Keluarga merupakan harapan bagi setiap insan untuk dijadikan tempat untuk pulang. Sebuah ruang di mana di setiap sudutnya diterima tanpa syarat. Tempat di mana setiap orang menemukan rasa aman, nyaman hingga kasih sayang pada riuh dan kerasnya kehidupan yang menekan.
keluarga diidealkan menjadi stasiun, disambut dengan hangat menjadi tempat pertama dan tujuan terakhir.
Pertanyaan “Bagaimana Jika Keluarga Bukan Tempat Untuk Pulang? Merupakan pertanyaan yang mengajak kita untuk merenung bahwa tidak semua orang memiliki tempat pulang dengan istilah “Rumah” yang di kiaskan dengan cara emosional.
Ada saatnya rumah bukan menjadi tempat seperti lagu pulang; tempat yang seharusnya hangat, justru membekukan langkah, pintu terbuka tapi hati terkunci, sampai meja makan yang penuh akan tetapi jiwa masih berteriak kelaparan. “pulang” kata sederhana yang berarti kembali, beristirahat dan menemukan tenang.
Tapi bagaimana keluarga yang seharusnya menjelma rumah pertama justru terasa asing? Bagaimana pula jika pintu yang seharusnya memberikan ucapan selamat datang yang hangat namun malah memberikan rasa ingin segera pamit?
Kadang, keluarga bukan ruang aman, melainkan ruang di mana suara dipatahkan, mimpi dianggap remeh, hingga luka hati yang dibiarkan mengendap.
Dinding yang kokoh, cat yang indah, tapi di dalamnya hanya ada dingin yang merayap. Kursi yang panjang tak pernah menjadi saksi ia dipenuhi oleh diskusi, kasur yang empuk tak lagi menghadirkan mimpi yang indah.
Dapur yang mestinya memberikan gairah dengan aroma masakan, tapi tak ada rasa kebersamaan yang mengikat. Ada ruang tamu yang setiap harinya dipoles, agar terlihat rapi di depan orang asing, meskipun di dalamnya terdapat kamar yang berantakan yang tak pernah disentuh.
Jendela-jendela yang seakan terbuka namun tertutupi penuh oleh gorden luka yang membentang. Ada hari di mana lantai hati mulai ambruk dan jiwa yang mulai bocor dengan air mata.
Namun sebagaimana rumah bisa direnovasi, hati dan jiwa pun demikian. Kita bisa memperbaiki dinding hati dengan memaafkan, menambahkan pintu untuk persahabatan sampai membangun jendela cahaya untuk diri sendiri.
Pulang tak melulu tentang kembali ke tempat yang asal, kadang juga rumah bisa diartikan kembali ke ruang yang di mana diri kita bisa berani berkata “Aku layak merasa utuh, meski rumahku berbeda”
Jika keluarga bukan tempat untuk pulang, carilah jalan keluar dan jangan pernah mencoba menyerah. Mungkin merupakan tanda agar kita menciptakan rumah baru yang mana rumah tersebut penuh dengan penerimaan, kehangatan, kenyamanan hingga kasih sayang yang dulu tidak pernah kita temukan.
Pada akhirnya kita sadar, pulang bukan berarti kembali, melainkan menemukan tempat di mana hati tak lagi merasa sendiri.
Banyak jalan keluar dalam permasalahan ini, contohnya mencari sahabat yang bisa kita jadikan tempat untuk berbagi segala perasaan.
Sahabat yang tepat adalah ruang tamu yang hangat, sering hadir sebagai rumah cadangan yang bisa hadir kapan saja bahkan dengan keadaan yang lelah sekalipun, ia memberi cahaya seperti pelita yang kecil namun cukup memberi sinar untuk langkah kita.
Sehat-sehat generasiku
Penulis adalah Mahasiswa Semester 7 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI)