Untuk Mas Ahmad Fuady atau Syauqi atau Gurnaba Man.
Apa yang tak dikenali secara wujud, bisa dipahami jejak-jejaknya, dari lintasan pikir yang pernah tercurah darinya. Sebab bisa jadi, jejak itu yang usianya mungkin lebih lama, bahkan dari wujudnya sendiri.
Begitupun. Saya mengenal, memahami dan “membaca” Ahmad Fuady tak melalui wujudnya. Tapi melalui tulisan-tulisan dan percik segar progresivitas pemikirannya.
Ahmad Fuady atau Syauqi atau Gurnaba Man, pertamakali menulis di Jurnaba sejak pertengahan Juli ini. Dan sampai saat ini, dia masih rutin menulis. Bahkan, selama Agustus nanti, dia merencanakan tulisan berseri tentang Bung Hatta yang akan menghiasi linimasa Jurnaba.
Dan uniknya, kau tahu, saya belum mengenalnya. Bahkan, tak berkomunikasi dengannya. Kami berkomunikasi melalui seorang wasilah, yang mendaku diri sebagai murid kinasih Ahmad Fuady — dia juga menulis di Jurnaba.
Melalui tulisan pertamanya di Jurnaba, yang berjudul Dinamika Manusia, saya langsung menyimpulkan satu hal penting: jelas dia ini seumuran saya. Umur yang nanggung. Belum tua tapi tidak lagi muda.
Di umur itu, secara psikologis, manusia suka merenung. Sesekali mengingat kejayaan masa lalu, dan berkali-kali cemas akan ketidakpastian masa depan. Sejenis kecemasan yang dibungkus menjadi sekotak nasehat.
Serupa Ahmad Fuady, saya juga sering melakukannya. Hal itu yang membuat saya merasa, sosok penulis misterius ini seumuran saya. Kalaupun mbleset, pasti tidak terlampau jauh.
Saya sangat senang ketika membaca tulisan Fuady berjudul Kutipan Epigram di Ulang Tahunku. Melalui hari ulang tahun GM, Fuady menjelma menjadi Gurnaba Man (GM) atau Goenawan Mohamad, lalu menulis surat untuk saya.
Gurnaba Man. Frasa yang unik. Jika disingkat, jadi GM. Tapi kata Gurnaba, jika dibaca dengan pelafalan alphabet bahasa Inggris, jadi Jurnaba. Tentu, hanya perenung kesepian yang bisa memikirkannya.
Barangkali Fuady tahu kalau saya cukup mengagumi rumitnya tulisan-tulisan Goenawan Mohamad, atau sekadar iseng menyapa saya melalui mediasi sosok surealis GM. Sehingga saat GM ulang tahun, jadi momen dia menulis surat untuk saya.
Surat itu memang pendek. Tidak panjang. Dan sangat sederhana. Saya berani memastikan, saat menulis surat itu, Fuady pasti sedang menunggu antrean. Entah mengantre apa. Tapi bukankah hidup adalah proses menunggu antrean?
Meski pendek, setiap kalimatnya adalah pengingat dan nasehat. Sejenis padatan-padatan pengalaman hidup yang arif nan bijaksana, yang dibelokkan melalui epigram karya Goenawan Mohamad. Sungguh, Ahmad Fuady sosok yang amat tawadhu sekali.
Fuady memang sosok perenung. Itu saya baca dari tulisannya tentang Hikaru Matsuyama di Jurnaba. Serupa Fuady, saya suka bola, nonton Kapten Tsubasa, dan selalu jadi mildfielder saat masih bermain bola.
Bedanya, Fuady Muhammadiyin wa Manchunianin dan saya Nahdliyin wa Liverpudlianin. Tapi, semua itu tak ada gunanya, toh kami memeluk garis-moderat-bijaksana sebagai mazhab ideologinya. Sehingga, sama saja.
Diam-diam, kami berdua meyakini satu kepercayaan yang sama; bahwa tak ada dunia ideal di usia kami. Sebab yang ada hanya dunia pemakluman. Bagi saya, dunia ideal hanya ada di kepala anak-anak yang usianya di bawah 23.
Dan, Ahmad Fuady atau Syauqi atau Gurnaba Man mungkin benar jika saya merintis Jurnaba. Tapi dia salah jika saya menghidupinya. Jurnaba, justru dihidupi oleh semangat dan energi Ahmad Fuady, dan Fuady-Fuady lainnya.
Jurnaba adalah Butterfly Effect. Serupa kepak sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil, yang bermetamorfosis menjadi angin Tornado di Teksas.
Tak peduli sesederhana apapun buah pikir dan wujud tulisan itu, Jurnaba percaya, ada orang di belahan bumi sana yang menanti dan berharap menemui buah pikir itu. Tulisan itu.
Jurnaba adalah hiposentrum, titik getar. Yang semburat menemui episentrumnya. Ia terminal frekuensi, yang menerima bermacam getaran, dari bermacam latar belakang.
Lalu, memantulkan getaran itu menjadi energi baru. Energi yang diharap membawa suluh bagi peradaban.
Jadi, Mas Ahmad Fuady, jangan heran ketika kita bisa ketemu di Jurnaba. Sebab, Jurnaba adalah getaran yang tak mensyaratkan mazhab ataupun aliran untuk bertemu. Asal energinya sama, ia serupa hiposentrum yang menemui episentrumnya. Dan sebaliknya.
Mas Ahmad Fuady, Jurnaba juga ruang mengantre. Ruang mengisi waktu. Sejenis ruang untuk menunggu antrean kehidupan. Bukankah “waktu selalu terisi, dengan hal-hal yang kita ketahui dan tak kita ketahui?”
Terakhir, Mas Ahmad Fuady atau Mas Syauqi atau Mas Gurnaba Man, terimakasih telah berkenan menulis di Jurnaba. Satu postingan tulisanmu, kau tahu, adalah perpanjangan nyawa, bagi energi Jurnaba.