“JIKA-kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah!”
Sebuah kutipan dari seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali ini secara tidak langsung telah menampar saya. Saya menjadi teringat kepingan kenangan bersama almarhum abang saya.
Memutar kembali kenangan saat di mana beliau begitu antusias memberikan dukungan kepada saya ketika saya mengatakan “Saya ingin menjadi penulis.” Dan sejak saat itu saya bertekad untuk selalu menulis.
Bermimpi ingin menjadi seperti beliau yang juga menyukai dunia kepenulisan.
Kutipan populer dari Imam Al-Ghazali ini benar-benar menjadi semacam penyemangat untuk saya kembali terjun di dunia kepenulisan.
Saat itu, saya sedang terpuruk selama hampir satu tahun karena ditinggal oleh satu-satunya penyemangat saya dalam menulis. Saat itu saya berpikir “Buat apa menulis lagi, toh sudah tidak ada yang menyemangati.”
Sebab, pada waktu itu hanya ada abang saya yang tak pernah lelah menyemangati saya.
Jika dihitung, saya mengenal abang saya dalam waktu yang cukup singkat. Bukan karena beliau pergi begitu cepat, melainkan tentang apa yang dilakukannya dengan menulis.
Meskipun tidak dalam bentuk tulisan berbuku-buku, namun beliau seakan menginspirasi saya untuk menulis. Apa saja. Menulis harian, menulis kejadian, menulis cerita, karangan, atau pun tulisan yang lain. “Cukup tulis saja,” tutur beliau pada saat itu.
Dulu saat abang saya masih ada, beliau adalah seorang mahasiswa rantau. Menuntut ilmu di kota orang. Segala peristiwa yang pernah terjadi baik saat di perjalanan saat pulang pergi, peristiwa di yayasan tempat beliau tinggal, peristiwa di tempat beliau kuliah, dan peristiwa di mana saja yang pernah beliau alami. Semua tulisan itu tetap tertulis rapi di laptop beliau hingga saat ini.
Abang saya termasuk sosok pendiam. Beliau tidak pernah menceritakan apa yang telah beliau alami kepada siapa pun termasuk keluarganya sendiri. Tidak peduli untuk kejadian penting atau bukan. Beliau hanya menuliskan hampir semuanya dalam catatan beliau.
Ada sebuah kejadian menarik ketika saya membaca catatan harian beliau di laptop di mana saat itu beliau membantu mengejar sebuah laptop seorang mahasiswi yang tertinggal di kereta api.
Di ceritakan saat itu beliau mengejar kereta api dengan naik bus dari Surabaya sampai Semarang. Untung saja saat itu laptop yang beliau kejar belum berpindah ke tangan orang lain.
Maka tidak heran, ketika Al-Ghazali mengingatkan saya tentang menulis, saya teringat orang tua saya. Dari abang saya, saya belajar untuk tetap menulis.
Orang tua beliau adalah orang tua saya juga bukan seorang ulama besar dan bukan seorang raja, tetapi abang saya menulis. Tulisannya mampu terkenang meskipun beliau telah tiada.
Walau bukan sebuah kitab rujukan agama dan bukan pula novel best seller tetapi beliau tetap akan terkenang karena menulis.
* Penulis adalah pengurus UKM Penalaran dan Penulisan Griya Cendekia dan mahasiswi Prodi PAI UNUGIRI Bojonegoro.