Tlatah Njipangan (Blora dan Bojonegoro) dikenal sebagai “tanah apes” bagi Belanda beserta kroninya. Berikut bukti betapa horornya Tlatah Njipangan bagi kaum imperialis dan para pendukungnya.
Penanaman mental inferior (rendah diri), baru dilakukan penjajah terhadap Nusantara pada abad 16 M. Sebelum abad 16 M, Nusantara dikenal sebagai masyarakat nan bermental superior. Sementara di wilayah Jipang, agenda penanaman inferioritas selalu mendapat perlawanan sengit di tiap zaman.
Kajipangan (Nagari Jipang, Kadipaten Jipang, Jipang Panolan, Jipang Padangan, hingga Jipang Rajekwesi) adalah suksesor Medang Kamolan. Ia sudah masyhur sebagai wilayah yang dihormati Raja Airlangga (Medang Kahuripan) dan Raja Wisnuwardhana (Singasari) sejak abad 11 M. Ini tentu penting untuk diketahui.
Tlatah Njipang merupakan bumi anti-inferioritas. Wajib diketahui, Jipang selalu menjadi daerah vasal Kemaharajaan di tiap zaman. Tapi Jipang tak pernah ditaklukan lewat jalan perang. Dalam catatan sejarah, belum ada satupun kerajaan menaklukan Jipang, kecuali lewat dongeng.
Pada zaman-zaman berikutnya, wilayah Jipang tercatat empiris sebagai tanah yang menyelamatkan banyak pejuang. Cukup banyak data menunjukan superioritas Jipang sebagai tanah penyelamat para pejuang. Sayangnya, data-data ini tertutup hegemoni dongeng abad 18 M, sehingga generasi penerus kurang mengetahui.
Ada banyak data ilmiah (bukan dongeng) menyebut digdayanya Jipang sebagai tanah penyelamat para pejuang. Ini bisa dimulai dengan dihancurkannya Amangkurat I dan Amangkurat II oleh Pangeran Trunojoyo (1676); dipenggalnya kepala Kapten Van der Pol oleh RM Said Mangkunegoro (1756); dan dilibasnya pasukan Kolonel Nahuys oleh Pangeran Sosrodilogo (1827).
Perlawanan Trunojoyo
Pada 1676, sebanyak 50 ribu pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Puger (Amangkurat II) bergerak dari Selatan Jawa, melintasi Bengawan Kendeng Utara, menuju Gegodog (Timur Tuban) untuk mencari Trunojoyo. Dalam perang berpusat di Gegodog itu, 50 ribu pasukan Mataram dengan tragis dibabat oleh hanya 9 ribu pasukan gabungan Trunojoyo.
Amangkurat II seperti lupa bahwa lintasan Bengawan, Pegungan Kendeng Utara, dan rimbun Hutan Jati Purba adalah Tlatah Njipangan (Blora – Bojonegoro), pusat Panji Hitam dan Putih berada. Tentu mereka tahu siapa yang wajib dibela. Praktis, 50 ribu pasukan Amangkurat II ambyar. Kekalahan Amangkurat II membuat Pangeran Trunojoyo berhasil merebut Plered (Mataram) dari Sunan Amangkurat I, tepat pada 1677.
Perlawanan Mangkunegara
Kamis Pahing 23 Oktober 1756, Hutan Sitakepyak (perbatasan Rembang dan Hutan Blora), jadi saksi pertempuran sengit antara pasukan RM Said (Mangkunegara I) melawan VOC yang dipimpin Kapten Van Der Pol dan Kapten Beiman. Pasukan VOC sangat banyak karena mendapat kiriman ribuan pasukan dari Hamengku Buwana I yang ikut membantu VOC Belanda.
Besarnya pasukan di pihak VOC dilukiskan bagai rombongan semut yang berjalan beriring tiada putus. Kendati kalah jumlah pasukan, kubu RM Said justru memorak-porandakan VOC. Ribuan pasukan Hamengku Buwana I juga ambyar tak berdaya. Dalam perang terjadi di perbatasan Hutan Blora itu, RM Said hanya kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 luka-luka. Sementara aliansi gabungan VOC dan pasukan Hamengku Buwana I kehilangan 600 prajurit tewas.
VOC dan Hamengku Buwana I seperti lupa bahwa rimbun Hutan Blora dan barisan bukit Kendeng Utara adalah Tlatah Njipangan, pusat Panji Hitam dan Putih, dan mereka tahu siapa yang wajib dibela. Pada momen inilah, RM Said menebas kepala Kapten Van Der Pol dengan tangan kirinya. Kepala itu lalu diserahkan pada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan. Ini muasal RM Said dikenal sebagai “Pangeran Sambernyowo”
Perlawanan Sosrodilogo
Pada 1827, Pangeran Sosrodilogo dari Jipang melancarkan perlawanan pada ribuan tentara VOC yang dipimpin Kolonel Nahuys di sisi barat Bengawan Jipang, batas antara bengawan Blora dan Bojonegoro. Perang berpusat di Hutan Cabean. Inilah pertempuran habis-habisan yang pernah dilakukan Pangeran Sosrodilogo dalam momen Perang Jawa (1825-1830).
Di tengah pertempuran, tetiba muncul dua baris pasukan berkuda dari sisi timur Bengawan. Masing-masing barisan memegang panji putih dan hitam sebagai simbol kehadiran tentara langit. Mereka menyerang pasukan Nahuys tanpa ampun. Walhasil, Sosrodilogo tak hanya menang perang, tapi juga berhasil menangkap Kapten Nahuys.
Di saat rambut Nahuys sudah dipegang Sosrodilogo untuk ditebas lehernya, Nahuys berteriak menyerah. Sosrodilogo pun membatalkan penebasan. Lihatlah betapa ksatrianya Sosrodilogo, ia membiarkan Nahuys lari terbirit-birit menuju Bengawan untuk menyelamatkan diri, hanya karena Nahuys telah berkata “menyerah”.
Panji Hitam dan Putih
Tlatah Njipangan (Blora dan Bojonegoro) dikenal sebagai “tanah apes” bagi Belanda beserta kroni-kroninya. Kemenangan yang didapat Raden Trunojoyo, RM Said Mangkunegoro, dan Raden Sosrodilogo adalah bukti betapa horornya Tlatah Njipangan bagi Mataram dan Belanda.
Kemenangan itu tak hanya didukung kaum santri (Blangkon Putih) yang mengharamkan penjajahan. Tapi juga didukung para Brandal Alas (santri teluk blangkon hitam) yang hidup di sepanjang Bengawan, di lembah Kendeng, juga di dalam Hutan Jati Jipang. Merekalah para pemegang Panji Liwa – Royan yang amat ditakuti kubu Belanda.