“Alhamdulillah, akhirnya mimpi saya untuk menginjakkan kaki di Fez terwujud!” Begitu gumam syukur saya, beberapa tahun lalu, meluncur dari bibir, saat bus yang saya tumpangi memasuki kota Fez, Maroko: negeri yang terletak di ujung paling barat Benua Afrika.
Sebuah kota yang telah lama menjadi impian saya sejak masih menimba ilmu di Mesir antara tahun 1978-1984. Fez, kota yang menyimpan sejarah panjang peradaban Islam, akhirnya dapat saya “peluk”. Ya, saya “peluk”, selepas sekian lama tak tersentuh oleh kedua kaki dan jemari saya, serta hanya menjadi bayangan dalam mimpi.
Fez, sejarah menuturkan, bukan sekadar kota biasa. Ia adalah saksi bisu kejayaan Islam pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Kota ini juga menjadi rumah bagi Masjid dan Universitas Qarawiyyin, yang disebut sebagai universitas tertua di dunia. Ya, lebih tua dari al-Azhar di Kairo.
Malahan, lebih tua dari universitas-universitas ternama Eropa seperti Oxford, Cambridge, dan Sorbonne. Yang menakjubkan, pendiri Universitas Qarawiyyin adalah seorang perempuan. Namanya: Fathimah al-Fihriyah.
Perjalanan menuju Fez dari Marrakesh memakan waktu sekitar 536 kilometer. Sepanjang perjalanan, saya sengaja tidak memejamkan mata. Pemandangan gurun pasir yang membentang luas, dengan langit biru yang tak berujung, seolah menjadi kanvas alam yang memukau.
Kebiasaan saya saat bepergian adalah “sedikit tidur, banyak mengamati”. Sebab, siapa tahu ini adalah kesempatan terakhir saya menikmati pemandangan ini. Begitu bus memasuki Fez, hati saya bergetar. Kota yang terletak di tepi Sungai Faz, sehingga dinamakan “Madînah Fâz” atau “Kota Faz”, ini telah berusia lebih dari 1.300 tahun. Lebih tua dari Kairo yang baru didirikan pada 972 M. Fez, seperti halnya Kairo, terdiri dari dua kota: lama dan baru.
Sejarah Fez bermula ketika Pangeran Idris bin Abdullah al-Hasani tiba di Maghrib, dalam usaha menghindarkan diri dari pengejaran para penguasa Dinasti Abbasiyah di Irak. Kemudian, dengan bantuan seorang maulâ bernama Rasyid, sang pangeran berhasil meraih dukungan suku Urba, salah satu suku Berber.
Ia kemudian menjadikan Welilla sebagai ibukota pertama pemerintahannya ketika ia ditabalkan pada Kamis, 11 Ramadhan 172 H/12 Februari 789 M. Lewat seruannya, sejumlah suku seperti Zenata, Zawwaghah, Zawawah, Limayah, Sidratah, Misratah, Ghiyatsah, Nafazah, Miknasah, dan Ghumarah bergabung dengannya. Fez mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-13 dan 14 M, di bawah kekuasaan Bani Marin.
Saat itu, penduduknya mencapai 200.000 orang. Namun, bagaikan roda yang berputar, Fez sempat mengalami kemunduran ketika dinasti-dinasti berikutnya memilih Marrakesh sebagai ibukota. Baru pada abad ke-19, Fez kembali meraih posisinya sebagai pusat pemerintahan di bawah Dinasti Alawiyah.
Di tengah gemerlap sejarah Fez, Masjid Qarawiyyin berdiri megah. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Namun, juga menjadi pusat ilmu pengetahuan. Didirikan pada 859 M oleh Fathimah al-Fihriyah, putri seorang saudagar kaya dari Qairawan, Tunisia, masjid ini kemudian berkembang menjadi universitas.
Fathimah al-Fihriyah adalah sosok yang luar biasa. Ia lahir dari keluarga yang kaya raya. Namun, kekayaannya tidak membuatnya lupa akan tanggung jawab sosial dan keagamaan. Selepas ayahnya berpulang, Fathimah dan saudarinya, Maryam, mewarisi harta yang melimpah. Namun, alih-alih menggunakan harta itu untuk kemewahan pribadi, Fathimah memutuskan untuk membangun sebuah masjid yang juga akan menjadi pusat pendidikan.
