Menjadi perempuan desa tak membuat kepercayaan diri Rahayu berkurang. Dia justru mampu menulis sejumlah buku yang berangkat dari Keresahan-keresahan.
Sorot mata Rahayu Lestari Putri terlihat sayu. Maklum, siang belum benar-benar matang. Dan semua tahu, pagi menjelang siang di bulan puasa, adalah momen paling memicu kantuk.
Namun, meski terlihat mengantuk, raut wajah Rahayu tiba-tiba berubah saat kami membincang perihal buku. Ya, dara yang akrab disapa Rahayu itu, sangat antusias terhadap dunia tulis menulis dan buku.
Dara 21 tahun itu langsung bersemangat dan kantuk di wajahnya pun lantas menguap. Rahayu menceritakan jika dunia tulis menulis menjadi sesuatu yang kerap membuatnya bersemangat untuk berbincang.
“Awal suka menulis sejak SD. Bahkan pas waktu kelas 4 SD, pernah ikut lomba nulis puisi,” ucap mahasiswa semester 4 jurusan Pendidikan Agama Islam IAI Sunan Giri tersebut.
Dunia tulis menulis memang jauh dari kehidupannya. Terlebih, dia tinggal di sebuah sudut desa yang jauh dari gemebyar buku dan perpustakaan. Rahayu tinggal di Desa Bubulan Kecamatan Bubulan — kawasan yang identik sebagai hutan.
Namun, kondisi itu tak membuat Rahayu berkecil hati. Bahkan, dia kerap mengungkapkan keresahan akan keterbatasan itu pada tulisan. Meski, tentu saja, dia hanya menulis diary.
Sejak SMP, Rahayu suka menulis diary. Dan tulisan-tulisan itu belum pernah dia publikasi. Sebab, di desanya, di Desa Bubulan, dia belum menemukan teman yang satu frekuensi dengannya.
Bahkan ketika dia bersekolah di SMK, dia belum juga menemukan teman yang seperhobian. Menulis status panjang di dinding Facebook pun kerap dia lakukan guna mengaktualisasikan hobinya.
“Saya mulai berani menulis secara serius pada Maba. Waktu jadi mahasiswa,” ucap Rahayu.
Ketika dia memutuskan kuliah di Kota Bojonegoro. Dia mulai menemukan Smsejumlah teman seperhobian. Alhasil, semangat menulisnya pun kembali terpacu. Bahkan, kini sudah menerbitkan sejumlah buku.
Buku pertamanya, My Life My Love, diterbitkan penerbit Guepedia Bogor pada November 2018 lalu. Buku bergenre nonfiksi tersebut, berkisah tentang dirinya sendiri. Tentang perjuangan anak yang tinggal di sudut desa dan berbagai macam getir perjuangannya.
Sedang buku keduanya, buku kumpulan puisi berjudul Biru. Ada 80 puisi dalam buku tersebut. Buku tersebut memiliki benang merah tentang perjuangan, hujan, senja dan remaja. Juga diterbitkan oleh Guepedia Bogor pada Februari 2019 lalu.
Kedekatannya pada penerbit Guepedia Bogor terbentuk saat dia sering mengikuti lomba menulis via akun Instagram. Karena pernah memenangkan lomba, dia pun mencoba mengirim naskah dan lalu diterbitkan.
“Dulu pernah ikut lomba menulis di Instagram, dan sejak saat itu sering mengumpulkan naskah,” ucap dia.
Selain buku berjudul My Life My Love dan Biru, Rahayu juga tercatat pernah menulis buku antologi puisi berjudul Teruntuk Cinta (2018) dan Jalan Setapak (2019).
Rahayu mengaku, di antara sejumlah buku tersebut, paling berkesan adalah buku My Life My Love. Isinya semacam curhat dari masa kecil hingga dewasa, dari pedesaan hingga ke kota, dan bagaimana perjuangan menjadi anak orang kecil yang hidup di sudut desa.
Rahayu mengatakan, dia sangat terinspirasi oleh sosok pendiri Sahabat Pena Nusantara bernama M. Husnaini. Sebab, ada kesamaan antara dia dan M. Husnaini. Yakni sama-sama berangkat dari desa.
“Selain memang hobi, ada keinginan untuk membuktikan bahwa cah ndeso alas pun tetap bisa berkarya,”
Perlahan, melalui tulisannya, dia ingin mengubah mindset perempuan desa, terutama di desa tempat dia tinggal agar tidak cuma tahu perkara dapur, kasur, dan sumur belaka. Tapi juga harus tahu tentang karya.