Kenapa dipertemukan kalau belum siap? Siapa sih yang bisa memastikan kita akan berjodoh dengan siapa kalau bukan sang penggurat takdir?
Siapa juga sih yang bisa memastikan, kalau kematian, bisa jadi datang sebelum kita dipertemukan dengan jodoh kita, kalau bukan penggurat skenario hidup?
Berkali-kali, bahkan sering banget saya kepikiran (sengaja mikir?) kenapa sih dipertemukan kalau memang belum ada kesiapan? Baik jodoh maupun kematian.
Siapa toh yang siap menghadapi mati kalau bekal untuk menghadapnya saja masih sangat amat kurang?
Di sisi lain, siapa toh yang siap untuk dipertemukan kalau hanya untuk main-main saja? Hmm ~
Baaaanyyaaakkk bangeettt cowok-cewek yang kenal kemudian saling suka, lalu menjalin hubungan namun hanya sementara kayak tinggal di penampungan pengungsi.
Datang untuk pergi, kenal untuk melupakan, rasa sayang datang untuk menyambut rasa sakit yang sangat amat perih dan mendalam. Miris bgst sih ngalaminya.
Lain lagi jika memang keduanya dipertemukan dalam keadaan sudah sama-sama siap. Siap dalam menjalin ikatan yang dewasa. Dikonfirmasi orang tua dan segenap keluarga besar, indahhhh sekali. Seindah nama percetakan banner.
Poinnya, saya selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa harus bertemu, bahkan kenal deket sama cowok yang entah akan jadi jodoh saya atau tidak, kenapa???
Apakah karena pengalaman merasakan sakit hati itu penting bagi bekal hidup, sehingga ada yang hadir untuk sekadar menorehkan rasa sakit hati belaka? Sepenting apa sih pengalaman sakit hati itu?
Apa cuma buat latihan biar besok kalau nemu gantinya gak kaget karena sudah pernah sakit gitu?Berarti, gantinya juga berpotensi menyakiti dong. Gimana sih.
Lelaki baik. Apa kabar lelaki baik. Saya sih hampir kebal sama yang namanya lelaki. Lelaki itu, pasti baik. Iya, pasti baik sebelum akhirnya ketahuan sifat jahatnya dan bikin nangys ~
Hati udah hancur-hancurnya dan almost putus asa. Lalu, tiba-tiba ada lelaki baik yang datang buat membalut luka. Hati yang keras pun menjadi luluh lembut seperti bagian ekor bulu kucing.
Lalu, kemudian si lelaki baik itu berubah, menghilang, lenyap, atau menguap. Dan yang paling menyedihkan adalah, dia meninggalkan jejak aspal bolong di dalam hati. Yang saat dilewati rasanya gronjal-gronjal. Bgst banget nggak sih?
Sepertinya, perasaan cinta itu jalurnya selalu menye-menye. Sepi, bertemu, terluka. Lalu ada yang datang untuk menyembuhkan, sebelum meninggalkan luka lagi. Gituu terus sampai usia matang untuk kawin. Ya, kawin dan beranak pinak.
Barangkali, itu pelajaran bagi saya dan kaum hawa semua bahwa beranak pinak memang kodrat hidup seorang perempuan. Tapi, menemukan perkakas untuk beranak pinak itu bukan hal gampang.
Sebab, makhluk hidup bernama lelaki itu selalu baik dan karena kebaikannya, dia seperti perkakas yang tak bisa membedakan mana memperbaiki masa lalu dan mana mempersiapkan masa depan perempuan.
Hai lelaki baik. Kalau nggak punya kemantapan yang kuat, jangan deh sok-sokan mbangun jalan beraspal kalau akhirnya hanya menyisakan aspal bolong belaka.
Ingat, lelaki baik. Mbangun jalan paving yang nggak nggronjal itu jauh lebih mudah dilintasi daripada mbangun jalan beraspal tapi banyak bolong-bolong di sana-sininya.
Emangnya kamu mau ngajak jalan menuju masa depan apa ngajak atraksi naik motor sih?