Weton, tumpeng dan sego buceng lebih dari sekadar perpaduan momen dan kuliner. Lebih dari itu, mereka adalah harapan dalam simbol yang unik.
Kali ini saya tidak menulis puisi atau cerpen, melainkan cerita nyata yang saya alami sendiri. Tentang weton. Atau hari lahir dalam hitungan Jawa.
Ibu saya perempuan Jawa banget. Jawa tulen istilahnya. Beliau masih menggunakan hari pasaran Jawa. Yaitu, kliwon, wage, legi, pahing dan pon.
Setiap hari rabu legi, tepat kelahiran saya atau yang biasa disebut weton, ibu selalu membuat nasi tumpeng. Istilah Jawanya sego buceng. Buceng sendiri memiliki arti nyebuto seng kenceng , selalu berdo’a terus menerus.
Buceng juga disebut tumpeng. Berbentuk kerucut yang memiliki arti yen metu kudu seng mempeng, kalau keluar harus sungguh-sungguh. Maksudnya adalah jika mengerjakan sesuatu harus sungguh-sungguh.
Seperti halnya dengan menulis. Harus sungguh-sungguh. Bukan sekedar menyatukan huruf, melahirkan kalimat serta membentuk paragraf. Namun juga harus ada isinya. Yang terpenting lagi, harus istiqomah.
Buceng atau tumpeng dulu sama Nenek Moyang yang beragama Budha dibuat untuk sesaji. Memuliakan gunung yang katanya tempat bersemayam Sang Hyang Widi.
Namun untuk yang beragama Hindu, buceng dibuat untuk meniru Gunung Suci Mahameru. Tempat bersemayam dewa-dewi.
Beda lagi dengan Islam. Dalam Islam buceng dibuat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan. Allah SWT. Kata Ibu, “slametan weton, biar selamat.”
Lauk nasi buceng pun macam-macam. Tapi ibu selalu memakai mie bihun, oseng-oseng tewel, urap-urapan, telur rebus, dan ayam.
Weton memiliki arti hari lahir dalam pasaran Jawa. Semacam ulang tahun tapi sebulan sekali. Bukan pada tanggal dan bulan melainkan pada hari pasaran. Bahkan menurut ibu tidak ada ulang tahun, adanya weton.
Saat weton pula ibu menyuruh saya untuk berpuasa. Biar slamet juga katanya. Di daerahmu apa masih ada weton?
Tuban, Selasa 30 Juni 2020