Cinta membutuhkan usaha dan pengorbanan. Cinta juga membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran. Cinta yang tak berbalas membuat banyak orang menyerah hingga akhirnya memilih untuk menepi. Tapi ada deretan orang yang tetap bertahan meski kerap dikecewakan, karena rasa cinta yang berapi-api.
Dalam pledoi berjudul Indonesia Vriij, Mohammad Hatta mengutip sebuah syair milik Rene de Clerque yang dibacakannya di depan pengadilan Belanda di Den Haag.
“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usahaku.”
Kutipan syair de Clerque itu sudah cukup jelas menunjukkan kehendak kuat seorang Hatta untuk melibatkan diri dalam proses sejarah. Saya, tentu sangat terinspirasi Hatta, dalam beberapa hal. Terutama kesetiaan yang membabi-buta.
Bagaimana jika kita modifikasi syair itu menjadi:
“Hanya satu klub yang menjadi kebanggaan kami.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usaha kami,”
Kepada Persibo, sesungguhnya kita sedang memproklamasikan pelibatan diri untuk tetap merawat, mencintai dan menjaganya. Karena itu, tak semua orang mampu. Sebab, butuh setia untuk menjalankannya.
Menjadi seorang suporter Persibo Bojonegoro bukanlah pekerjaan mudah. Seorang suporter Persibo Bojonegoro harus siap dengan rasa sedih, kecewa, dan marah. Ibarat kata, hanya orang-orang pilihan saja yang sanggup mengemban “tugas” sebagai suporter Persibo.
Pada 2017, Persibo Bojonegoro bangkit dari tidur yang lumayan panjang. Usai diputihkan oleh PSSI, Persibo Bojonegoro kembali berlaga di kompetisi resmi PSSI. Gelombang dukungan dari wajah-wajah baru pun datang kepada Persibo Bojonegoro saat itu.
Generasi pendukung Persibo memang terpotong. Sejak mendapat hukuman larangan tampil di kompetisi resmi PSSI pada 2013 lalu, praktis Persibo vakum selama kurang lebih 3 tahun. Absennya Persibo membuat bibit-bibit suporter Persibo yang baru gagal bersemi dengan sempurna.
Namun berkat perjuangan para suporter juga, Persibo Bojonegoro akhirnya bisa hidup kembali pada 2017. Meskipun haru rela berada di kasta terbawah kompetisi sepakbola Indonesia.
Pada kompetisi Liga 3 2017 lalu, langkah Persibo terhenti di babak perempat final putaran nasional. Padahal, satu pertandingan lagi Persibo Bojonegoro berpeluang naik kasta ke Liga 2. Sayang beribu sayang, langkah Persibo terhenti dengan cara sangat menyakitkan saat lawan Aceh United di 8 besar.
Harapan para suporter pun pupus. Asa untuk melihat tim kesayangan promosi hancur seketika. Rasa sedih dan kecewa tertumpah dalam bentuk air mata.
Setahun sesudahnya, asa para suporter kembali dipupuk. Tampil di kompetisi Liga 3 Jatim 2018, target naik kasta tetap dipasang. Namun semangat dan keyakinan tinggi para suporter kembali dibayar dengan kekecewaan.
Jangankan naik kasta. Untuk lolos dari babak grup regional Jawa Timur saja Persibo tidak bisa. Hasil yang membuat hati suporter Persibo kembali hancur tak terkira.
Kegagalan di tahun 2018 masih membekas bagi para suporter Persibo di musim 2019. Kesabaran para suporter Persibo pun diuji. Ada yang tetap bertahan, tapi tak sedikit yang menepi. Mereka yang tetap bertahan nampak terus memperlihatkan semangat yang berapi-api.
Yang cinta tetap bertahan, yang lelah silahkan menepi. Kalimat tersebut muncul di sebuah mini flag suporter Persibo. Pesan yang sangat jelas dan kuat untuk merepresentasikan bagaimana susahnya menjadi seorang suporter Persibo Bojonegoro.
Stadion Wilis Madiun jadi saksi dari para suporter Persibo yang terus bertahan. Pada laga pembuka Liga 3 Jawa Timur 2019, sekitar seribu suporter Persibo hadir langsung ke Stadion Wilis. Mereka menunjukkan semangatnya, keyakinannya, dan tak ketinggalan: rasa cintanya. Rasa cinta yang kadang tak terbalas secara paripurna.