Aku melihat Ali berdiri membelakangi orang-orang. Menyandarkan lengannya pada pagar besi di lantai 2 sebuah hotel, tempat acara kami digelar. Sejujurnya aku bingung bagaimana berhadapan dengan mantan kekasih yang dua bulan lalu terlibat pertengkaran hebat denganku.
Tapi kami sudah baik-baik saja. Sudah memaafkan kesalahan masing-masing. Tapi tetap saja, aneh untuk kembali bertegur sapa seperti halnya teman biasa. Dia menoleh, membalikkan badan, seketika mencari dan menghentikan pandangannya padaku, lalu tersenyum. Aku membalas senyumnya, lantas berjalan mendekat dengan secangkir teh di tangan.
“Nggak makan?” tanyanya.
“Udah tadi. Menunya kurang pas di lidah. Nggak berasa bumbunya.” Protesku sedikit.
“Hahaha. Pas kok. Yang rada aneh itu selera pedasmu. Berlebihan.”
“Bisa jadi. Hahaha.”
Untungnya Ali tipikal orang yang mau menginiasi pembicaraan. Kami kembali berbincang santai sebagaimana teman. Lantas diam beberapa saat karena terlalu banyak tertawa.
Aku mengumpat dalam hati, “tidak lagi. Jangan lagi-lagi!” ya, gadis mana yang tak suka dibuat tertawa. Itu juga mungkin yang membuatku jatuh cinta padanya enam tahun lalu.
Kami menghadap jalanan, menyaksikan keriwehan orang-orang di akhir pekan dan segala kemacetan Surabaya. Membelakangi orang-orang yang hadir dalam diskusi hari ini, kami seperti mengasingkan diri.
Berkali-kali kuingatkan diri untuk waspada. Untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama ketiga kalinya.
Aku tahu dia menoleh ke arahku, tapi aku pura-pura tidak melihat ke arahnya.
Membuang pandanganku ke langit atas, atau jalanan yang padat.
Dia tertawa kecil, dan saat itu kuberanikan diri menoleh.
“Kenapa?”
“Nggak papa.” Dia melihat jari-jari tangannya, lalu mengusap kedua telapak tangan tanpa sebab.
Merekatkannya satu sama lain antara kanan dan kiri.
“Apa rencanamu setelah ini?”
“Mungkin cari beasiswa. Sekolah lagi kalau dapat.”
“Pasti dapat. Nggak mau nikah?”
Aku tertawa kecil. “Belum. Sepertinya bakal lama. Males aja nyari, kenalan, pendekatan, terus putus. Lot of energy. Just too much.”
“Bener sih.” Dia kembali menggosok kedua tangannya. “Inget nggak kita dulu makan di sini? Pertama kali kukenalin kamu sama mama-papaku?”
“Inget lah. Mana nasi gorengku asin banget lagi. Hahaha. Bikin darah tinggi.”
“Iya ya, kamu pesan nasi goreng cumi waktu itu. Biasanya sih enak, tapi apesmu aja kali waktu itu keasinan.” Dia menertawakanku. “Tapi masih mau menikah, kan?”
“Hahaha. Apa sih nanya begitu? Kamu nggak inget kita baru aja batalin rencana kita nikah?” sengaja kusinggung agar dia berhenti.
“Hahaha. Iya. Sayang banget. Kita udah nabung buat resepsi.”
“Tabunganku kualih-fungsikan buat beli tanah. Lumayan, investasi masa depan.”
Mendengar perkataanku dia tertawa. “Punyaku masih utuh. Kali aja aku ketemu jodohku pas balik nanti.”
“Amin.”
“Kalau punya anak nanti, aku bakal tetep namain Airlangga.” Dia menoleh ke arahku.
