Sejak masa silam, bahkan jauh sebelum Republik ini lahir, pesantren telah hadir sebagai suluh ilmu dan cahaya sosial bagi masyarakat Indonesia. Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga ruang pembinaan moral, laboratorium sosial, serta benteng kebudayaan yang menanamkan nilai keikhlasan dan pengabdian.
Data Kementerian Agama mencatat, per September 2025 terdapat tidak kurang dari 42.391 pesantren yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti konkret bahwa pesantren telah menjadi urat nadi kehidupan bangsa.
Bila negara-negara Barat berbangga dengan universitas yang mencetak sarjana, maka Indonesia memiliki pesantren yang melahirkan intelektual berakhlak, ilmu yang berjiwa, bukan sekadar pengetahuan yang hampa nilai.
Cendekiawan Nahdliyin terkemuka Ahmad Baso dalam karyanya Pesantren Studies menegaskan, “Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan sistem pengetahuan (knowledge system) yang menghidupkan tradisi berpikir, berakhlak, dan berbudaya”.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa pesantren adalah ekosistem peradaban, tempat ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupi dalam keseharian santri dan masyarakatnya.
Sejarah mencatat, pesantren selalu berada di garis depan perjuangan bangsa. Lihatlah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy‘ari, seruan yang menggugah ribuan santri turun ke medan tempur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung.
Dari sisi keilmuan, Syekh Ihsan Jampes dari Kediri menulis mahakarya monumental Sirajut Thalibin, kitab setebal hampir 800 halaman yang kini dikaji di berbagai pesantren dan universitas Islam dunia,
termasuk Al-Azhar Kairo, Mesir. Menyebut satu per satu kiprah ulama dan kiai pesantren bagi bangsa ini akan membutuhkan berlembar-lembar buku dan berabad waktu.
Namun sebagaimana peradaban lain, pesantren tidak lepas dari ujian zaman. Di tengah arus modernisasi, teknologi, dan opini publik yang berubah cepat, pesantren kerap menjadi sasaran salah paham, bahkan fitnah.
Tragedi ambruknya musala di Pondok Pesantren Al-Khozini pada 29 September 2025 menjadi contoh bagaimana perhatian publik bisa berubah menjadi tontonan semata. Sorot kamera berlomba mengabadikan reruntuhan, sementara sebagian warganet sibuk menilai tanpa memahami ruh perjuangan di balik dinding pesantren.
Belum reda kabar itu, muncul pula pemberitaan yang menyinggung KH. Anwar Mansur Lirboyo Kediri, kiai kharismatik yang selama ini menjadi rujukan spiritual dan intelektual bagi santri, petani, buruh, dosen, hingga para pejabat. Sayangnya, tayangan televisi tersebut menggiring opini secara serampangan, “menggoreng” citra pesantren tanpa mempertimbangkan kehormatan dan jasa besar mereka bagi negeri ini.
Padahal, bila kita menilik sejarah dan ilmu, pesantren adalah tiang penyangga moral bangsa, tempat di mana nilai, ilmu, dan budaya berpadu membentuk manusia Indonesia yang beriman sekaligus berilmu.
Sebagaimana pesan KH. Ahmad Dahlan, “Ilmu tanpa amal adalah kesombongan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.” Pesantren menjaga keseimbangan dua hal itu dengan indah ilmu yang diamalkan, dan amal yang berilmu.
Bedug Pesantren kiranya perlu ditabuh dengan pemaknaan yang berbeda, kalau biasanya bedug pesantren adalah tanda masuknya waktu sembahyang atau simbol akan adanya kegiatan tertentu, kali ini Menabuh Bedug Pesantren berarti membangunkan nurani publik untuk kembali menatap wajah asli pesantren lembaga yang sabar, teduh, dan penuh pengabdian.
Framing terhadap pesantren akhir-akhir ini terasa seperti sengaja diburu demi menaikkan rating media dan konten digital. Pertanyaannya, apakah hanya demi konten, pesantren dan para kiai harus menjadi bahan olok-olok bahkan cemoohan ? Kini saatnya bedug pesantren ditabuh kembali — bukan sekadar bunyinya yang lantang, tetapi maknanya yang menggugah kesadaran.
Menabuh Bedug Pesantren berarti membangunkan nurani bangsa untuk kembali menatap sumber kearifan yang telah lama menjaga kita. Kritik terhadap pesantren boleh, bahkan perlu, namun harus berpijak pada data, empati, dan keadilan, disampaikan dengan tabayyun dan penuh hikmah.
Pesantren tidak pernah menolak perubahan, pesantren hanya menolak kehilangan ruhnya. Sebagaimana dikatakan Gus Dur, “Pesantren adalah miniatur Indonesia. Di sana ada keberagaman, ada toleransi, ada perjuangan, dan ada cinta terhadap tanah air.”
Selama pesantren berdiri, bangsa ini masih memiliki harapan-harapan tentang ilmu yang beradab, moral yang berilmu, dan manusia yang tidak tercerabut dari akar budayanya.
Menabuh bedug pesantren hari ini juga bermakna mengajak kaum santri kembali ke bangku literasi. Santri tidak hanya dituntut menguasai kitab kuning, tetapi juga melek digital dan mampu membangun narasi positif di jagat maya.
Karena di era algoritma ini, diam berarti kalah narasi. Jika pesantren tidak menulis tentang dirinya sendiri, maka orang lainlah yang akan menulis bahkan dengan tafsir yang menyesatkan.
Santri dan alumni pesantren perlu memperkuat literasi digital dan komunikasi publik menulis, berdiskusi, dan berdakwah di ruang digital dengan bahasa yang santun namun tegas. Dengan begitu, dunia maya tak lagi menjadi ladang fitnah, tetapi ruang dakwah yang menyejukkan. Sebagaimana pepatah Arab “Al-kalimatuth thayyibah, shadaqah” setiap kata yang baik adalah sedekah.
Maka mari kita menabuh bedug pesantren dengan kata yang meneduhkan, bukan mengoyak; dengan ilmu yang mencerahkan, bukan membakar. Sebab gema pesantren tidak akan pernah padam, ia akan terus bergema, dari bilik santri yang sunyi hingga ke ruang digital yang ramai.