Untuk memulai penjelajahan dari Ngawi, harus melalui lembah sungai berkelok yang membelah pegunungan berhutan di atas perahu. Setiap orang harus memberanikan dirinya untuk mencapai kelokan paling berbahaya Bengawan Solo untuk tiba di wilayah yang penuh dengan minyak bumi.
Adriaan Stoop dengan segera menyimpulkan bahwa data dan izin eksplorasi dari ‘Dordtsche’ tidak layak untuk dilihat, kecuali untuk Tinawun dan Panolan.
Terkait Panolan, yang ia jelajahi secara menyeluruh pada 12 Februari 1893, diam-diam ia mencatat informasi; “Di lokasi yang baru saja dibuka diantara jurang (Ledok), orang dapat dengan mudah membaca apa yang ada di bawah tanah, seperti membuka sebuah buku; terdapat kandungan minyak dan gas di dalam tiap batupasir dan lapisan tanah pada kemiringan 20° dan 10°.”
Juga menurut pendapatnya, wilayah ini hampir pasti akan menyediakan minyak bumi dalam jumlah berlimpah dengan kualitas tinggi. Keadaan ini sangat menguntungkan, sehingga Stoop memutuskan untuk bertindak tanpa ragu.
Wilayah Panolan, karena kurangnya sumber daya, belum ada pekerjaan apapun yang dilakukan, sementara izin segera habis masa berlakunya. Semua ini membuatnya berpacu dengan waktu, izin akan ditetapkan dan disetujui oleh Residen, jika syarat kajian pekerjaannya terselesaikan terlebih dahulu.
Singkat cerita, enam minggu adalah waktu yang tersedia untuk segala persiapan, dan semuanya telah terpenuhi. Pengeboran pertama telah dimulai di tempat terpencil Ledok, dalam waktu sebulan, pada tanggal 15 Oktober 1893, telah mencapai keberhasilan di kedalaman 309.
Dengan kabar gemilang itu, Stoop berangkat lagi menuju Blora. Karena ekspektasinya terpenuhi dan bahkan berlebih, ia segera mulai mencari lokasi konstruksi yang cocok untuk tempat Kilang. Pilihan jatuh pada Ngareng, yang perposisi secara diagonal dengan Padangan, persimpangan antara Jalan pos (darat) dan jalur Bengawan Solo, sekaligus menentukan jalur pipa yang akan menghubungkan lokasi pengeboran dan lokasi pabrik.
Awal musim hujan sempat memaksa seluruh pekerjaan untuk ditunda, seakan memberi waktu untuk menyadari kondisi kawasan hutan yang sepi ini, betapa banyak energi yang cepat habis dan biaya yang tidak sedikit untuk pendirian pabrik skala besar di Ngareng.
Pengangkutan peralatan berat untuk pabrik tidak mudah dan butuh tenaga ekstra; lima ketel uap diangkut dari Ngawi melalui jalur Bengawan Solo, dari lokasi pinggir Bengawan, semua harus dibawa ke lokasi pabrik. Namun, pekerjaan tersebut berkembang begitu cepat, sehingga uji coba dapat dimulai pada awal Oktober 1894.
Di pertengahan Oktober, lampu Minyak-tanah Rembang menyala pertama kali di Pasanggrahan (Kantor Distrik Panolan), dan pada 11 Desember 1894, dimulai memperdagangkannya kepada masyarakat luas.
Dampak dari Ledok tidak hanya terlihat di Panolan, tetapi jauh lebih luas dan semakin jelas. Tak lama kemudian diketahui ketersediaan minyak bumi di daerah lain. Hingga tahun 1895, sudah dilakukan pengeboran di wilayah Jepon, utara Panolan.
Dan pada tahun yang sama, Perusahaan ‘Tinawun’, juga mendapat izin untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak, yang juga mengandung parafin, di Kedewan, sumber minyak bumi ini lalu dihubungkan ke Ngareng melalui pipa.
Begitulah awal dari nama Cepu, yang baru saja ditasbihkan menjadi pusat pengolahan minyak (Karesidenan) Rembang. Dengan hasil yang terjamin dan terus meningkat ini, kapasitas pabrik yang awalnya 400 box dapat secara bertahap meningkat menjadi 3.000 box per tahun.
Namun seperti yang telah disangkakan oleh Stoop, kondisi ternyata menjadi lebih sulit ketika untuk mencapai area konsumen. Penduduk di Karesidenan Rembang tergolong miskin dan jarang, oleh karena itu minyak harus diangkut ke tempat lain.
Awalnya mereka harus puas dengan Jalan pos, dan Bengawan yang melaluinya ke arah hulu menuju Ngawi, dan ke hilir menuju Bojonegoro atau Babad, meski menunggu musim tertentu.
Tetapi transportasi alternatif sepanjang rute Bengawan dirasa penting karena sungai ini tidak pernah dinormalisasi. Sehingga pipa Cepu dirancang untuk tujuan ini, dibangun dari Ngareng ke arah Wonokromo Surabaya, dan selesai pada tahun 1897. Namun hasil produksi yang melimpah dari kilang Lidah segera menjadikan migrasi ke arah timur ini tidak menjadi perlu lagi.
Pasar utama alami pabrik Cepu terletak di sebelah Utara Jawa yaitu di wilayah pesisir Rembang, sedangkan lebih ke arah Barat yaitu wilayah sekitar Semarang dan Japara juga patut mendapat perhatian. Untuk mencapai pasar-pasar itu rupanya bergantung pada jaringan rel Hindia-Belanda, yang berkembang pesat di wilayah-wilayah tersebut pada tahun-tahun yang sama. Sayangnya, perusahaan kereta api Semarang-Joana Stoomtram (SJS) yang melayani wilayah ini, pada saat itu hanya sampai di Bangkle (Kedung Kluweh), timur kota Blora. Jadi tidak ada pilihan, selain mengirim produk Cepu dengan jalur pipa kedua menuju ke Bangkle, di tempat dimana minyak itu kemudian dikemas.
Tetapi Bangkle masih jauh dari dari pantai. Dengan hanya jalur trem yang dimiliki, dan mengesampingkan jalur sungai Lusi, ternyata mulai terjadi monopoli transportasi, tarifnya membengkak dan begitu tinggi.
Penekanan biaya lalu diupayakan melalui kerjasama dengan kapal tanker, untuk mendapat kontrak yang lebih menguntungkan, dimana sarana trem, akan menerima konsesi dengan harga yang tidak bisa dibilang murah.
Sementara itu, sumur minyak bumi di Semanggi, Jepon sudah produktif, minyak mentah dari sumur ini tidak mengandung parafin. Sehingga kurang cocok untuk diproses di Tinawun juga pabrik minyak Panolan di Cepu, yang memang diperuntukkan bagi minyak mentah yang mengandung paraffin.
Namun, hal ini memberikan sebuah alasan yang kuat, yaitu untuk segera melanjutkan pembangunan pabrik di Semarang (Tambak lorok), yang pada prinsipnya sudah diputuskan sejak tahun 1897. Pabrik ini selesai dibangun pada tahun 1898.
Tambak lorok memiliki empat boiler berkapasitas 25.000 L dan akan memasok produk minyak bumi yang lebih baik ke Pesisir Utara Jawa dari Semarang hingga Cirebon.