Logika tanpa logistik itu chaos ~
Cogito ergo sum. Siapa yang tak pernah mendengar kalimat tersebut? Benar sekali, adagium yang begitu tersohor di kalangan mahasiswa — yang baru mendapat mata kuliah filsafat — itu, dicetuskan oleh Rene Descartes, yang berarti ‘aku berpikir, maka aku ada’.
Keberadaan manusia hanya bisa terwujud kala ia berpikir. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa aktivitas berpikir begitu diagungkan, sampai-sampai ia menjadi tanda sebuah keberadaan atau eksistensi manusia itu sendiri.
Pembahasan mengenai keagungan pikiran membuat saya ingat satu serial fiksi ilmiah yang begitu terkenal, Sherlock Holmes. Kalian para Sherlockian tentu ingat sebuah metafora ‘kerajaan pikir’ yang begitu dibanggakan Sherlock Holmes, si detektiv aneh nan menyebalkan, yang sialnya, begitu pintar.
Dalam serial tersebut, kita tahu, betapa pintarnya Sherlock dengan kemampuan deduktif yang ia miliki. Ia memecahkan banyak misteri dan menyelesaikan banyak kasus yang tidak bisa ditangani oleh kepolisian.
Dalam serial tersebut, Shelock Holmes versi BBC, kita tahu bahwa Sherlock tak pernah makan ketika sedang berpikir. Karbohidrat hanya akan menganggu kerja otaknya. Demikian yang Sherlock katakan dalam serial tersebut.
Makan kerap kali dilihat sebagai hal yang berkebalikan dengan berpikir. Apakah benar demikian? Masak sih makan bisa mengganggu kinerja otak? Apa itu juga alasan kita disuruh untuk berpuasa? Supaya otak bisa bekerja lebih maksimal?
Kenapa pembahasan soal makanan juga kurang diminati atau dianggap sebagai hal yang sepele? Remeh temeh. Tentu tidak, Nabsky. Makan bukan hal yang buruk, bukan juga aktivitas yang dapat menghambat kinerja otak.
Ada yang salah dipahami oleh sebagian besar orang tentang makan dan makanan. Justru dari makananlah tubuh memperoleh nutrisi sehingga dapat berpikir secara jernih.
Hal yang menghambat kinerja otak adalah kelebihan makanan, kelebihan karbohidrat. Maka dari itu diperintahkan untuk makan sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Bahkan, Nabs, pernah Nabi mengatakan untuk makan terlebih dahulu ketika jam makan bersamaan dengan waktu salat isya’. Selain agar salat menjadi kusyuk, ada yang jauh lebih penting dari itu semua.
“Amma ba’du fainna maqshada dzawil albab…” ucap imam Al-Ghazali mengawali pembahasannya di Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Tujuan orang yang mempunyai pikiran adalah ‘bertemu’ dengan Allah di akhirat.
Nah, jalan untuk perjumpaan itu sendiri tidak lain adalah dengan ilmu dan amal, sedang kedua itu tidak bisa diperoleh tanpa tubuh yang sehat, dan kunci dari itu semua adalah makanan yang bergizi.
Betapa sesungguhnya makan adalah hal yang begitu penting. Bahkan makan termasuk dari agama itu sendiri. Inna al-akla min ad-din. Sesungguhnya makan itu termasuk agama.
Wah, berarti salah dong jika selama ini makan dipandang sebagai hal yang remeh temeh? Iya, makan begitu penting.
Bahkan jika kita diperintahkan untuk berpuasa, maka yang diperintahkan adalah untuk mengendalikan nafsu yang ada di dalam diri, dan jika waktu berbuka telah tiba maka diwajibkan untuk kita menyegerakan berbuka.
Namun, kembali lagi, Nabs: CUKUP.. Makanlah secukupnya, yakni tidak kurang dan juga tidak lebih.
Bahkan dalam ilmu kesehatan, kita seringkali mendengar betapa pentingnya sarapan. Kenapa?
Karena berbahaya bagi tubuh untuk memulai aktivitas dalam keadaan perut yang kosong alias lapar. Makan atau sarapan itu ibarat logistik, perbekalan untuk kita mengawali aktivitas di pagi hari, termasuk aktivitas berpikir.
“Logika tidak akan jalan tanpa logistik.” Begitulah yang seringkali diucapkan teman-teman kala waktu makan siang tiba dan tugas belum juga selesai dikerjakan.
Jadi, Nabs, filsuf sekalipun perlu makan. Tidak akan ada gagasan-gagasan kritis tanpa energi untuk berpikir.
Sudah, mindo, Nabs?