Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Kekuatan Terima Kasih dan Mari Menjadi Anak-anak

A. Farid Fakih by A. Farid Fakih
January 3, 2020
in Cecurhatan
Kekuatan Terima Kasih dan Mari Menjadi Anak-anak
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Mengucap terima kasih tanpa rasa canggung adalah kekuatan besar masa kanak-kanak yang amat sulit dimiliki masa dewasa. Sebab anak-anak memang lebih mulia dan lebih hebat dari orang dewasa.

Tepuk tangan paling riang biasanya terjadi ketika masa anak-anak. Apabila orang-orang dewasa telah berhasil menunjukan lelucon dan candaan yang memikat hati, anak-anak tak sungkan bergembira dengan menonjolkan gigi-gigi susu mereka.

Bisa dibilang, mereka adalah generasi paling jujur dalam merespon pelbagai kejadian di dunia. Bisa menangis sesekali. Atau, tertawa riang tergantung suasana hati dan bagaimana sebuah peristiwa memengaruhi mereka.

Di masa saya remaja, kanak-kanak menjadi titik awal berpulang. Titik psikologis untuk memulangkan diri. Jika sebuah kesedihan mendera, tindakan paling mungkin adalah menggerutu sembari bilang, “andai saja aku di masa kanak-kanak, pasti beban seperti ini tak pernah ada”.

Sayangnya, hal-hal seperti itu hanya berhenti pada penyesalan. Dan sebuah penyesalan, meminjam kata seorang praktisi pemulihan batin, Adjie Santosoputro: tak pernah memiliki kabar baru. Ia terlewat dan mustahil dapat dijelajahi kembali.

Semakin dewasa, hasrat kembali pada masa kanak-kanak juga semakin membuncah. Tentu bisa dimaklumi, sebab seiring tantangan yang kian bejibun, satu alternatif yang kerap melintas di pikiran adalah berimajinasi tak pernah memiliki masalah besar.

Dan itu, hanya bisa terwujud pada masa di mana menjilati eskrim terasa lebih istimewa ketimbang apapun yang ada di dunia ini.

Tetapi, benarkah dengan berimajinasi kembali menjadi kanak-kanak selalu jadi cara ampuh untuk menangani setiap beban? Tunggu dulu.

**

Masalah, tentu saja hadir pada tiap generasi manusia. Ia menjadi karib, dan darinya posisi kita ditentukan: apakah bisa belajar dan mencari cara menyelesaikannya, memilih menjadi individu yang gemar mencari tersangka atas masalah itu, atau bersikap diam sembari mengunyah dalam-dalam hingga menjadikannya monster yang menggrogoti kesehatan mental?

Tentu tak ada yang benar-benar salah, ataupun benar sepenuhnya. Sebab, segala posisi itu rentan dipengaruhi latar belakang dan konteks kehidupan seseorang.

Pada 2007, John Kralik, seseorang yang memiliki firma hukum di California mengalami depresi berat. Perkawinan dengan sang istri di ujung perceraian. Usaha yang dinaunginya nyaris bangkrut. Hubungannya dengan sang anak renggang. Kesehatannya menurun. Dan berbagai barang yang ia miliki, terancam disita bank.

Ia tak punya harapan lagi untuk melanjutkan hidup secara normal. Dan pada suatu hari, ia memutuskan melakukan perjalanan di sebuah gunung. Di sana, ia tersadar oleh tindakan kekasihnya yang memberi kado natal disertai sebuah surat ucapan terima kasih.

Dari situ, ia bertekad membuat 365 surat ucapan terima kasih kepada siapapun yang ia temui: Anak, bawahan di kantor, rival, hingga seorang karyawan Starbuck.

Isi ucapan terima kasih itu pendek saja. Tetapi, memuat hal-hal yang ia rasakan secara jujur, berdampak, dan berbahagia.

Dengan surat-surat terima kasih itu, tak disangka beragam respon positif muncul. Ia kembali menemukan gairah dan perlahan, masalah-masalahnya kian terurai.

Apa yang dialami John, ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebuah penelitian dari Psychological Science edisi September 2018 memaparkan: menunjukan rasa syukur dengan terima kasih memiliki dampak psikologis yang baik terhadap pengirim ataupun penerima pesan.

Hanya saja, menurut Asisten Professor Pemasaran Universitas Texas di Austin’s McCombs School of Businnes, Amit Kumar, orang-orang tak ingat kapan terakhir berterima kasih, dan mereka cenderung dihinggapi rasa canggung.

Padahal, dengan berterima kasih, seseorang cenderung akan menerima reaksi positif. Dan itu amat baik untuk peningkatan kualitas hubungan seseorang.

**

Di masa kanak-kanak, orangtua gemar mengajari banyak hal. Dua di antaranya adalah mengucap maaf bila memiliki kesalahan. Dan melantunkan terima kasih ketika diberi sesuatu oleh orang lain.

Di masa dewasa, kita mungkin mengingat pelajaran itu. Namun, rasa canggung yang kelewat besar membuat daya tak sampai mempraktikkan itu. Alhasil, berkali-kali kita mengulang kembali penyesalan yang sama.

Mengucap terima kasih tanpa rasa canggung adalah kekuatan besar masa kanak-kanak yang amat sulit dimiliki masa dewasa. Sebab anak-anak memang lebih mulia dan lebih hebat dari orang dewasa.

“Andai saja aku di masa kanak-kanak. Pasti beban seperti ini, tak perlu terjadi”. (*)

Tags: Anak-anakMasalah HidupTerima Kasih

BERITA MENARIK LAINNYA

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory
Cecurhatan

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021
Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga
Cecurhatan

Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

February 23, 2021
Jalur Evakuasi dan Kemampuan Memaksa Diri Sendiri
Cecurhatan

Jalur Evakuasi dan Kemampuan Memaksa Diri Sendiri

February 23, 2021

REKOMENDASI

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021
Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

February 24, 2021
Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

February 23, 2021
Jalur Evakuasi dan Kemampuan Memaksa Diri Sendiri

Jalur Evakuasi dan Kemampuan Memaksa Diri Sendiri

February 23, 2021
Over Optimistis Itu Buruk

Over Optimistis Itu Buruk

February 22, 2021
Usai Sebelum Dimulai

Usai Sebelum Dimulai

February 21, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved