Hidup berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana.
Zen Rahmat Sugito atau Zen RS resmi keluar dari Tirto.id pada Minggu (28/7/2019). Keputusan Zen RS untuk meninggalkan Tirto.id, tentu jadi perihal yang mengejutkan. Terutama bagi saya yang cukup mengaguminya.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Zen saat memutuskan keluar dari Tirto. Keputusan, seperti yang selalu kita ketahui, kadang tak membutuhkan apa-apa kecuali keberanian menutup mata dan keberanian berpikir irasional.
Zen sudah sangat identik dengan Tirto. Dia, bisa jadi, seorang yang meletakkan standar penulisan di media yang sangat memberi penyegaran di tengah budaya tulisan clickbait kurang berkualitas di media sosial.
Saya kira, saat memutuskan untuk keluar dari Tirto, Zen tak hanya butuh berpikir berkali-kali. Tapi juga butuh menangis berulangkali. Meski, saya yakin, Zen tak akan mengakui itu.
“Pengakuan, tentu saja, tidak berkurang artinya hanya karena ia datang terlambat. Tapi, saya ragu, masihkah ada artinya mengucapkan syukur saat berkah itu sudah menjauh?”
Bait kutipan itu saya comot dari sebuah tulisan lama Zen RS berjudul Nasib. Tulisan itu, di-publish pada 2008 silam. Sebuah tulisan yang mampu membuat saya tak bisa tidur dua hari dua malam, saat membacanya, kala itu.
Dalam Nasib, Zen seperti sedang menentukan keputusan. Sebuah keputusan yang sangat berkait dengan keadaan orang lain. Orang lain yang barangkali, bukan orang lain.
Berkali-kali dia mengutip puisi karya Chairil Anwar tentang nasib adalah kesunyian masing-masing. Tentang bagaimana takdir membetot upaya-upaya manusia.
Zen membuka tulisan itu dengan paragraf yang menghentak: Tiga titik di tubuhmu, tiga tanda nasib di hidupmu: padanya riwayatmu dipertaruhkan, padanya —mungkin— biografi kita ditentukan.
Saya membacanya berulang-ulang. Saya memikirkan paragraf pembuka itu, seperti memikirkan bagaimana cara membuka pintu setelah lama tertutup debu. Ia sulit, namun tak pernah kehilangan harapan.
Sebab hidup, kadang butuh didobrak dan dipatahkan. Bukan agar sakit. Tapi agar mampu melihat cakrawala yang lebih luas dari sebelumnya. Bukan untuk merusak pintu, tapi untuk memasukkan cahaya di dalam rumah.
Dalam hidup, saya tahu jika tak mudah memasukkan cahaya di dalam rumah. Karena, memang tak mudah membuka pintunya. Proses membuka pintu pun, bahkan kerap dihadiri luka.
“Beberapa pisau kecil akan menyentuh tubuhmu, menyayat beberapa bagian kulitmu yang langsat. Setelah itu, sejumlah luka akan mengendap di sana, sesuatu yang akan menjadi bagian dari biografimu.
Tapi, percayalah, luka –sebanyak apa pun itu—tak akan banyak mengubah: karena keindahanmu tidak dipertaruhkan pada seberapa banyak luka yang membekas.”
Bait itu saya ambil dari sebuah tulisan lama Zen berjudul Senin. Entah kenapa, saya suka sekali membacanya. Hidup pasti menemui hari Senin, hidup pasti menemui luka.
Tapi, sebanyak apapun luka, dan sebanyak apapun Senin ditemui, tak akan mengubah apa-apa. Karena kehidupan tak dipertaruhkan pada seberapa banyak Senin dilewati.
Saya banyak belajar dari Zen. Dari bagaimana dia menulis, hingga bagaimana dia memperlakukan cinta. Bagaimana dia mengemas tangis, hingga bagaimana dia mengalegorikan perasaan bahagia.
Sosok Zen RS memang sangat berjasa kepada diri saya. Berkat pria yang sejak kecil menyukai Persib Bandung tersebut, saya jadi mencintai dunia tulis menulis. Terutama menulis sepakbola.
Saya pertama kali mengenal, atau lebih tepatnya tahu tentang sosok Zen RS dari Twitter. Berawal dari riuh final AFF Cup 2010 silam. Linimasa Twitter ramai dengan AFF Cup 2010 usai Timnas Indonesia kalah dari Malaysia.
Salah satu keriuhan tersebut disebabkan oleh sejumlah pemuda yang mengedarkan Zine yang berisi kritikan keras terhadap Ketua PSSI saat itu, Nurdin Halid. Salah satunya adalah Zen RS yang sempat akan jatuh dari Stadion Gelora Bung Karno akibat berkelahi dengan pihak keamanan.
Beberapa hari kemudian, sosok Zen RS diundang di sebuah acara Televisi untuk membicarakan masalah PSSI saat itu. Dia, dengan pedenya menggunakan kaos bertuliskan “Saya berlindung dari godaan Nurdin yang terkutuk” di acara tersebut. Badass!
Sejak saat itu, saya langsung kagum terhadap sosok yang jago menulis fabel ini. Tak hanya tajam lewat tulisan, Zen RS juga tajam lewat cuitan. Lewat medium Twitter, Zen RS tak sungkan untuk memberikan kritik terhadap isu yang sedang trending.
Banyak kutipan-kutipan menarik dari tulisan atau cuitan Zen RS yang sangat mengena. Satu di antaranya berbunyi: Hidup memang berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana. Kutipan dahsyat yang tak bakal saya lupa.
Hadiah Souvenir Pernikahan
Saya tak pernah mengenal Zen RS secara personal. Bahkan, interaksi di Twitter pun sangat jarang. Tapi entah kenapa, dia tiba-tiba meminta alamat saya untuk dikirimi souvenir pernikahannya melalui Twitter. Dia secara khusus mengirim souvenir pernikahannya kepada saya.
Bukan kipas, gelas sloki, pouch, atau souvenir lainnya. Souvenir yang dikirimkan adalah sebuah buku kumpulan cerpen berjudul Traffic Blues. Buku yang teramat penting dan berarti bagi saya.
Buku tersebut dipersembahkan kepada sang istri, Galuh Pangestri Larasati di hari pernikahan. Beragam cerpen ciamik hadir lewat buku Traffic Blues tersebut.
Kelak jika saya menikah, percayalah, saya juga akan berupaya membuat sebuah buku untuk istri saya. Terlepas apapun jenis buku itu. Tentu ini bukan omong kosong. Tapi omongan lelaki.
Tak terasa, buku Traffic Blues itu sudah sewindu bersama saya. Masih tersimpan rapi bersama jajaran buku favorit lainnya. Buku yang jadi pelecut saya untuk terus menulis.
Zen RS juga melahirkan buku-buku lain yang tak kalah bagusnya. Ada novel berjudul “Jalan Lain ke Tulehu” dan buku wajib penggila sepakbola berjudul “Simulakra Sepakbola”.
Waktu sungguh cepat berlalu. Dari pendobrak Nurdin Halid, hingga sekarang jadi Ayah dua anak cilik. Dari Mengbal hingga Panditfootball.
Zen RS tentu bukan tipikal orang yang senang menjadi inspirator ala Mario Teguh dan semacamnya. Namun, bagi saya dia adalah sosok yang mampu menginspirasi tanpa harus tampil di depan dengan suara lantang yang berapi-api. Sehat selalu Zen Rahmat Sugito.
Hidup berlangsung bukan dari waktu ke waktu, tapi dari suasana ke suasana. Saya membacanya. Saya merenungkannya. Saya mengingatnya. Saya merasakannya.