Mesigit Jipang jadi bukti ilmiah betapa besarnya peradaban islam di era Majapahit. Seperti dawuh Gus Dur: tempat ini melengkapi posisi Mesigit Tebon sebagai sepasang gerbang yang dibangun Mbah Jumadil Kubro.
Perjalanan telah sampai ke lokasi reruntuhan mesigit atau masjid Jipang. Tempat ini barangkali jarang terdengar dan benar-benar sudah dilupa bagi sebagian besar orang Blora atau bahkan masyarakat Jipang sendiri. Orang akan lebih condong dan terkesima dengan Gedong Ageng Jipang, yang konon, adalah lokasi makam Arya Penangsang, tokoh kesatria perang itu.
Seperti buruk sangka yang lebih sulit dilupa daripada prasangka baik, Gedong Ageng mungkin didedikasikan oleh Solo untuk legenda yang menyimpan karma atau dendam, atas kehadiran Kasultanan Islam di pedalaman Jawa, sehingga secara kolektif lebih mudah untuk diingat.
Baca Juga: Mesigit Tebon, Peradaban Islam Sebelum Wali Songo di Bojonegoro
Sedangkan Mesigit Jipang, hadir membawa pesan damai dengan meminta ampunan lewat do’a-do’a, dan mencoba menyucikan kasta-kasta bhatara seluruh Jawa. Dalam dualisme itu, agaknya memaksa kita untuk menoleh lebih jauh ke belakang hari, ketika semangat naungan dan perlindungan telah digaungkan berkali-kali bagi masyarakat yang terberai karena teritori, dengan simbol payung; pohon kehidupan yang tumbuh di atas air suci.
Di era ketika Erlangga, Wisnuwardhana, juga Tribuwana turut memberkati tanah Brahmana sebagai tanah Sima; tempat suaka bagi para pengembara. Khasanah penyatuan yang terhimpun pada Benawa Sekar di akhir kejayaan Majapahit lebih dirasa sebagai “suaka perahu” yang diperkenalkan kembali oleh Ulama Gresik dan Surabaya di Bengawan untuk akhirnya bersandar kali pertama di Jipang.
Di sinilah awal Mesigit Jipang dibangun, sebagai tempat perlindungan, ia berdiri seakan-akan mengambang di atas air, dengan atap tajuk tingkat tiga. Seperti halnya “tiga tangga langit”, tingkat bagi Nabi, bagi Sahabat, dan bagi para Wali; Mesigit Jipang memandu gerakan dari gunung, bukit, dan lembah, atau menjaga aliran mata air, sungai dan pesisir.
Bagaimanapun, Mesigit Jipang benar-benar berdiri di atas Sima, dan sekaligus awal bagaimana Masjid Jawa disucikan bagi mereka yang mengingat Sang Pemilik Singgasana langit dan dunia. Dilingkari kolam dengan air setinggi lutut, berpondasi dari bata merah, diteruskan dengan tembok setinggi satu depa, berhias keramik dari penjuru bumi dan segala zaman menjadi pemandangan terluar dari Masjid ini, sementara hiasan sulur-sulur semacam antefiks menempel di masing-masing sudut mencoba mengesankan keseimbangan.
Saka, lantai dan dinding berbahan kayu Jati terkuat dari Semanggi, di bukit tertinggi yang lama dipercaya menjadi pakubumi “Medang Kamulan”. Tidak besar dan tidak semegah istana raja, tetapi Masjid Jipang laksana sebuah perahu yang masuk melalui Bengawan Sore, dengan nakhoda seorang Ulama Jawi, seseorang yang pasti dekat dengan Wali Gresik dan Wali Ngudung dan Sultan Pajang di kemudian hari.
Penulis merupakan arkeolog dan peneliti dari Blora Bhumi Budaya Institute.