KH. Bisri Syansuri merupakan sosok penting dalam sejarah pergerakan Nahdlatul Ulama (NU). Berikut dokumentasi kiprah Sang Kiai dalam mengarungi pendidikan pondok pesantren.
Kiai Haji Bisri Syansuri dilahirkan di Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah pada 23 Agustus 1887/5 Dzulhijjah 1304 Hijriah. Beliau terlahir dari pasangan Sansuridi dan ibunya yang bernama Siti Rohmah.
Berdasarkan Arsip Nasional Republik Indonesia, III-6, KH. Bisri Syansuri mempunyai nama asli Mustajab. Beliau merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah merupakan salahsatu daerah yang mayoritas penduduknya masih memegang erat tradisi keagamaan yang kental, yang terbentang dari wilayah Demak di timur Semarang hingga wilayah Surabaya Barat Laut (Gresik).
Wilayah Tayu memiliki latar belakang geografis yang erat sehingga sangat mewarnai pandangan hidup sosok Bisri (baca: KH. Bisri Syansuri) dikemudian hari (Wachid, 1989:05).
Pada umumnya penduduk Tayu masih hidup dibawah garis kemiskinan bila disamakan dengan daerah disekitarnya. Tayu merupakan wilayah yang terjepit oleh pertanian yang kurang subur serta pesisir pantai yang kurang membuahkan hasil yang berlimpah.
Keadaan ini yang memaksa penduduk diwilayah pesisir utara Jawa untuk memegang teguh pada tarikat keislaman secara kuat di kalangan mayoritas Islam yang taat kepada ajaran Tuhan. (Wachid, 1989:06).
Jika merujuk pada tulisan Clifford Geertz dalam bukunya Agama Jawa: Abangan, Santri dan Priyayi penduduk inilah yang disebut dengan kaum santri, yang dikemudian hari hanya dipanggil ‘santri’.
Akar mula pondok-pondok pesantren besar terus bermunculan di daerah pesisir utara Jawa mulai sejak awal munculnya Islam di wilayah itu hingga detik ini.
Pesisir Utara Jawa inilah yang turut menyumbang kontribusi bagi keberadaan calon ulama bagi daerah di pelosok pedalaman Pulau Jawa, yang pada wilayah ini masih memegang erat tradisi pra-Islam.
Tumbuh suburnya ulama-ulama yang dihasilkan pesantren wilayah pesisir utara tidak terlepas dari buah kerja keras karena adanya tradisi ilmu agama, yang hingga saat ini masih memberikan suntikan ke wilayah kultural di daerah pedalaman yang masih belum “move on” dari tradisi kultural pra-Islam.
Keluarga “Bisri” dari pihak ibu merupakan keluarga yang menurunkan generasi dari beberapa ulama besar seperti Kiai Khalil dari Lasem, yang berdakwah sebelum generasi kekiaian Bisri Syansuri dan Kiai Ma’sum yang memiliki umur yang sedikit lebih tua daripada Kiai Bisri sendiri serta Kiai Baidhawi yang umurnya hampir bersamaan.
Bahkan Lasem merupakan salah satu daerah pesantren yang masih eksis menyumbang ulama-ulama bagi perkembangan Islam di pelosok.
Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, III-6, KH. Bisri Syansuri mulai belajar mengenai kegamaan pada Kiai H. M. Amin didesanya sendiri dan kepada ayahandanya ditahun 1896. Ketika itu, beliau mulai belajar mengenai membaca Al Qur’an dengan tajwid yang fasih, serta belajar Nahwu, Shorof, Fiqih, Tauhid, Tafsir, Hadits.
Tiga tahun berselang, setelah berhasil menguasai bacaan Al Qur’an, beliau melanjutkan “nyantri keliling”-nya ke salahsatu keluarga dekatnya di Desa Kajen yang bernama Kiai Abdul Salam, seorang hafidz yang menguasai ilmu fiqh. Pada ulama ini, beliau menimba ilmu tentang aqoid dan fiqh.
Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan nyantrinya ke Pulau Garam (Madura) lebih tepatnya di Kota Bangkalan di tahun 1906. Di pondok pesantren yang dibina oleh KH. M. Kholil ini, beliau menimba ilmu mengenai ilmu nahwu dan shorof sebagai pelapis hafalan Al Qur’an-nya. Dari pondok ini, ia berkawan karib dengan KH. Wahab Chasbullah.
Setahun kemudian, KH, Bisri Syansuri meneruskan mempelajari ilmu nahwu dan shorofnya ke Kabupaten Rembang dengan berguru kepada KH. M. Oemar. (Arsip Nasional Republik Indonesia, III-6)
Karena kedekatannya dengan KH. Wahab Chasbullah, serta berkat rekomendasi darinya ketika masih berguru kepada KH. Kholili Bangkalan. Maka KH. Bisri Syansuri melanjutkan pengembaraan mempelajari ilmu agama kepada KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang yang terkenal dengan ilmu ushul, fiqh, hadits dan tafsir.
Setelah selesai melanjutkan pendidikan ilmu agamanya di Pondok Pesantren Tebuireng, seperti kebanyakan ulama-ulama lainnya, ia melanjutkan pengembaraan ilmu-ilmu agama ke Makkah Al Mukarromah.
KH. Bisri Syansuri berangkat ke Makkah Al Mukarromah bersama sahabat karibnya, KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Mereka berdua belajar kepada sejumlah ulama kondang di Makkah seperti Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani dan Syekh Jamal Maliki.
Mereka berdua juga berguru kepada guru yang sama dengan “Sang Mahaguru” yakni Kiai Ahmad Khatib Padang dan Kiai Mahfudz Termas.
Menurut (Hilmy, 2013:140), Hj. Chodijah, adik Wahab Chasbullah menunaikan ibadah haji dengan didampingi sang ibu.
Melihat peristiwa ini, maka Wahab Chasbullah berusaha untuk menjodohkan kawannya tersebut dengan adik kandungnya.
Upaya tersebut membuahkan hasil, KH. Bisri Syansuri menghendaki keinginan kawan karibnya itu.
Setelah tiga tahun menimba ilmu dengan mengelilingi beberapa ulama masyhur di Tanah Arab, KH. Bisri Sansyuri menikahi Hj. Chodijah dan pada tahun itu mereka berdua pulang ke tanah air, tapi tidak dengan KH. Wahab Chasbullah yang masih tetap mengembara di Mekkah untuk melanjutkan pengembaraannya menimba ilmu agama.
Setelah tiba di Hindia Belanda (Indonesia), KH. Bisri membantu menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, yang diasuh oleh Kiai Hasbullah, mertuanya sendiri.
Setelah beberapa tahun mengajar di Tambakberas, ia diangkat menjadi pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Tambakberas).
Beberapa tahun berselang semenjak menjadi pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Tambakberas) beliau mulai merintis pendirian pondok pesantrennya sendiri yang terletak tidak jauh di Tambakberas dan berada di pinggiran Kota Jombang yakni Desa Denanyar yang memiliki nama Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar. (Suprapto, 2010:276)
Ketika awal pendirian Desa Denanyar, perilaku masyarakat di sana masih terbilang buruk dimana ditempat itu masih terdapat lokalisasi wanita tuna susila (WTS), kekerasan, perampokan dan pembunuhan selalu menghantui desa ini, seperti halnya ketika awal pendirian Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Ketika awal pendiriannya, murid-muridnya KH. Bisri Syansuri berdatangan dari anak-anak tetangga mereka yang bertempat tinggal didesa yang sama dengan beliau dengan mendatangi surau/langgar yang didirikan olehnya pada tahun 1917 (1336 H).
Pondok pesantren yang dirintis oleh KH. Bisri Syansuri kian hari kian berkembang dan kini menjadi salahsatu rujukan pondok pesantren besar di Indonesia (Suprapto, 2010:276).
KH. Bisri Syansuri menghembuskan nafas terakhir pada hari Jumat, 19 Jumadil Akhir 1400 H, bertepatan dengan 25 April 1980 di kediamannya di lingkungan Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang.
Bertahun tahun sebelumnya, ia sempat menerima jabatan sebagai Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama.
Dimas Bagus Aditya merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga.