Pernahkah kamu memperhatikan bagaimana tembok berubah fungsi. Tak hanya menjadi pembatas antara jalan dan ranah yang tak tersentuh. Melalui mural, tembok disulap menjadi telinga, sekaligus mulut untuk bercerita. Ia mengabarkan kegelisahan, keresahan dan harapan.
Seni mural Bojonegoro tidak hanya bicara soal keindahan. Ia juga bicara soal nilai moral. Melalui seni melukis tembok inilah para seniman Bojonegoro berteriak, berbisik, dan bersenandung.
Sebagaimana di tempat lain, mural Bojonegoro sarat makna. Umumnya muncul dari keresahan-keresahan warga. Di sini lah peran mural Bojonegoro dalam mengolah pesan rakyat untuk para pemimpinnya. Pesan para penggemar untuk idolanya.
Hari ini mural Bojonegoro lebih didominasi dengan pesan-pesan soal Persibo Bojonegoro. Keresahan-keresahan perihal tim kesayangan masyarakat Bumi Angling Dharma ini banyak diungkapkan dengan mural. Gambaran ini bisa dilihat di Jalan Dokter Soetomo, Jalan Diponegoro, dan jalan AKBPM Suroko, Kota Bojonegoro.
Apapun pesannya, bagaimanapun bentuknya, ini adalah aspirasi, ekspresi, dan sekaligus karya seni. Bagi yang melihat keindahannya, tentu ini bisa dinikmati. Sedangkan bagi yang merasa dikirimi pesannya, seyogyanya tergugah. Melakukan sesuatu untuk menjawabnya.
Pesan juga bisa disampaikan dalam banyak media. Tembok— yang sejatinya sekat bangunan, pelindung bagi penghuninya—juga bisa menjadi medium pesan. Ia berubah jadi mulut, sekaligus telinga. Berwujud mural yang sempurna.
Mural di Bojonegoro memang belum seindah dan se-advance di kota besar. Tapi kelak akan berkembang pada masanya. Seiring dinamika dan kompleksitas komunikasi serta budaya seni para penduduknya.