Surga bagi penggemar musik di era 90-an adalah toko kaset. Toko Widodo termasuk tempat legendaris bagi muda-mudi Bojonegoro tahun 90-an.
Tak seperti era milenial, yang serba digital, era 90-an adalah era fisik. Aktifitas sosial hingga layanan publik, semua menggunakan sarana fisik. Begitu pun musik. Agar dapat menikmatinya, generasi nineties, perlu sarana fisik yang bernama kaset.
Kaset banyak dijual di toko kaset (yaiyalaaa?). Bagi mereka, para penikmat musik era 90-an, toko kaset adalah surga. Tak jarang mereka meluangkan waktu untuk berkunjung ke toko kaset. Tak sekadar membeli kaset, mereka juga kerap bertukar pengetahuan perihal musik di sebuah toko kaset.
Diantara toko kaset yang ada di Bojonegoro adalah toko Widodo. Toko yang berlokasi di bilangan jalan Panglima Sudirman itu cukup melegenda. Kendati bangunannya relatif kecil, toko ini selalu mendapatkan ruang dalam ingatan masyarakat Bojonegoro, khususnya para generasi 90-an.
Bermula dari hobi bermusik, Liem Kiem Beng (73 tahun) dan kakaknya mendirikan toko Widodo pada 1978. Di tengah perjalanan bisnis, sang kakak memutuskan pindah ke Bandung. Hingga kini, toko dikelola sendiri oleh Liem Kiem Bing. Nama Widodo sendiri, diambil dari nama Indonesia kakak Liem.
Ketenaran Widodo sebagai toko kaset legendaris memang tak ada duanya di Bojonegoro. Beberapa musisi terkenal seperti Gombloh dan Grace Simon, pernah beberapa kali berkunjung ke toko ini.
“Gombloh itu gitarisnya dulu orang Bojonegoro, setiap habis konser ya nongkrongnya di sini.” ungkap Liem.
Setelah produksi kaset pita dihentikan pada 2000-an, toko Widodo mulai menjual CD dan VCD original. Dan jenis penjualan tersebut masih bertahan hingga kini.
Walaupun tape/pemutar kaset pita telah langka, toko Widodo masih mempunyai stock kaset-kaset lama lho, Nabs. Kaset-kaset tersebut dibanderol dengan harga Rp 15 ribu sampai Rp 40 ribu rupiah.
Sementara untuk koleksi CD dan VCD, toko ini memasang harga kisaran Rp 15 ribu sampai Rp 180 ribu, tergantung kelangkaan koleksi.
Liem bercerita betapa saat ini sangat sulit mendapatkan stock CD dan VCD original. Bahkan, beberapa item harus diimpor dari luar negeri. Namun di tengah kesulitan tersebut, Liem tetap berkomitmen untuk menjual barang-barang original lho, Nabs. Hebat kan?
“Sekarang ini susah, Mas (untuk kulakan barang lagi). Beberapa distributor sudah tutup, jadi harus impor dari luar.” ujar Liem.
Untuk mengimpor barang dari luar negeri, Liem juga kerap menemui kendala. Menurut ceritanya, Indonesia berada di zona merah dalam peredaran CD dan VCD dari luar negeri. Sehingga peredaran pun dibatasi. Hal ini disebabkan maraknya CD dan VCD bajakan di Indonesia.
Pusat Konservasi Musik Konvensional
Geliat teknologi digital memang memudahkan kita untuk menikmati musik. Eksistensi media konvensional seperti kaset dan CD pun, kini semakin tergeser.
Di sini, dengan tabah, toko Widodo hadir sebagai pusat konservasi musik konvensional di Bojonegoro. Terbukti beberapa kolektor kaset dan CD masih kerap berkunjung ke toko ini.
Di era serba mudah saat ini, mendengarkan musik bisa dilakukan dengan mudah. Cukup download selesai. Penikmat musik tidak perlu direpotkan dengan beli atau pinjam kaset pita lagi.
Namun, ke-serbamudah-an tidak melulu berdampak positif. Ada yang hilang dari era digital. Ketelatenan dan kemampuan menikmati proses pun teramat berkurang.
Dan saat seperti itu, tidak bisa dipungkiri, kerinduan akan masa-masa kaset pita seolah meneror isi kepala. Kenangan tentang membaca lirik lagu di cover kaset pita, misalnya. Menjadi kenangan paling menyenangkan bagi para penikmat musik di era nineties.
Saat diserang rindu seperti itu, tidak ada salahnya menziarahi masa lalu dengan berkunjung ke pusat konservasi musik konvensional. Dan di Bojonegoro, satu tempat yang paling direkomendasikan adalah toko Widodo.