Wakil Presiden pertama Indonesia, Bung Hatta, adalah sosok yang akrab sekaligus mengakrabi baca buku. Bisakah Indonesia memiliki pemimpin seperti itu lagi, di era medsos ini?
Bung Hatta akhirnya menamatkan studinya di Belanda dan memperoleh gelar doktorandus dalam bidang ekonomi setelah sebelas tahun. Semula studi direncanakan selesai dalam kurun lima tahun.
Tidak hanya memperoleh gelar, ilmu, pengalaman, jejaring, dan cita-cita Indonesia merdeka yang menuntun untuk diperjuangkan. Melainkan juga 16 buah peti berisikan buku-buku koleksi yang dibawa pulang ke tanah air. “Begitu banyak buku yang Tuan bawa,” tanya petugas di pelabuhan. “Ya,” jawab Bung Hatta, “Tuan jangan lupa, aku 11 tahun di negeri Belanda.”
Enam belas peti besi berukuran besar itu nyatanya tidak bisa memuat seluruh koleksi Bung Hatta. “Buku-buku yang tidak masuk peti, yang bersifat ilmiah kuberikan kepada Sumadi, yang bersifat roman kuberikan kepada Rasjid Manggis,” tulis Bung Hatta dalam otobiografinya.
Perihal buku-buku roman, di kemudian hari menjadi bahan kelakar Sjahrir. “Dalam seluruh perpustakaan H, midalnya, terdapat hanya sebuah riman saja, dan tentang itu pun ia memberikan penjelasan (…) bahwa buku itu dihadiahkan orang kepadanya,” tulis Sjahrir tentang Hatta yang tidak punya perhatian terhadap sastra.
Perihal hal tersebut, Taufik Abdullah pernah bertanya kepada Bung Hatta: “Kata Sjahrir, Bapak punya satu buku roman saja sudah merasa malu?” Menjawab hal itu, “Ah, Sjahrir banyak fantasi. Tentang saya kan dia kritis. Roman roman saya semua saya tinggalkan di Rotterdam, sama Rasjid Manggis,” kata Hatta.
Kelakar dan kritik Sjahrir di atas, seperti ditulis dalam Serial Bapak Bangsa Tempo, perlu dilihat dalam konteks yang luas. Hatta terbukti piawai mengutip sastrawan dalam tulisan-tulisannya. Hatta sebagaimana Sjahrir memiliki kutipan favorit dari pengarang yang sama: Friedrich Schiller.
Sementara Sjahrir mengutip, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan.” Hatta dalam tulisannya seringkali mengutip, “Suatu zaman besar telah dilahirkan oleh abad. Tetapi, zaman besar itu hanyalah melahirkan manusia kerdil.” Hatta juga sering mengutip penyair asal Belgia Rene de Clerq, “Hanya satu negeri yang menjadi negeriku, ia tumbuh dengan perbuatan, dan itu adalah perbuatanku.”
Rubrik Kakilangit Majalah Horison edisi No. 4 April 2008 memuat tiga buah puisi karya Bung Hatta. Puisi berjudul Beranta Indera ditulis Bung Hatta pada November 1921, puisi Fajar Menyinsing ditulis April 1939, dan puisi Mengapa … Hai Bakung ditulis April 1939. Sajak-sajak Hatta, sesuai semangat zaman kala itu, berisi semangat juang dan bersatu pada anak bangsa yang masih dijajah.
Ketiga sajak karangan Bung Hatta memiliki semangat yang sama. Alam Indonesia yang indah, kaya, dan berwarna adalah karunia Allah Swt. Tanah air yang elok ini harus dibebaskan dari tangan penjajah. Oleh karenanya perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan senantiasa harus bergelora dan penuh semangat.
Korrie Layun Rampan menandai sajak-sajak Bung Hatta sebagai upaya yang “amat arif untuk membawa dunia sajak kepada alam lingkungan, sehingga sajak atau puisi seakan merupakan eskapisme romantik, yakni jalan bagi para penyair untuk berlindung dari ancaman tangan besi penjajah.”
Sajak atau puisi saja memang tidak mampu mengubah keadaan, namun bisa menjadi media untuk memberi motivasi, semangat, heroisme, dan membangkitkan perjuangan. “Tegaklah kembali!/ Bukankah engkau suntingan taman/ Mahligai putri jelita rupawan?”