Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Ketika Ilmu Lebih Berharga Dari Sebutir Nangka: Humor dan Hikmah Pencurian (1)

Alfi Saifullah by Alfi Saifullah
18/07/2025
in JURNAKOLOGI
Ketika Ilmu Lebih Berharga Dari Sebutir Nangka: Humor dan Hikmah Pencurian (1)

Humor dan Hikmah (Jurnaba)

Bagi warga Pasuruan, Jawa Timur, KH. Abu Amar Khotib (1911-1990) dikenal sebagai sosok ulama yang alim, berwibawa, dan kharismatik. Kiai Abu Amar merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudlah, Pasrepan, Pasuruan. Tidak hanya alim, ia juga masyhur salah satu Wali Allah.

Kiai Abu Amar hidup sezaman dengan ulama kharismatik Pasuruan lain seperti, KH Abdul Hamid (1914-1982), KH Hasani Nawawi Sidogiri (1924-2001), dan KH Musthofa Lekok (1930-1971).

Ada cerita unik yang pernah terjadi di pesantren yang diasuh Kiai Abu Amar tersebut. Cerita yang tidak hanya mengundang gelak tawa, namun menyimpan hikmah yang dalam.

–0—

Suata malam, H. Achmad Suadi atau Gus Suadi―putra KH. Abu Amar Khotib, berkeliling menyusuri pekarangan pondok. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senter kecil. Sementara tangan kirinya bertopang pada sebilah tongkat kayu. Sebagai penanggung jawab keamanan pesantren, malam-malam adalah waktu yang tepat baginya untuk berpatroli.

Belum lama kaki Gus Suadi melangkah, tiba-tiba terdengar suara, “tok… tok… tok…” Beberapa beton (biji buah nangka) jatuh dan mengenai kepalanya.

“Aduh!” gumam Gus Suadi sambil menengadah―memandangi pohon Nangka yang tak jauh darinya, sekitar satu depa. Diantara temaram sinar lampu pondok, lamat-lamat terlihat bayangan seseorang bersandar di ranting pohon. Seorang anak muda dengan wajah yang tampak puas.

Mulutnya berlepotan buah Nangka yang masih dikunyahnya. Dan secara tak sengaja, tangan kirinya menyenggol tumpukan beton disampingnya, sehingga jatuh dan mengenai kepala Gus Suadi. Anak itu adalah Samsul, santri paling usil disaentero pondok, putra Kiai Sulaiman dari Malang.

“Samsul! Turun kau!” suara Gus Suadi menggema.

Samsul segera melompat turun, lantas menyeka kedua tangannya. Sejurus kemudian ia berdiri takdzim dihadapan Gus Suadi.

“Kamu mencuri Nangka milik Kiai?!” tanya Gus Suadi.

Meski agak bandel, Samsul tergolong santri yang cerdas. Ia segera memutar otak, diam-diam bakatnya sebagai seorang politisi mulai tampak.

“Oalah Gus, Nangka aja kok diperhitungkan,” jawab Samsul.

“Ya pasti! Kamu itu sudah mencuri tapi masih saja mau berkelit!” sergah Gus Suadi gusar.

“Gus, Kiai Abu Amar itu termasuk salah satu walinya Allah. Semua ilmu-ilmunya―bahkan yang paling ampuh sekalipun telah diberikan kepada santri-santrinya secara cuma-cuma. Tanpa bayaran sepeserpun. Masa, sekadar urusan Nangka saja oleh beliau diperhitungkan? Besar mana, nilai sebuah Nangka ataukah ilmu?” seloroh Samsul.

Gus Suadi diam. Dalam hatinya berkata, masuk akal juga yang dikatakan Samsul. Sebuah logika yang lugu―namun mengandung kebenaran. Di balik kata-katanya terdapat daya dobrak yang tak terduga―gugatan terhadap cara menilai sesuatu. Untuk kali ini, Gus Suadi terpaksa harus menerima argumen Samsul, santri yang usil. Dan tak lama kemudian, Samsul bergegas menepuk-nepuk sarungnya―membersihkan sisa-sisa debu yang menempel. Lalu melanggang pergi begitu saja tanpa rasa bersalah.

–0—

Dus, dari cerita ini timbul sebuah pertanyaan, apakah tindakan “mencuri” dalam konteks Samsul masih bisa dikategorikan sebagai mencuri―ataukah justru bentuk teguran halus terhadap kemapanan nilai? Gus Suadi memilih aturan sebagai respons: Nangka bukan milik Samsul. Sementara Samsul memilih relasi―bahwa tak mungkin seseorang dinaikkan maqam-nya menjadi wali jika didalam hatinya terkotori oleh urusan duniawi, apalagi hanya dengan sebutir Nangka.

