Saya hampir tak lulus kuliah. Tapi, semangat lulus kembali mengisi relung dada kala menyaksikan Fahrudin Faiz beserta hikayat hidup yang pernah dia alami.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang, baik dari segi perilaku maupun yang lainnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Setiap orang pasti memiliki watak kepemimpinan dengan gaya yang berbeda-beda. Prinsip dasar kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yaitu : ing ngarsa sun tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Pertama ing ngarsa sun tulada, mempunyai makna seorang guru adalah pendidik yang harus menjadi teladan atau panutan ketika di depan. Begitu juga dengan seorang pemimpin harus bisa memberi contoh di depan terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Kedua ing madya mangun karsa, artinya seorang guru harus selalu berada di tengah-tengah muridnya selalu merawat semangat untuk selalu menumbuhkan ide. Seorang pemimpin pun harus selalu di tengah bersama rakyatnya untu memberi motivasi agar selalu tumbuh gagasan.
Ketiga tut wuri handayani, seorang guru harus selalu menuntun, menopang serta mengarahkan muridnya dari belakang. Pemimpin harus bisa berperan di belakang untuk memberikan dukungannya terhadap yang dipimpinnya.
Ketiga hal itu, bisa saya temui ketika saya menyaksikan Fahruddin Faiz. Beliau bahkan mampu membangkitkan sesuatu yang lama terpendam dalam diri saya.
Fahruddin Faiz lahir pada tanggal 16 Agustus 1975 di desa Ngrame kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Pendidikan di tingkat sekolah ditempuhnya di tempat kelahirannya.
Beliau alumni MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) Jember, salah satu sekolah khusus yang dirancang oleh Menteri Agama saat itu (Munawwir Sadzali). Mulai berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1994.
Ia pertama kali masuk ke jurusan Aqidah Filsafat dan lulus tahun 1998. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan S2 dan lulus tahun 2001.
Kemudian melanjutkan kuliah S3 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga mengambil jurusan Studi Islam lulus tahun 2015. Saat menjalani kuliah di tingkat sarjana (S1), tahun 1993-1998 Fahruddin Faiz juga “nyantri” di Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.
Fahrudin Faiz aktif mengisi kajian-kajian filsafat khususnya di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. Saat mengaji ia tidak hanya menyajikan filsafat Islam saja, tetapi mulai dari barat hingga timur bahkan beberapa tokoh Indonesia.
Cara Fahrudin Faiz dalam menyampaikan kajian sangatlah lembut, filsafat yang sangat sulit dipahami kini menjadi renyah ditangannya. Gaya bahasanya pun sangat mudah dipahami setiap orang, bahkan halyang kaku pun bisa menjadi lentur.
Jika penasaran dengan Fahrudin Faiz langsung cek saja di YouTube dengan mengetik namanya di mesin pencarian. Pasti dengan hitungan detik akan bermunculan videonya, bagi saya seorang Fahrudin Faiz sangatlah asik ketika sedang ngaji filsafat. Pernah suatu ketika ia ditanya oleh seorang presenter salah satu channel youtobe.
Ada sebuah kelucuan dalam perjalanannya mengenal filsafat, sebenarnya dia belum minat untuk berkuliah karena didesak orang tuanya maka ia segera berkuliah untuk membahagiakan orang tua.
Sejak kuliah dulu ia mencari jurusan yang paling tidak laku disalah satu Universitas Islam Negeri. Penjaga pun dengan sigap mengarahkannya ke jurusan Filsafat, dia pikir kalau kuliah di jurusan yang paling tidak laku akan tidak berfikir terlalu serius. Ternyata dugaannya salah, justru dengan jurusan filsafat ia dituntut berfikir sangat serius.
Awal kuliah pun iya merasa tidak nyambung dengan jurusannya. Sehingga diibaratkan orang yamg memasak nasi dengan magic com sudah dicolokkan namun lupa belum menencet tombolnya.
Sehingga terlihat memasak namun nasinya tak pernah matang, begitulah perasaannya pada saat itu. Fahrudin Faiz tak pernah nyambung dengan Filsafat sejak awal perkuliahan, ia baru bisa mencintai Filsafat di ujung perkuliahan.
Ketika menjelang kelulusan S1 ia harus mengerjakan sebuah skripsi, inilah awalnya mulai cinta sedikit demi sedikit terhadap filsafat. Akibat skripsi ini menyebabkan ia harus berfikir lebih serius daripada biasanya sehingga ia pun harus mencintai filsafat.
Skripsi ia tentang cinta yang terinspirasi dari sosok Kahlil Gibran yang menghubungkan cinta dengan humaniora. Akhirnya keberaniannya mencintai filsafat pun semakin subur, hingga ia sering mengadakan kajian di Masjid Jendral Sudirman.
Masjid Jendral Sudirman menjadi awal ia dikenal banyak orang, awalnya yang mengikuti kajian pun hanya sedikit orang. Berkat kegigihan dan ke istiqamahannya ia pun sukses mengajak banyak orang untuk belajar filsafat dengan sangat ringan.
Sedikit memang nampak aneh, biasanya masjid hanya dijadikan tempat ibadah dan ngaji kitab-kitab ke islaman saja. Kini justru dijadikan untuk kajian filsafat, bahkan bukan hanya filsafat islam saja. Mulai dari islam, barat, timur, Indonesia, bahkan hingga Jawa.
Kisah Fahrudin Faiz inilah yang menjadi salah satu motivasi bagi saya. Saya adalah seorang mahasiswa semester akhir yang kuliahnya sudah telat lulus dua tahun akibat biaya dan ditambah kurang percaya diri dengan jurusannya.
Semua itu hampir membuat saya putus asa, tetapi setelah menonton kisah Fahrudin Faiz ini mulai tumbuh semangat sedikit demi sedikit di dalam diri saya.
Hingga akhirnya saya berkomitmen untuk menyelesaikan S1 di jurusan PGMI dengan penuh percaya diri. Meski dalam diri saya sama sekali belum nampak karakter seorang guru tetapi Fahrudin Faiz mengajarkan tetaplah belajar tanpa berfikir besok jadi apa.
Hingga akhirnya keberanian pun menular, saya mulai memberanikan diri untuk menyelesaikan semester akhir. Sedikit demi sedikit saya mulai mengerjakan skripsi, bahkan sering menemui dosen pembimbing kurang lebih seminggu dua kali.
Perasaan salah jurusan kuliah pun sudah pudar, meminjam istilah Fahrudin Faiz, “saya ini sampai detik ini yakin siapapun dia yang ingin fokus mendalami ilmunya janji Allah derajatnya akan tinggi, siapapun itu yang oleh Allah dianugerahi ilmu bahkan level guru SD itu posisinya selalu mulia di masyarakat”.
Kalimat itulah yang membuat tekad dan komitmen saya untuk menyelesaikan kuliah jurusan PGMI, selain itu juga ada orang tua yang harus saya bahagiakan.
Selain itu menurut saya, Fahrudin Faiz juga salah satu tokoh yang berusaha mengubah pandangan bahwa masjid itu tidak hanya digunakan sebagai ritual ibadah mahdhah saja.
Saya meyakini bahwa masjid juga bisa dijadikan basis membangun gerakan-gerakan social yang sangat kuat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Fahrudin Faiz dengan memulai kajian-kajian filsafat di dalam masjid sedikit demi sedikit akan memperbaiki cara berfikir seseorang. Demikianlah hasil perasan otak saya yang kemudian tersalurkan lewat tangan, dan tulisan ini pasti masih banyak kekurangan. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan siap menerima kritik serta saran.