Komunikasi dialogis adalah tradisi luhur nenek moyang Bojonegoro. Tradisi ini berupaya diaktifkan kembali melalui SAPA Bupati, wahana pertemuan antara masyarakat dan pejabat.
Saluran Aspirasi dan Pengaduan Warga (SAPA) atau SAPA Bupati, merupakan wahana yang mempertemukan masyarakat dengan pemimpin daerah, dalam rangka menyampaikan bermacam masalah. Inovasi ini, lahir dari tauladan bijak para leluhur Bojonegoro yang telah dipraktikkan sejak berabad-abad silam.
Sebagai wahana pengaduan (aspirasi) publik, SAPA Bupati merupakan inovasi sosial diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan Daerah. Dalam hal ini, perencanaan berbasis aspirasi dan pengaduan warga. SAPA Bupati didukung mekanisme penanganan pengaduan yang jelas dan terukur, serta respon cepat tanggap.
Wahana pertemuan ini, merupakan bagian visi-misi bupati dan wakil bupati di bidang pelayanan publik dan reformasi birokrasi, khususnya dalam komitmen mewujudkan pemerintahan kolaboratif (collaborative government) untuk meningkatkan kualitas pembangunan daerah.
Ada beberapa jenis saluran pengaduan dan aspirasi warga (SAPA) yang digulirkan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro saat ini, di antaranya adalah; Dialog Interaktif, Medhayoh Bojonegoro, dan forum kemitraan multipihak atau Multi Stakholder Partnership (MSP).
1. Dialog Interaktif: merupakan kegiatan dialog antara masyarakat dan bupati, yang dilaksanakan di Pendopo Kabupaten setiap sebulan sekali. Kegiatan ini merupakan penyampaian aspirasi warga. Di mana, dalam kegiatan ini, warga bisa hadir serta menyampaikan aspirasi secara langsung kepada bupati.
2. Medhayoh Bojonegoro: merupakan kegiatan silaturahim dilakukan bupati Bojonegoro, untuk mengunjungi sejumlah tempat di wilayahnya. Serupa Dialog Interaktif, kegiatan ini juga berisi penyampaian aspirasi warga pada bupati. Bedanya, dalam Medayoh, bupati “bertamu” langsung ke tempat-tempat tersebut.
3. Multi Stakeholder Partnership (MSP): forum kolaborasi multipihak yang mempertemukan unsur Academic, Business, Community, dan Government (ABCG). Untuk mewujudkan pemerintahan kolaboratif, MSP jadi wahana para pihak untuk duduk bersama membahas pelbagai masalah dan isu-isu strategis daerah.
Landasan Historis
Lembah Kendeng yang dilintasi Bengawan ini, secara empiris tercatat sebagai wilayah Kerajaan Medang, dengan pemimpin besarnya Raja Dyah Baletung (898 – 910 M). Dijelaskan dalam Telang (903 M), Sangsang (907 M), dan Mantyasih (903 M), Raja Baletung digambarkan sebagai pemimpin yang dekat dengan masyarakat.
Raja Baletung (898 – 910 M) sering mengapresiasi berbagai profesi dan golongan strata, untuk diajak bertemu dan berembug mengenai bermacam masalah sosial; mulai peraturan transportasi sungai, pengelolaan lenga (minyak tanah), urusan peternakan, urusan perpajakan, hingga urusan keprofesian seperti pande wesi, pande emas, hingga pande tembaga.
Hampir di semua prasasti yang dirilis Raja Dyah Baletung, selalu muncul nama-nama strata sosial, jenis-jenis profesi, aturan-aturan hukum, hingga tentu, apresiasi pada mereka yang punya peran bagi kehidupan sosial. Sejumlah sejarawan menyebut, kebiasaan ini sebagai wujud komunikasi dialogis Raja Baletung pada masyarakatnya.
Tradisi “komunikasi dialogis” yang ditanam sejak Raja Baletung (898 -910 M) itu, berdampak pada selalu munculnya para Bijak Bestari di tanah “Bale Lantung” ini. Terbukti, pasca era Baletung, kawasan ini masih selalu memunculkan Para Begawan (Bijak Bestari) yang punya peran hampir di tiap era Kemaharajaan.
Sebut saja zaman Pu Sindok Medang (929 – 947 M), Airlangga Kahuripan (1019-1046 M), hingga Rajasa Singhasari (1222–1227 M), kawasan ini kerap muncul para Bijak Bestari. Maka bukan kebetulan jika pada 28 Agustus 1264 M, Raja Wisnuwardhana (1248 -1268 M) menasbihkannya sebagai Bhinnasrantaloka, tanah penyatu dan penentram Jawa.
Tanah Bojonegoro adalah pewaris spirit Medang. Bumi “Bale Lantung” yang diistimewakan Raja Dyah Baletung. Maka bukan kebetulan jika spiritnya harus terbawa hingga kini. Ibarat kasarnya, spirit Baletung telah menjadi “gawan bayi” bagi siapapun yang ditakdir hidup di Bojonegoro ini.
Reaktivasi Kebijaksanaan Leluhur
Konsep rembug ala Dyah Baletung, adalah metode demokrasi level tinggi. Meminjam istilah Anthony Giddens, Raja Baletung telah mengajarkan pada kita tentang apa itu Demokrasi Dialogis — konsep demokrasi berbasis perjumpaan antara rakjat dan pejabat.
SAPA Bupati bukan sekadar inovasi sosial hari ini. Namun, kebijaksanaan multi-dimensi yang sudah dilakukan ratusan, atau bahkan ribuan tahun silam, di Bumi Penyangga Migas Nasional ini. Artinya, SAPA Bupati punya rantai sanad antropologis yang tak pernah putus (musalsal). Mengaktifkan SAPA Bupati berarti menghidupkan kebijaksanaan yang dulu pernah dimiliki.
SAPA BUPATI dapat menjadi wahana efektif jika dijalankan dan dikelola secara serius-sistematis dengan dukungan regulasi (Perbup) kelembagaan, sumber daya manusia, manajemen penanganan pengaduan/aspirasi yang responsif, dan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah.