Nabi Sulaiman, Ratu Balqis dan bakso Pak Man yang penuh cerita.
Namaku Rama. Ibuku seorang Cina yang menetap di Indonesia mengikuti ayahnya berdagang sejak tahun 1997. Kemudian menikah dengan anak saudagar kaya, ayahku. Seorang Jawa Tulen.
Aku lebih mirip ibuku. Kulitku putih dan mataku sipit khas orang Tionghoa tapi tubuhku tinggi kekar khas orang Jawa. Aku seperti Ann, peranakan. Bedanya Ann Belanda Peranakan sedang aku Tionghoa Peranakan. Bukan totok.
Aku pernah membaca buku berjudul Always, Laila karya Andi Eriawan. Bagian sampul belakang ada kalimat “Perempuan menulis dengan jiwa. Laki-laki menulis apa adanya.” Oleh Anjar (Penulis Beraja).
Tak perlu kujelaskan Ann siapa. Karena aku berkeyakinan tiga orang telah mengenalnya. Membaca ceritanya yang banyak menggunakan tokoh Rama dan Hasan yang disebutnya dengan embel-embel “Mas”.
Maka saat ini aku menulis dengan apa adanya. Tentang Ann, perempuan agustusku dan bakso favorit kami. Bakso Pak Man. Ini tentang kami seutuhnya. Tanpa ada Hasan. Sebab ceritaku hanya tentangnya. Si Ann, gadis keturunan Belanda Jawa.
Siang itu selepas kuliah kami berbincang di warung bakso Pak Man yang terletak di trotoar utara gerbang masuk Pantai Boom Tuban.
“Kamu tahu, Ann? Pak Man membuka warung ini karena bakso adalah awal cerita cinta beliau dengan sang istri,” tanyaku pada perempuan berjilbab merah jambu yang dua ujung jilbabnya ditali ke belakang.
“Masa? Nggak percaya,” tukasnya.
“Suer, Ann. Tanya saja sama Pak Man.”
“Nggak, ah. Sungkan.”
Bakso kami datang. Aku menambahkan tiga sendok sambal di bakso tanpa mie bihun. Hanya kubis. Jeruk nipis kuperas untuk menambahkan rasa sedap.
Sedang perempuan dengan tunik merah muda itu menambahkan saus, sedikit kecap dan empat sendok sambal. Lalu kami bertukar pesanan.
Inilah kebiasaan kami. Dia meracik baksoku dan aku meracik baksonya.
“Ann, aku pernah baca artikel masalah bakso yang ditulis oleh Kang Iqbal. Katanya bakso ini seperti kehidupan. Seperti manusia,” kataku di sela-sela mengunyah pentol kecil.
Ann, menatapku. Matanya menyelidik penuh penasaran.
“Bakso yang akan disantap Malaikat Izrail. Kapan pun. Sesuai takdir.”
“Ada yang cara memakannya cepat ada pula yang pelan-pelan. Tergantung Empunya. Jika besar, maka akan dipotong-potong terlebih dahulu. Jika dosanya besar, maka akan disiksa terlebih dahulu.”
Dia berhenti makan. Mengambil buku kecil berwarna merah hati. Lantas mencatat. Itulah kebiasaannya. Apapun yang dia dengar, yang dia lihat dan yang dia rasakan akan jadi bahan tulisan. Bakso pun dinomor duakan.
“Di artikel itu juga ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang sakitnya bakso yang dipotong-potong.”
Lantas aku membacakan arti surat Al-An’am ayat 93. Yakni, alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat mumukul dengan tangannya, (Sambil berkata): “Keluarkan nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya.
“Ingatanmu begitu tajam, Ram. Daebak. Pelan-pelan ya cerita artinya, aku ingin menulisnya.”
Aku memang sengaja menghafalnya. Agar nanti aku bisa bercerita dengan lengkap pada Ann. Aku berbicara kembali tentang terjemah ayat itu. Secara perlahan.
“Kamu tahu, Ann? Bakso selain dibuat oleh orang Indonesia juga dibuat oleh orang Tionghoa loh.”
“Serius?”
Matanya membelalak tak percaya. Aku mengangguk mantap.
“Keren dong orang Tionghoa.”
“Aku keren juga kan?”
“Enggak, hahaha.”
“Awas kamu.”
“Yah, jangan ngambek dong. Lanjutin lagi, ya.”
“Berani apa?”
“Buku Pram? Yang Arus Balik.”
“Setuju.”
Aku mengoceh lagi. Bahwa bakso merupakan akar kuliner dari Tionghoa dan Indonesia. Kata bakso berasal dari kata Bak-So. Dalam Bahasa Hokkien secara harfiah berarti daging giling.
Bakso Tionghoa memiliki ciri warna agak kecoklatan karena terbuat dari daging babi. Bentuknya pun tak sebulat bakso Indonesia.
“Wah, keren banget Ram. Eh ya, kamu tahu nggak cara mengetahui bakso itu mengandung boraks atau tidak?” tanyanya.
“Tahu lah. Meski aku anak Bahasa Indonesia bukan Biologi sepertimu tapi aku tahu.”
Aku mengambil satu buah pentol. Lantas kupantulkan di meja. Pentol itu menggelinding. Tak sampai jatuh kupungut kembali.
“Jika baksonya memantul itu mengandung boraks.”
“Yupz, benar. Tumben banget,” ledeknya.
“Eh, masalah boraks, bakso pernah diragukan oleh BPOM.”
“Maksudnya gimana?” tanyanya antusias.
“Habiskan dulu baksomu. Nanti aku cerita lagi.”
Dia segera melahap cepat bakso itu. Sama sepertiku. Setelah membayar kami pun beranjak menuju alun-alun Kota Tuban. Duduk di bangku bawah pohon beringin bagian selatan.
“Cepetan Ram, sambung ceritanya.”
“Iya iya, tapi beli ice crem dulu gimana?”
Dia manyun. Terlihat lucu. Menggemaskan. Aku melangkah. Menuju bapak penjual ice crem keliling di seberang jalan.
“Nih. Jangan manyun terus. Tambah cantik nanti,” godaku.
“Ish, dasar.”
Dia memakan ice crem cokelatnya perlahan.
“Karena ada bakso yang dicampur boraks atau garam bleng membuat teksturnya kenyal dan lebih awet. Sebab boraks berbahaya untuk kesehatan. Jika mengonsumsi boraks dengan kurun waktu lima sampai sepuluh tahun, maka akan terjangkit penyakit kanker hati.”
“BPOM akhirnya memperbolehkan bakso dijual belikan dengan syarat tanpa ada campuran boraks.”
Dia menutup bukunya. Puas akan ceritaku.
“Mau dengar ceritaku tentang Pak Man?” tanyaku setelah memakan habis ujung ice crem.
“Halah, palingan juga fiksi. Hasil imajinasimu, Ram,” ejeknya.
“Bukan. Non fiksi ini. Asli.”
“Apa?”
“Kan, kepo juga.”
“Nama Pak Man aslinya adalah Sulaiman. Aku ingin bercerita tentang Nabi Sulaiman bukan Pak Man,” jelasku diiringi gelak tawa menggelegar.
Dia menepuk bahuku kesal. Aku semakin terkekeh.
“Setelah Nabi Sulaiman membangun Baitul Maqdis, Nabi pergi ke Yaman. Setelah tiba di ibu kota negeri seribu wali itu, San’a, Nabi tidak menemukan sumber mata air. Karena dapat berbicara dengan binatang, Nabi memerintahkan burung hud-hud untuk mencari air.”
Setelah menarik nafas panjang aku melanjutkan.
“Burung hud-buh bukannya menemukan sumber mata air malah menemukan kerajaan. Kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu cantik rupawan. Namun sayang, warga di sana menyembah Dewa Matahari. Setiap pagi mereka akan menunggu terbitnya mentari dan terbenamnya di ufuk barat. Bersujud. Menyembahnya dengan khusyuk. Dengan alasan, surya lah yang memberi cahaya tiap harinya. Memberi kehangatan serta kehidupan.”
“Aku pernah membaca tentang Yaman di novel Langit Cinta Di Negeri Balqis karya Gus Adly Fadly Usmunie. Apik banget, Ram. Novelnya Best Seller. Ada dua bagian.”
“Aku boleh pinjam?”
“Boleh. Dengan syarat teruskan ceritanya. Hehehe.”
“Baik.”
Aku meneruskan bahwa Nabi Sulaiman mengirimkan surat ke Kota Saba, tempat singgah Ratu Balqis lewat burung hud-hud.
Ratu Balqis memiliki rencana untuk melunakkan hati Nabi Sulaiman agar dapat tunduk padanya dengan cara mengirim benda-benda mewah dan berharga. Burung hud-hud yang mendengar rencana itu, segera melapor pada tuannya.
“Terus rencana Nabi Sulaiman apa, Ram?” tanyanya penasaran.
“Nabi Sulaiman memerintahkan para jin untuk membuat bangunan mewah dan megah. Menyambut utusan ratu cantik itu dengan ramah tamah. Namun menolak semua pemberian. Dan mengatakan bahwa Allah telah menganugerahinya kekayaan dan kerajaan yang tidak ada habisnya.”
Aku meneruskan cerita yang hampir sampai pada ending. Nabi Sulaiman bersikeras untuk menikahi Ratu Balqis dan mengajaknya beriman.
Nabi ingin menunjuk sesuatu yang sangat mengejutkan. Memindahkan kediaman Ratu Balqis dengan bantuan rakyat jinnya.
Ifrit yang terkenal sakti mandra guna menyanggupi dengan hanya waktu selangkah kaki Nabi Sulaiman. Sedang salah satu jin yang mulia dan bertakwa menyanggupi hanya dengan sekali kedipan mata Nabi.
Melihat kerajaan Ratu Balqis berada di ruangan Nabi Sulaiman dengan lantai yang seperti lautan, Sang Ratu merasa terheran. Disingkapnya gaun indah itu hingga ke betis lalu Nabi menjelaskan bahwa itu bukan lautan asli. Hanya keramik buatan.
Aku menjeda. Memberhentikan penjual rujak. Sedang Ann, fokus menulis sedari tadi. Padahal sebelumnya buku merah hati itu telah ditutup. Akhirnua pun di buka kembali. Dasar, anak rajin.
Setelah membayar satu mika rujak pedas aku kembali ke bangku tempat Ann menarikan tangan.
“Ini, makanlah. Cuacanya terik.”
Aku menyodorkan campuran buah dengan sambal kacang itu.
“Kamu?”
“Satu untuk berdua.”
Dia tersenyum, manis sekali.
“Setelah menyadari kebodohannya, Ratu Balqis meratapi hidupnya selama ini. Beriman. Menyebut nama Tuhan dan Rasulnya dalam kalimat syahadat.”
“Gimana ending-nya bahagian kan?”
“Bahagia. Sebahagia aku hari ini. Ada banyak bahan buat tulisan. Makasih ya, Ram.”
“Kembali kasih.”
“Ke Pantai Boom mau? Sebentar lagi sore.”
Dia mengangguk. Tersenyum. Membereskan buku dan pulpennya.
Inilah sepenggal kisah sehari dengan Ann. Maaf, aku tidak bisa membuat ending semenarik yang dibuat Ann. Ending dengan plot twist yang mengejutkan.
Inilah kisahku. Yang kutulis dengan apa adanya. Semoga suka. Kritik dan saran selalu aku nantikan.
Tuban, Jum’at 3 Juli 2020