Penerjemah dan karyawan penerbitan membutuhkan uang untuk hidup dan bekerja mensukseskan penerbitan. Terjemahan War and Peace muskil hadir hanya dengan biaya idealisme.
“Kamu mau nerjemahin War and Peace?” begitu tanya seorang kawan dekat saya suatu malam. Waktu itu saya sedang main ke rumah dia, seperti biasa disuguhi kopi dan mendoan.
Kawan dekat saya yang satu ini memang diam-diam mengatur selera cemilan saya. Dulu saya tak suka pisang goreng, lalu tiap kali saya main ke rumah dia, pasti disuguhi pisang goreng sampai akhirnya saya suka juga.
Belum lama saya suka, menu cemilannya berubah menjadi mendoan. Saya tak tahu malam-malam berikutnya menu itu akan berubah menjadi apa lagi…
Mendengar pertanyaan itu, saya agak kaget dan itu saya ungkapkan terus terang dengan singkat: “Hah?”
“Ada banyak yang nanyain novel itu. Permintaan ada, produsen harus menyediakan.”
Teman saya pebisnis hebat maka saya lekas mengingatkan dia: “Aku sih mau-mau saja meski War and Peace itu tebal banget.”
“Tebalan mana sama Moby Dick?”
Oke, jangan menduga bahwa kawan saya itu sudah membaca Moby Dick, satu-satunya karya Melville yang dia baca adalah Bartleby, dan dia suka.
Jadi, satu-satunya alasan dia menyebut Moby Dick adalah karena di Jogja judul itu menjadi simbol “karya yang harus diterjemahkan tetapi terkendala ketebalan”.
Saya ngisep rokok dulu sebelum menjawab singkat: “Dua kali lipat.”
Kawan saya menatap saya dan saya tahu dengan sudut pandang bisnisnya, dia sudah memutuskan lebih baik penerbitan terjemahan karya itu diturunkan ke urutan sekian.
Setelahnya kami lanjut mengobrol tentang hal-hal receh seperti biasa. Kadang-kadang saja kami singgung soal cita-cita kami yang saling terkait: dia ingin menambah deret angka di rekeningnya, saya ingin memindahkan deret angka itu sedikit saja ke rekening saya dengan cara menukarkan teks yang saya terjemahkan.
** **
Moby Dick memang tebal, tetapi War and Peace lebih tebal lagi. Moby Dick di rak saya edisi hardback bagian dari seri 54 jilid Britannica Great Books dengan ketebalan hanya 420 halaman, tetapi ukurannya yang 24 x 16 memang bukan ukuran novel normal. War and Peace? Edisi hardback terbitan Everyman koleksi saya dicetak 3 jilid dengan ketebalan masing-masing 500 halaman.
Biar adil mari kita bandingkan edisi penerbit yang sama. Edisi Penguin 2013, Moby Dick dicetak setebal 720 halaman; edisi Penguin 2016, War and Peace dicetak setebal 1440 halaman.
Tentu saja para melek literasi di Jogja menyadari dua novel itu “harus diterjemahkan”, sayangnya ketebalan semacam itu menjadi hambatan. Kita tidak sedang berbicara soal “kemampuan penerjemah” ataupun “bayaran penerjemah”, di Jogja toh ada banyak penerjemah hebat dan ada banyak penerbit yang kaya.
Yang jadi masalah adalah pasar. Sedikit apes memang bahwa saat kita kini punya banyak penerjemah hebat dan penerbit kaya, pasar justru sedang betah diserbu aliran minimalis.
Singkatnya: buku tebal, baik itu membawa nama sebesar Leo Tolstoy ataupun Herman Melville (penulis War and Peace dan Moby Dick), pasarnya terlalu sukar diprediksi.
Penerbit tentu saja mau membayar mahal penerjemah dan mencetak buku setebal apapun sepanjang pasar bisa diprediksi bagus. Tanpa jaminan itu, mari bicarakan buku tipis-tipis saja.