Aku sedikit kaget mendengar itu. Kami pernah berencana untuk menamai anak kami ‘Airlangga’ karena di kampus itulah kami bertemu dan saling jatuh cinta. Kampus itu juga yang mengembalikan hubungan kami ketika dulu sempat putus. Itu usulannya, setahun yang lalu, saat kami mulai membicarakan serius arah hubungan kami ke depan.
“Kalau aku punya anak laki-laki. Mungkin kukasih nama Ekalaya.”
“Siapa?”
“Tokoh pewayangan yang nggak dikenal. Beda sama nama besar Airlangga. Raja yang tersohor. Aku tidak suka disoroti lampu-lampu dan kemegahan singgasana.”
Dia menghela nafas. “Kalau perempuan?”
“Ada, tapi tidak kuberitahukan. Ia berarti kebijaksanaan, penuh welas asih, dan dapat menyesuaikan peran di mana saja ia berada.”
“Aku selalu suka caramu memikirkan segala sesuatu, menaruh makna-makna di dalamnya. Kenapa kita tidak berjodoh? Kadang-kadang aku menyesali semuanya.”
“Kita berjodoh kok. Berjodoh sebagai teman. Seperti sekarang saling bicara dengan nyaman. Kita hanya tidak berjodoh menjadi sepasang kekasih atau sepasang pengantin. Itu saja.”
“Benar juga.” Aku melihatnya menunduk.
“Li, dengar. Kita dua kali mencoba dan gagal. Bagiku lebih penting menjaga rasa sayangku padamu dari sekadar memaksakan kebersamaan. Dicoba berapa kali pun. Aku tidak akan pernah bisa menghadapimu, dan begitu sebaliknya kamu tidak pernah bisa menghadapiku. Sifat-sifat kita memang begitu. Penerimaan dan pemakluman kita memang sebatas itu. Tidak ada yang perlu disesali. Aku belajar darimu, begitu juga kamu.”
Jeda diam yang lama. Hanya bising kendaraan di bawah sana yang terdengar. Langkah-langkah kaki manusia, kata-kata yang bias di telinga begitu riuhnya. Tapi lebih dari semua itu, gemuruh angin memenuhi telingaku.
Dunia di luar begitu liar tak terkendali, yang bisa kulakukan adalah mengendalikan diriku sendiri. Emosi saat ini, kata-kata yang akan kuucapkan, dan segala tentang penerimaan atas apa saja.
Kuulurkan tanganku. “Semoga sukses di Ausie nanti,” kataku padanya.
Dia menyambut tanganku dan menempelkan sesuatu. Sebuah amplop coklat dengan stempel merah klasik sebagai perekat.
“Yang tidak pernah kutuliskan sudah kutulis di situ. Di waktu senggang, saat perasaanmu sudah bebas, baik dari cinta maupun amarah…tolong baca sampai tuntas.”
Aku mengangguk. Tersenyum kecil. Lalu berbalik dan mengambil langkah pulang. Di atas mobil temanku, kuberanikan diri untuk membukanya. Beberapa lembar tulisan tangan dan selembar foto kami dua tahun yang lalu, ketika aku melepasnya di bandara. Rupanya aku tak siap.
“Untuk yang tersayang, Citra Cahyani…”
Rupanya aku tak sanggup melanjutkan kalimat berikutnya. Kututup tiga lembar surat itu dan memasukkannya kembali ke amplop. Nadia memutar musiknya lebih kencang, tapi itu tak terdengar di telingaku.
Gemuruh di telinga tadi, berpindah dan menyebar memutari kepala. Kulapangkan dadaku sebisa mungkin. Memasukkan udara sebanyak mungkin. Seikhlas mungkin menerima bahwa takdir kami, takaran waktu kami bersama, hanya sebatas itu.
Yang lebih mengerikan dari patah hati adalah kehilangan cinta. Hilangnya welas asih dari diri karena amarah. Patah saja jika perlu, kelak tahu bagaimana mengobati, karena sepatah apapun, hati akan menemukan keberaniannya untuk kembali mencintai.