Apa dalam sebuah kamus pemaknaan, entah bahasa apapun itu, Dea berarti tulisan? Karena hampir setiap Dea yang saya kenal dan ketahui, adalah penulis yang berbakat.
Saya tidak pernah mendaku sebagai feminis. Tidak sekali pun. Tapi memang pada beberapa nilai, saya bersepakat bahwa perempuan sudah bukan waktunya lagi duduk-diam sekadar menerima perintah dan dipinggirkan dengan tidak diberi ruang ekspresi.
Untuk itu, sebagai generasi millenial yang mencoba mengikuti tren, saya menggunakan media sosial Instagram. Di situlah kemudian saya mengikuti akun-akun yang menarik. Mulai dari humor receh ala 1cak, 9gag, hingga komedi satir ala freud.intensifies.
Mulai dari postingan harian recehan celebrity wanna be a.k.a most of my friends, sampai selebriti sebenarnya, juga akun-akun minatan seperti akun feminisindonesia, arekfeminis, dan kawan-kawannya. Dari satu akun berlanjut follow akun lainnya.
Ya begitulah hidup di sosial media, tempat kita semua membuang diri dari rutinitas sehari-hari (atau justru dijadikan tempat eksistensi? Entahlah). Tulisan ini memang bermaksud untuk membagi cerita. Untuk itu, kalian bisa menemukan di rubrik cecurhatan.
Singkat cerita, saya sudah lama follow indonesiafeminis di instagram. Beberapa postingan memang mewakili yang ingin saya katakan. Sekaligus mendukung pemikiran-pemikiran yang ingin saya kemukakan.
Kemudian, seorang teman dengan tidak sengaja memberitahu saya tentang keberadaan media online yang cocok untuk bacaan di kala bosan, tentu sampingan saja, karena kalian harus tetap membaca Jurnaba.co jika ingin membaca tulisan saya. Wkwk~
“Coba baca voxpop.id biasanya aku dan teman-teman baca itu. Gaya penulisannya anak muda sekali,” kata teman saya.
Sebagai orang yang tetap ingin muda, saya tentu tidak mau kelihatan kudet, kurang update. Situs itu saya buka hampir setiap hari. Ya sekali lagi, tentu setelah buka Jurnaba.co dong ~
Karena bukan termasuk pembaca yang cermat, baru setelah sekian lama, saya sadar bahwa saya sering sekali membaca tulisan dari orang yang sama. Artinya, saya secara naluri membuka judul dan membaca tulisan itu di antara sekian tulisan yang ada.
Nama penulis itu adalah Dea Safira, yang jika di dalam profilnya, ia menuliskan dirinya sebagai, “Seorang feminis Jawa yang sesekali melakoni sebagai dokter gigi serta melawan segala kemungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan, dan semangat hidup.”
Mungkin, membaca profil singkat seperti tulisan di atas, yang membuat teman saya, Mas Rizky, berkata, “Dea Safira itu kamu banget, Chus.” Hahaha, saya menyambut itu dengan tertawa. Tenang, tapi saya mengakui bahwa saya bukanlah apa-apa jika dijajarkan dengan Dea Safira.
Memang betul, ada ketersambungan ketika saya membaca tulisan Dea Safira. Begitu juga ketika melihat postingan instagram Indonesiafeminis. Belakangan saya tahu bahwa Dea Safira adalah co-founder dari Indonesiafeminis.
Lhadalah, berarti kemungkinan yang posting di Indonesiafeminis juga Dea Safira dong. Pantas saja saya nyambung-nyambung dan sepemahaman juga. Ternyata dunia ini selebar daun kelor, saya aja yang sebesar atom. Wkwk
Saya tidak kenal siapa Dea Safira, saya hanya kenal Dhea Safira, teman saya semasa SMA yang kini menekuni dunia tulis menulis fiksi, teenlit. (Dhea Safira dan Dea Safira ini beda orang lho — ada lagi namanya Dea Octavia. Kalau yang ini istrinya Mas Rizky yang juga ibuk dari keponakan saya, Hayyin).
Tapi, tulisan-tulisan Dea Safira mewakili apa yang ingin saya sampaikan. Sehingga, saya merasa bahwa kami sedikit tersambung secara pikiran. Tersambung melalui pemikiran.
Pengetahuan Dea Safira mengenai isu-isu perempuan amat luas, tulisannya tegas dan berani. Menyentil patriarki dengan humor satirnya.
Sebagai perempuan, tentu saya bangga pernah membaca tulisannya. Ketertindasan harus diakhiri dengan kesadaran, karena hanya dengan itu para perempuan dapat bangkit dan melawan.
Dea Safira, melalui tulisannya, hampir selalu menyadarkan perempuan-perempuan yang sedang ditindas dan dilemahkan perannya. Bagi saya, tidak ada alasan untuk tidak bangga kepadanya.
Perasaan yang sama juga saya alami ketika membaca tulisan Dea yang lain, yakni Dea Anugrah, penulis berbakat dengan wajah imut mirip oppa Korea yang merupakan pacar dari Nadya Noor. Dea yang ini adalah seorang lelaki.
Buku-buku dan artikel-artikelnya menyenangkan untuk dibaca, kadang juga memberi sensasi kesedihan optimistik tersendiri. Sampai di suatu siang ketika otak harus diistirahatkan, saya tiba-tiba terpikir satu pertanyaan. Ada apa dengan Dea?
Dua penulis di platform online, Dea Safira dan Dea Anugrah, menjadi penulis muda favorit saya karena kepiawaiannya menyampaikan ide dalam bentuk tulisan.
Satu lagi, teman saya semasa SMA, meski namanya Dhea, tetap saja dibaca Dea (serupa kan?), tak kalah piawainya dalam menulis. Khususnya tema teenlit. Tentu ini tergantung selera pada buku.
Ada apa dengan Dea? Dua nama di atas yang saya kagumi karena tulisannya. Belum lagi Dhea yang fokus nulis novel teenlit — dan juga Dea, ibuk dari Hayyin yang bersama suaminya, konon meramu buku dongeng bergambar. Dan mungkin juga Dea-dea lain.
Kadang saya berpikir, apa dalam sebuah kamus pemaknaan, entah bahasa apapun itu, Dea berarti tulisan? Karena hampir setiap Dea yang saya kenal dan ketahui, adalah penulis yang berbakat.