Tentu ada kisah satu dua penerbit yang mencoba berjudi. Kita juga misalnya sudah memiliki terjemahan Don Quixote dan The Gulag Archipelago yang juga tebal, tetapi kita tahu bahwa penerbitan terjemahan Don Quixote dilakukan sebagai salah satu bentuk kerjasama Indonesia-Spanyol, sementara The Gulag Archipelago? Terjemahan jilid kesatu sudah terbit lumayan lama dan kita tak tahu apakah jilid kedua dan ketiganya akan diterbitkan pula.
Kadang memang saat mengobrol dengan kawan-kawan di warung kopi atau kafe, satu dua judul karya tebal semacam Moby Dick dan War and Peace pun muncul. Biasanya gara-gara kami habis membaca tulisan satu dua pengarang hebat yang menyinggung judul-judul itu.
Dalam situasi macam itu, kadang ada kawan memunculkan ide untuk terjun berjudi dengan membuat penerbit yang tak berorientasi profit. Penerbit semacam itu menerbitkan terjemahan karya semata berdasar pertimbangan kualitas, bukan laku atau tidaknya karya itu di pasar.
Tentu saja saya pasti mengatakan tak setuju. Idealisme semacam itu mungkin gagah, tetapi sudah ada terlalu banyak contoh semangat penerbit yang menggelora di awal lantas berakhir dengan kesedihan karena bangkrut setelah menerbitkan satu dua buku “keren” dengan tanpa mempertimbangkan sisi bisnis.
Penerbit, kalau mau bertahan, mau tak mau harus dikelola dengan otak bisnis. Penerjemah dan karyawan penerbitan membutuhkan uang untuk hidup dan bekerja mensukseskan penerbitan. Terjemahan War and Peace muskil hadir hanya dengan biaya idealisme.
“Lalu kita harus menunggu sampai kapan?” Tanya kawan saya yang penuh idealisme itu.
Saya hanya nyengir lalu menjawab bahwa seharusnya orang idealis seperti dia diangkat menjadi menteri perbukuan. Proyek penerjemahan karya-karya keren kemudian bisa ditanggung negara sebagai bagian dari upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
“Kalau aku suatu saat punya duit dan penerbitan, kau mau kukontrak menerjemahkan karya-karya kanon yang tebal-tebal?” Teman saya langsung bersemangat.
Saya mengangguk. “Terlepas dari kemungkinan bahwa ketika kau punya duit maka gagasanmu juga akan berubah dan kau mungkin tak lagi terpikir bikin penerbitan, aku mau. Terima kasih kalau kau mau mempercayakan alih bahasa karya-karya besar dari pengarang yang berbeda-beda gaya nulis itu kepada penerjemah receh sepertiku.”
“Sayangnya,” lanjut saya, “akan ada perdebatan panjang dalam rapat di kantormu mengenai apakah penerjemahan karya sastra bisa mencerdaskan kehidupan bangsa atau tidak, lalu ujung-ujungnya yang diterjemahkan adalah buku-buku bukan-sastra dan untuk kesekian kalinya sastra terpinggirkan.”
Saya tak tahu apakah jawaban pesimis—saya lebih suka menyebutnya rasional—saya itu membuat kawan saya urung bercita-cita menjadi menteri perbukuan.
Percakapan kami selalu berhenti pada titik ketika kami kembali ke dunia nyata tempat kami harus membayar untuk mendapatkan segelas kopi. Saat itu kawan saya menutupnya dengan menggumam soal Proust, lalu menyeruput kopinya yang saya yakin terasa makin pahit.
Ah, Proust, Mencari Kala yang Raib, dalam edisi Penguin 2016 diterbitkan 3 jilid dengan masing-masing jilid 1000 halaman. Lalu saya ikut-ikutan menyeruput kopi saya, kopi pahit dan murah, segelas hanya 7000 rupiah.