Terkikisnya kesantunan psikologis dan keta’dhiman humanistik antar sesama, harus ditanggulangi dengan bermacam cara. Satu diantaranya: Litera Aswaja.
Litera Aswaja merupakan program literasi dengan tema pokok berporos pada khasanah budaya Aswaja. Baik budaya klasik maupun budaya kontemporer, untuk senantiasa dibaca, dibahas, dan diabadikan.
Sebagai Manhajul Fikr, ahlussunah wal jamaah (Aswaja) tak hanya berurusan pada giat-giat ubudiyah (peribadatan) saja, tapi juga giat kebudayaan dengan bermacam hikayat-hikayat menariknya.
Hal itu yang membuat Aswaja teramat kaya akan berbagai macam sumber ilmu pengetahuan. Baik pengetahuan berorientasi literatur ilmiah, maupun kaidah akhlak uswatun hasanah dari para pendahulu.
Adanya unsur budaya melalui bermacam tarikh hikayat, beserta kisah-kisah moral yang tak melulu menggurui, jadi alasan budaya Aswaja harusnya selalu bisa kontekstual terhadap bermacam gejolak zaman.
Meski, harus diakui, banyak pula generasi muda yang belum memahaminya (karena kurangnya stimulus informasi) sehingga bermacam khasanah penting itu luntur ditelan modernisasi teknologi.
Masalah yang muncul di tiap zaman, wabilkhusus era disrupsi teknologi seperti saat ini, adalah merosotnya kualitas kesantunan psikologis dan keta’dhiman humanistik antar sesama. Tentu saja ini sudah jadi pembahasan para ahli pendidikan.
Generasi kiwari punya kecenderungan bergerak secara cepat dan militan. Namun rentan nabrak-nabrak batas kemanusiaan, hanya karena orientasi kehidupan yang kian hari kian berporos pada kompetisi tiada henti.
Generasi saat ini, diakui atau tidak, tiap hari dijejali motivasi untuk selalu berprestasi, berkompetisi, menang-menangan, dan memenangkan segalanya. Namun, lupa tak diajari bagaimana cara berdedikasi (berkorban).
Hal itu diperparah dengan adanya variabel eksternal berupa teknologi yang memanjakan sisi fisik manusia. Praktis, selain hanya ingin berkompetisi tiada henti, mereka juga mulai lupa sisi kemanusiaan orang lain.
Kesantunan Psikologis dan Keta’dhiman Humanistik
Sikap santun antar sesama, dan sikap ta’dhim (respect) terhadap orang lain, kian lama kian hilang ditelan kebudayaan. Padahal, manusia dikatakan berbudaya ketika mereka memiliki sikap santun dan ta’dhim (akhlakul karimah) pada sesama. Bukankah ini ironis?
Lalu, apa yang akan terjadi jika sekolah hanya mengajarkan cara untuk berprestasi dan cara untuk memenangkan bermacam perlombaan? Bukankah itu semacam memberi efek booster pada sikap yang tak manusiawi?
Sejak kecil anak-anak diminta untuk pandai ini-itu agar bisa masuk sekolah favorit, lalu menjadi juara, dan masuk universitas favorit, lalu menjadi juara, lalu lulus dengan predikat tertinggi, untuk kemudian kehilangan sikap manusiawi. Inilah masalah yang sesungguhnya kita hadapi.
Menjadi cerdas dan berilmu tentu perkara yang sangat penting. Sebab, Tuhan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Tapi, memiliki ilmu tanpa mengenal konsep dedikasi tentu perihal salah yang teramat fatal.
Terlebih, ilmu pengetahuan punya sifat sentimentil. Sentimen keilmuan mirip khodam binatang buas di dalam tubuh manusia. Ia tak segan keluar dan menyerang siapapun yang berbeda pandangan, atas nama kebenaran. Bukankah ini sangat berbahaya?
Di sinilah pentingnya mengenalkan anak-anak kita pada konsep dedikasi. Sehingga, anak-anak dibekali ilmu beserta segembol pemahaman tentang dedikasi. Tujuannya, agar mereka tak kehilangan sisi manusiawi berupa kesantunan psikologis dan keta’dhiman humanistik antar sesama.