Dan ia tahu, seorang ulama sekaliber Kiai Abu Amar pasti telah di anugerahi sifat bil mu’minina roufurrahim, mempunyai belas kasihan terhadap kaum beriman―lebih-lebih terhadap santrinya sendiri. Ada pola asimetris disini: Kiai memberi, santri menerima―termasuk urusan benda. Perkara mencuri merupakan bentuk pelanggaran yang harus ditindak adalah urusan lain. Ini bukan apologi terhadap pencurian, apalagi pembenaran terhadap pelanggaran. Tidak.

Cerita ini juga mengajak berfikir tentang esensi―apakah nilai kebendaan bisa dibandingkan dengan kebijaksanaan, keteladanan, dan ilmu? Pertanyaan semacam ini mirip dengan riwayat Khalifah Ali bin Abu Thalib versus kaum Khawarij. Suatu hari, menantu Rasulullah Saw tersebut di datangi sekelompok kaum Khawarij.

Mereka hendak menguji―sejauh mana kapasitas dan kedalaman ilmu Sang Khalifah. Salah satu dari mereka bertanya, “Hai Ali! Manakah yang lebih utama antara ilmu dan harta?” Dengan penuh keyakinan, Khalifah Ali menjawab,
العلم أفضل من المال
“Ilmu lebih utama daripada harta.”

Mereka balik bertanya,“Apa buktinya?” Dan Khalifah Ali-pun menjawab dengan 10 jawaban untuk pertanyaan yang sama dari 10 orang berbeda. Lima diantara jawaban tersebut mempunyai korelasi dengan argumen Samsul terhadap Gus Suadi. “Ilmu akan menjagamu, sebaliknya harta kamulah yang harus menjaganya. Ketika kamu membelanjakan harta maka harta itu akan berkurang sebaliknya ketika kamu mengajarkan ilmu maka ilmu itu akan bertambah. Pemilik harta akan dipanggil sebagai orang pelit dan orang berilmu akan dipanggil orang yang agung dan mulia. Harta akan terjaga dari pencuri sebaliknya ilmu tidak terjaga dari pencuri. Harta akan habis termakan waktu dan zaman sebaliknya ilmu tidak akan habis termakan waktu dan zaman”

Pada akhirnya, ini bukan cerita tentang sebutir Nangka, tetapi tentang nilai. Inilah esensi Islam yang inklusif. Bahwa setiap manusia―siapa pun dia―punya potensi untuk menjadi cermin kebenaran. Sosok Samsul bukan yang suci. Ia hanya ‘sedikit’ kurang sopan. Tapi jujur. Dengan kebandelannya―Samsul justru menunjukkan bahwa kebenaran bisa datang dalam bentuk yang tak beraturan. Bahkan dari anak yang paling usil di pesantren sekalipun. Wallahu a’lam.

 

Tags: Cerita SantriHumor dan Hikmah SantriKisah Wali
Previous Post

MPJ Sektor Bojonegoro Gelar Multaqo Kolaborasi Bersama Ademos Indonesia

Next Post

Jangan Protes pada Proses

BERITA MENARIK LAINNYA

Batuan Karst: Pilar Ekologi Lembah Kendeng
JURNAKOLOGI

Batuan Karst: Pilar Ekologi Lembah Kendeng

05/06/2025
Sarang Agroekologi: Pusat Budaya dan Keanekaragaman Hayati
JURNAKOLOGI

Sarang Agroekologi: Pusat Budaya dan Keanekaragaman Hayati

19/03/2025
Pohon Jogotirto, Kesaktian Hidrologis Para Penjaga Bumi
JURNAKOLOGI

Pohon Jogotirto, Kesaktian Hidrologis Para Penjaga Bumi

24/02/2025

Anyar Nabs

PKB Bojonegoro Berang, Konten Trans7 Dianggap Rendahkan Pesantren

PKB Bojonegoro Berang, Konten Trans7 Dianggap Rendahkan Pesantren

14/10/2025
Menabuh Bedug Pesantren

Menabuh Bedug Pesantren

14/10/2025
Omar M. Yaghi: Anak Petani Palestina yang Menerima Hadiah Nobel Kimia 2025

Omar M. Yaghi: Anak Petani Palestina yang Menerima Hadiah Nobel Kimia 2025

14/10/2025
Raksasa yang Tidur di Bawah Pohon Kelapa

Raksasa yang Tidur di Bawah Pohon Kelapa

14/10/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • JURNAKOLOGI
  • SUSTAINERGI
  • JURNABA PENERBIT

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: