagai argumentasi pembaca, penulis sangat berterima kasih karena sudah menjadi bagian jurkam pentingnnya membaca. Walau hakikatnya, perlu dialihkan medianya tidak sekadar membaca lewat sarana sebagaimana termaktub di atas.
Perlu diketahui, agar kita tidak mudah terpengaruh oleh kebiasaan “menonton” terhadap apa yang terpampang di gadget, dan berorientasi pada lahirnya perilaku pasif dan unproduktif, maka pilihan “membaca” dengan tujuan uswah keluarga adalah lebih baik.
Terlebih, kata sir Hermund Hillari, seorang pendaki gunung Everest mengatakan “Ternyata bukan gunung yang perlu kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri,” Brahim Abdullah dan Saleh Miftahussalam (2017:95).
Jika demikian adanya, rela menjadi uswah membaca di keluarga mutlak kiranya dilakukan di zaman now. Apalagi, dalam terminologi pendidikan, keluarga menjadi lingkungan mendidik selain sekolah dan masyarakat.
Hal itu dipertegas pandangan Dr. Zakiah Daradjat dkk (2014:34), bahwa keaktifan mendidik di dalam keluarga -dengan membaca sebagai misal- memiliki tujuan baik sebagai berikut:
Pertama, sarana pengembangan daya -kreatifitas- anak yang sedang mengalami masa pengkayaan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, sarana pemberian pengetahuan dari kecakapan yang urgen bagi masa depan anak; dan Ketiga, membangkitkan motivasi anak tergerak berbuat -membaca- sebagaimana yang dilakukan peng-uswah, mulai dari ayah, ibu, kakak, dan siapa saja yang sregep membaca di dalam keluarga.
Potret Baca
Sayangnya, tujuan mulia di atas belum sepenuhnya terlaksana di lingkup keluarga. Bila ditelusuri, masih terdapat ragam faktor sebagai penyebabnya. Yang kentara, gadget menjadi pengalih luar biasa kebiasaan baik dan konsisten membaca.
Coba dicocokkan pembaca sekalian, ketika bangun tidur, hal utama yang dicari “buku” atau “gadget”? Fakta yang ada, gadget masih dominan yang dicari ketimbang buku. Bahkan, gadget menjadi teman sejati yang dibawa ke mana, di mana, dan kapan saja. Bila gadget ketinggalan di rumah, atau dalam hitungan menit saja, “hampa” di tengah keramaian akanlah terjadi.
Hal itu berbanding terbalik dengan “buku”, tertinggal ya perasaan menyesal, hampa tidak ada sama sekali muncul dalam kegelisahan raut muka. Apalagi, dengan kilah baru, membaca lewat gadget jugakan bisa.
Hanya saja, bagi penulis, membaca lewat gadget akan banyak tidak fokusnya. Penyebabnya, godaan “syahwat” ingin melihat notifikasi medsos yang selalu berbunyi membuat jemari “keram” ini bila tidak segera dibuka. Alhasil, bukan lagi perilaku membaca “e-book” yang terjadi, karena beralih kepada perilaku rutinitas tanpa batas yakni, bermedsos ria.
Di samping gadget, daya beli buku masyarakat kita belum menunjukkan tren kenaikan signifikan. Maka jamak ditemui, lebih familier kuliner “makanan” daripada kuliner “buku”. Indikator yang jelas, tempat kuliner makanan di manapun sudut kemiringannya, hafal di luar kepala serta sudah khatam berkali. Belum lagi tempat shooping (mall), juga mendapatkan prioritas sama sebagaimana kuliner di atas.
Realitas tersebut, tentu berbanding terbalik dengan kuliner “buku”. Untuk sekadar beli buku, beratnya minta ampun uang bergambar “Ir. H. Djuanda Kartawidjaja” alias 50 k, dikeluarkan dari dompet pribadi. Apalagi, sampai mengalokasikan setiap bulan. Alhasil, yang nampak, di keluarga akan meriah koleksi baju, sepatu, tas, dan aneka bentuk kolektor lainnya, dari pada buku. Yang itu kemudian berimplikasi kepada minimnya kepemilikan pustaka keluarga.
Jika sudah begini, dari mana uswah membaca ditemukan? Semoga, tulisan “receh” ini bisa tuntas dibaca saja alhamdulillah. Bisa sedikit membangkitkan hadirnya para “uswah-uswah” membaca di keluarga yang sebelumnya kosong. Selanjutnya, mudah-mudahan melebar dan tumbuh subur ke lembaga pendidikan serta masyarakat pada umumnya.
Mari membaca, ayo membaca, halo “Lur” “Gaes” membaca, membaca dan membaca. Karena dengan membaca, kita berjihad pada diri, mengikhlaskan penyakit akut bernama “kebodohan” segera minggat dari badan kita. Maturnuwun!
Penulis adalah Dosen PAI UNUGIRI Bojonegoro, Pengurus PAC ISNU Balen, dan Mahasiswa Program Doktor UIN Walisongo Semarang.