Tampan. Melankolis. Berkharisma. Dan cerita yang keluar darinya selalu menggedor-gedor isi kepala. Itu gambaran umum sosok penulis bernama Orhan Pamuk di mata saya.
“Akhirnya dulu jadi bikin kaos Pamuk?” Tanya kawan dekat saya, Kharis, pada saya yang bertemu secara tak sengaja beberapa hari silam.
“Nggak” jawab saya.
Kharis dan saya pun terpingkal-pingkal bersama. Mengingat masa lalu yang teramat lucu untuk dikenang bersama. Dulu, kami mengagumi Orhan Pamuk hingga sempat ingin membikin kaos bergambar wajahnya.
Tapi, cita-cita itu tak terwujud karena saat itu, kondisi kami mirip sekali dengan sosok bernama “aku” dalam novel Hunger karya Knut Hamsun: hidup dalam kontrakan, berkutat pada bacaan-tulisan, dan sering lupa kalau tak punya uang. Wqwq
Saat masih punya banyak waktu untuk disia-siakan dan telaten membaca buku untuk didiskusikan, Orhan Pamuk menjadi salah satu penulis yang namanya amat sering kami perbincangkan saat begadang. Tulisannya asyik. Orangnya keren.
Sebagai kumpulan lelaki berusia 23 tahun-an dan punya obsesi busuk menjadi seorang penulis, Pamuk adalah gambaran penulis ideal yang tak hanya elegan, namun juga melankolis-melankolis flamboyan khas pria urban.
Sebagai penulis yang beragama Islam dan memiliki pemahaman budaya timur yang mumpuni, pandangan sekuler Pamuk membuat saya dan kawan-kawan sering berdecak kagum. Pamuk tak terjebak pada konsep ceramah moralis. Dia, justru sering menampakkan sikap nakal yang khas, elegan dan membingungkan.
Dan entah kenapa, jiwa muda kami dulu begitu mendamba sikap dan gaya tulisan seperti apa yang Pamuk gambarkan. Gaya tulisan yang oleh Goenawan Mohamad disebut sebagai: bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan.
Pandangan Pamuk yang amat sekuler dan mambu-mambu liberal, yang selalu dibenturkan dengan kekhasan budaya Turki, serasa seperti santri yang memilih ngopi saat waktunya mengaji. Semacam kenakalan masa muda yang teramat menyenangkan, tapi temporer.
Kami sering membincang White Castle, Museum of Innocence, hingga buku memoar yang teramat memukau: Istanbul: Memories and The City. Meski tiga judul itu belum bisa mewakili banyaknya judul novel Pamuk, setidaknya kami sudah tahu bahwa Pamuk memang sublim.
Di mata kami, Pamuk adalah Turki itu sendiri. Di lain sisi ia dipuja karena kejayaan dan keindahannya, di satu sisi ia liar dengan kenakalan-kenakalannya yang tersembunyi. Dan entah kenapa, di mata kami dulu, yang seperti itu amat seksi sekali.
Karya Pamuk kerap berciri kebingungan atau hilangnya identitas yang ditimbulkan konflik antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Benturan itu mengganggu atau menggelisahkan, namun narasinya menyenangkan.
Goenawan Mohamad, dalam Catatan Pinggirnya pernah membahas Pamuk. Menurutnya, karya Pamuk adalah gema Turki dan benturan sekuler-Islam. Kebingungan sekaligus ketegangan secara bersamaan. Yang puitik, yang aneh, yang tak harus 100 persen dipahami, memang kerap hadir dalam prosanya.
Meski masa remajanya lekat dengan seni lukis, Pamuk justru menjadi sosok penulis besar. Tak ayal, karya-karyanya diwarnai bahasan dan pesona seni kreatif; seperti sastra, musik, hingga lukisan yang menguarkan aroma sepi dan keterasingan khas Haruki Murakami.
Istanbul: Memories and The City adalah karya Pamuk paling jujur menurut saya. Dia bercerita pada para pembaca sebagai seorang teman dekat yang tak butuh menutupi keburukan dalam kisahnya, tapi tanpa teding aling-aling yang kadang lucu dan kadang sedih bercampur cemerlang secara bersamaan.
Pamuk dan Turki, wabilkhusus Istanbul, seperti sepasang pahit kopi dan manis gula yang amat nikmat ketika dipersatukan, yang meski diulang-ulang, tak pernah membosankan. Barangkali, itu alasan kenapa Istanbul, Turki dan budaya timur selalu ada dalam karya-karya Pamuk.
Pada 12 Oktober 2006, Akademi Swedia mengumumkan Orhan Pamuk sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 2006. Meskipun Pamuk tercatat sebagai orang Turki pertama yang dianugerahi penghargaan tersebut, pemerintah saat itu sama sekali tidak menyambut dengan baik; sebab mayoritas dari mereka menganggap kemenangan itu dilandasi nuansa politik.
Anggapan tersebut tak lepas dari kasus yang tengah menimpa Pamuk. Dia dituduh menghina negara setelah membuat pernyataan tentang Genosida Armenia dan pembunuhan massal atas orang-orang Kurdi yang terjadi di Turki.
Akibatnya, buku-bukunya dibakar oleh kaum nasionalis dalam sebuah aksi unjuk rasa di kota Bilecik, sebelum pada akhirnya dia digugat ke pengadilan.
Pembakaran buku mendapatkan reaksi dari dunia internasional: 8 penulis besar dunia mengajukan pembelaan bersama terhadap Pamuk. Mereka adalah Carlos Fuentes, Gabriel García Márquez, Günter Grass, John Updike, José Saramago, Juan Goytisolo, Mario Vargas Llosa, dan Umberto Eco.
Ya, di Indonesia, Orhan Pamuk hampir sama dengan apa yang dikecap Pramoedya Ananta Toer, sosok penulis besar tapi diasingkan dan tak diakui eksistensinya hanya karena sentimen politik dan kekritisannya pada kenyataan.
Kini, kakek yang masih terlihat tampan, melankolis dan berkharisma itu berusia 67 tahun. Dan sialnya; Kharis, saya dan kawan-kawan lain yang dulu sangat memujanya itu, masih belum juga memiliki kaos bergambar wajahnya.