Dan di poin inilah, kita akan tahu betapa formula penting yang sangat dibutuhkan anak-anak kita adalah percontohan yang baik. Dan percontohan yang baik, ada di dalam bermacam khasanah hikayat Aswaja, kisah nyata yang oleh zaman dikenal sebagai dongeng belaka.
Sudah waktunya generasi digital saat ini kembali dikenalkan tentang kisah-kisah hikayat para Salafusholeh. Hikayat para Aulia yang penuh dedikasi. Sehingga kehidupan generasi penerus bisa seimbang. Bisa berkompetisi dan lihai berdedikasi.
Sudah waktunya kita mengangkat kembali kisah-kisah tentang kesabaran-kesabaran, kerelaan-kerelaan, dan pengorbanan-pengorbanan orang-orang terdahulu sebagai stimulus karakter positif para remaja dan generasi muda.
Ada banyak sekali bahan-bahan ajar untuk menghadirkan kisah-kisah manusiawi tersebut. Selain melalui contoh langsung berupa orang-orang saleh yang eksistensinya masih bisa dijangkau, juga bisa melalui bermacam buku dan kisah-kisah hikayat.
Sejumlah judul buku seperti Hilyatul Aulia, Tadzkirotul Aulia, Qisosul Aulia, dan buku-buku bergenre sama, sangat membantu kita sebagai bahan ajar untuk anak didik. Tentu, kisah-kisah itu bisa direpro dan dimodif sesuai konteks zaman, dengan esensi yang tetap sama.
Litera Aswaja
Litera Aswaja merupakan edukasi literatur yang berbasis pada khasanah Aswaja. Litera Aswaja tak fokus pada konsep ubudiyah. Namun lebih pada khasanah hikayat dan kebudayaan.
Di era digitalisasi, khasanah dan budaya keaswajaan harus sering diangkat ke permukaan. Sebab, rentan hilang dan terlupakan. Karena itu, harus sering dibahas dan ditulis. Di sinilah fungsi dan tugas Litera Aswaja.
Litera Aswaja fokus pada penulisan dan pembacaan manakib-manakib ulama, kisah-kisah dan hikayat perjuangan ulama, karya-karya ulama, dan budaya-budaya Islam Nusantara yang ramah, beradab, dan wasathiyah.
Selain membahas dan melakukan pembacaan-pembacaan, Litera Aswaja juga melakukan giat-giat pengabadian. Yakni aktivisme kepenulisan. Baik menulis kembali kisah-kisah klasik sesuai konteks zaman, atau menulis kisah hari ini untuk masa depan.
Mengabadikan dan menulis khasanah Aswaja adalah perjuangan mulia. Dengan niat agar generasi setelah kita, selalu terhubung dan nyambung pada perjuangan yang sama.
Ini alasan kenapa pemahaman tentang kultur Aswaja harus terus diperbaharui. Tujuannya sederhana: agar kelak, generasi setelah kita, tak kehilangan daya juang keaswajaan yang telah diperjuangkan generasi sebelumnya.
Khasanah budaya dan aktivisme Aswaja harus terus diabadikan. Dimulai dari hal-hal terdekat. Seperti mencatat perjuangan kiai musala di kampung-kampung kita, atau mencatat dan menelusuri sejarah berdirinya musala di kampung kita. Memang terkesan remeh, tapi hakekatnya tidak.
Dengan mencatat dan menulis itu semua, sesungguhnya kita telah peduli pada apa yang diperjuangkan orang-orang tua kita terdahulu. Dan dengan peduli, berarti kita ikut serta dalam menjaganya. Sehingga kelak, tak mudah direbut dan disalahgunakan ormas-ormas Islam yang berbahaya.
Madrasah Alternatif Guratjaga sedang dan akan selalu mengampanyekan pentingnya Litera Aswaja bagi dunia pendidikan kita. Kami percaya bahwa apa yang kami perjuangkan tak akan pernah sia-sia. Meski hasilnya baru terlihat kala kami telah tiada.