Karena itu, dengan tekad yang kuat, Fathimah menggunakan seluruh warisannya untuk membangun dan memperluas Masjid Qarawiyyin. Ia memastikan bahwa masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah. Namun, juga menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat. Hasilnya, Masjid Qarawiyyin menjadi salah satu pusat pendidikan terkemuka di Dunia Islam. Dan, ketika langkah-langkah saya memasuki masjid itu, bibir saya berseru tertahan, “Oh, ini dia universitas pertama di dunia! Matur nuwun Gusti, Engkau perkenankan aku mengunjunginya!”
Kini, dengan bergulirnya waktu, Masjid Qarawiyyin telah berubah menjadi sebuah universitas yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern. Utamanya, hal itu mulai terjadi pada 1947. Kemudian, pada 1965, namanya berubah secara resmi menjadi Universitas al-Qarawiyyin.
Dalam sejarah panjangnya, di antara para alumni Masjid-Universitas al-Qarawiyyin adalah tokoh-tokoh besar seperti Ibn Rusyd (Averroes), seorang filosuf dan ahli hukum Islam abad ke-12, Maimonides, seorang filsuf Yahudi pada abad yang sama, Paus Sylvester II, seorang ahli teologi Muslim kondang abad ke-14, Ibn al-Haj al-Abdari, seorang pembuat peta kondang pada abad ke-16, dan al-Idrisi yang di Barat dikenal dengan sebutan Leo Africanus.
Banyak ulama dan ilmuwan yang memuji keagungan Fez dan Universitas Qarawiyyin. Misalnya, Ibn Rusyd (Averroes) pernah menimba ilmu di Qarawiyyin. Ia mengatakan, “Qarawiyyin bukan sekadar tempat belajar. Namun, juga merupakan pusat peradaban yang melahirkan pemikiran-pemikiran besar. Di sanalah, saya menemukan inspirasi untuk karya-karya saya.”
Sementara itu, Ibn Khaldun, seorang sejarawan dan filosuf terkenal asal Tunisia, menyebut Fez sebagai “pusat peradaban Islam di Maghrib”. Dalam kitabnya, al-Muqaddimah, ia menulis, “Fez adalah kota ilmu dan kebudayaan. Di sanalah para ulama dan cendekiawan berkumpul, menciptakan karya-karya yang menginspirasi dunia.”
Kini, meski zaman telah berubah, Fez tetap mempertahankan pesonanya. Kota tua Fez (Fez el-Bali) yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, masih memancarkan aura kejayaan masa lalu. Lorong-lorong sempitnya, pasar tradisionalnya, serta bangunan-bangunan bersejarahnya, seolah membawa kita kembali ke masa keemasan Islam.
Fez memang bukan sekadar kota batu dan debu yang diam membisu. Ia adalah kota yang hidup, bernafas, dan berdenyut dengan napas sejarah yang panjang.
Setiap lorong sempitnya, setiap batu yang menyusun tembok-tembok tuanya, dan setiap gema azan yang berkumandang dari menara Qarawiyyin, seolah berbicara tentang sebuah peradaban yang pernah mencapai puncak kejayaannya.
Di sini, di Fez, kita diajak untuk merenung: betapa besar peran manusia dalam membangun peradaban.
Fathimah al-Fihriyah, dengan visi dan dedikasinya, telah meninggalkan warisan yang tak ternilai. Ia tidak hanya membangun masjid atau universitas. Namun, ia juga menanamkan benih ilmu pengetahuan yang terus tumbuh dan berbuah hingga hari ini. Ia mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah harta yang menumpuk. Namun, karya yang bermanfaat bagi umat manusia.
Fez juga mengingatkan kita bahwa peradaban tidak dibangun dalam semalam. Ia adalah hasil dari kerja keras, ketekunan, dan kesabaran. Dari Pangeran Idris yang membangun fondasi kota ini, hingga para ulama dan ilmuwan yang menorehkan tinta emas dalam sejarah, Fez adalah bukti nyata bahwa peradaban besar lahir dari tangan-tangan yang ikhlas dan hati yang penuh visi!
Maka, jika suatu hari Anda berkunjung ke Maroko, jangan lewatkan Fez. Berjalanlah di lorong-lorong tuanya, rasakan getaran sejarah di setiap langkah, dan kagumi keindahan Masjid Qarawiyyin. Duduklah sejenak di pelataran masjid, bayangkan betapa ribuan tahun lalu, di tempat yang sama, para ulama dan ilmuwan berkumpul, berdiskusi, dan menciptakan karya-karya yang mengubah dunia.