Hidup kadang tak selalu sesuai pilihan. Dalam hidup, tak ada jaminan terus bahagia. Seperti halnya siang berganti malam. Seiring berjalannya waktu—gelap, sunyi, bahkan menyebalkan bagi beberapa orang.
Namun tak semua orang membenci malam. Ada di antara kita yang sangat menyukai hadirnya malam bahkan ia selalu menantikan kehadiran malam karena hanya di kegelapan malam, gemerlap sinaran bintang dan rembulan dapat dilihat.
Hanya di kegelapan malam lah, hembusan angin segar tanpa polutan yang tertiup, seakan bisa membinasakan gundah gulana. Dan sunyinya malam dapat menyembuhkan luka kegaduhan.
Mungkin bagi beberapa orang, tak bisa merasakan indahnya hidup saat malam hari. Sebab mereka hanya merasakan sisi gelapnya saja. Tapi, percayalah, ia akan merindukan hadirnya malam ketika malam telah binasa dan pagi datang. Dan ia akan menyadari telah menyia-nyiakan momen yang tak sempat ia rasakan keteduhannya itu.
Jika ia dapat menyadari di awal waktu senja, mungkin ia tak akan tidur terlelap membiarkan malam kesepian dalam sunyi. Ia, pasti akan terus berteman dengan malam dan tak akan memejamkan matanya walau sedetik, karena ia tahu betapa menyenangkan berteman dengannya.
Kini, entah kenapa kerinduanku pada salah satu orang tuaku menyeruak tak karuan. Aku rindu pada belaian kasih sayang yang dulu pernah ia berikan kepada kami, aku dan adikku satu-satunya, hingga seakan kita tak pernah terpisahkan oleh siapapun.
Bercanda ria bermain bersama, kejar-kejaran kesana kemari layaknya orang yang tak mempunyai beban hidup. Kami jalani semuanya dengan penuh kedamaian. Jarang sekali kutemui anak yang bisa bermain bersama orang tuanya, dan aku adalah anak yang paling beruntung bisa memiliki orang tua seperti dia.
Tapi entah kenapa dia diciptakan dengan karakter yang berbeda dengan orang tua lainnya, dia diciptakan dengan amarah yang sungguh luar biasa hingga pada akhirnya amarahnya tak dapat terkontrol dan kita semua terberai.
Orang tua selalu bertengkar pagi siang sore bahkan di malam hari pun teriakan menggelegar bisa didengar oleh orang yang tinggal di sekeliling rumah kami. Aku dan adikku pun mendengarnya. Sesekali air mataku menetes dengan lembut dan pelan-pelan takut ada orang yang mengetahui.
Aku selalu sedih ketika harus mengetahui hal itu terus terjadi dalam hidupku. Bagi anak kecil lain seusiaku, 7 tahun, mungkin mereka selalu mendapat balutan lembut dari kedua orang tua mereka. Berbeda dengan nasibku yang dihidupi amarah, teriakan suara setiap saat, bahkan sesekali tamparan keras terdengar oleh telingaku.
Aku sedih ketika harus hidup dalam ekosistem yang seperti ini. Waktu itu adikku belum mengerti apa-apa karena memang usianya yang masih sangat balita. Mungkin anak berusia 7 tahun hanya aku yang bisa merasakan goncangan dahsyat seperti ini.
Hingga pada akhirnya, rasa sayangku terhadap kedua orang tua terkikis seiring berjalannya waktu. Aku benci dengan kemarahan yang selalu kudengar setiap kali mereka ada. Bahkan sosok ayah yang dulunya selalu aku damba-dambakan, kini seakan menjadi musuh dalam selimutku.
Aku benci dengan selimut yang selama ini aku kenakan, karena dengan kehadiran selimut, ayah dapat menyelinap di dalamnya. Selama sekitar 4 tahun aku dan adikku hidup bersama dengan ayah, terpaksa karena memeng waktu itu kami dipaksa untuk mengikutinya.
Kami jalani hidup dengan penuh kesderhanaan, makan sepiring bertiga, minum harus dibagi tiga, apa-apa pasti ujung-ujungnya dibagi tiga. Hidup kami menjadi semakin rumit. Ayah yang tak bekerja, entah malas atau alasan perannya berubah menjadi bapak rumah tangga. Hingga pada akhirnya, tanah ladang kami ia jual guna memenuhi kebutuhan hidup.
Ketika aku memasuki jenjang sekolah menengah pertama, orang tuaku memutuskan agar aku sekolah di pesantren. Aku harus hidup jauh dari orangtua. Aku selalu menghawatirkan mereka, bukan takut mereka sakit, aku hanya takut mereka bertengkar lagi.
Aku tak bisa menghadapi kenyataan bahwa pertengkaran selalu saja menjadi momok utama yang selalu diperankan oleh kedua orang tuaku. Aku bosan. Aku ingin hidup damai seperti kehidupan teman-temanku. Mereka memiliki keluarga yang harmonis dipenuhi dengan kasih sayang.
Hingga akhirnya orangtuaku bercerai ketika aku lulus dari bangku sekolah menengah atas. Antara sedih dan senang. Sedih karena harus menghadapi kenyataan yang amat pahit. Sesungguhnya, perceraian orang tua tak sesuai realita yang selama ini aku harapkan.
Di samping itu, aku juga merasakan senang. Sebab dengan berpisahnya kedua orang tua, aku tak lagi hidup berkecamuk dengan amarah dan pertengkaran. Dan yang jelas, sejak kejadian itu aku sangat membenc sosok ayah, terutama ayahku sendiri.
Hingga terbawa sampai sekarang, aku benci semua jenis pria dalam hidupku. Aku memandang semua pria sama saja dengan ayahku, sosok yang pemarah dan melalaikan tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tangga.
Sosok ayah menjadi musuh terbesar dalam hidupku, bahkan aku tak hormat sama sekali padanya. Selalu saja kuberikan rasa acuh tak acuhku ketika sekali dua bertemu dengannya. Aku bahkan muak ketika harus menemuinya.
Berbeda dengan adikku yang masih sangat menghormatinya sebagai sosok ayah. Mungkin karena dia tidak mengerti sedari awal. Dia belum tahu apa-apa karena ia masih sangat kecil. Sedang waktu itu aku sudah besar dan sangat paham terhadap segala hal yang terjadi. Aku sangat membenci ayahku.
Dia bukan lagi sosok yang aku idam-idamkan. Selepas ia bercerai dengan ibu, dia malah kawin lagi dengan 3 wanita secara berurutan. Bajingan sekali pria itu!! berani menafkahi orang lain dan menghiraukan kewajibannya terhadap anak-anaknya yang sudah ia tinggalkan.
Dia bahkan tidak pernah memberi nafkah pada anak-anaknya. Entah kenapa hingga kini rasa benciku padanya masih sangat kental. Tidak mencair apalagi menguap. Apakah aku tergolong sebagai anak durhaka? Ah mudah-mudahan tidak.
Aku hanya ingin menjadi anak dambaan bagi orang tua. Sesekali kupanjatkan doa kepadanya ketika rindu ini menyeruak, kukirimkan doa supaya ia bisa sadar dan hilang sifat amarahnya. Tapi entah kenapa rasa benci yang menempel dalam tubuhku tak pernah hilang dan mungkin akan selamanya menempel dengan lekat.
Hingga kini, aku memang belum punya pacar. Mungkin masa laluku yang suram menakdirkanku untuk tetap menjadi jomblo hingga pada waktunya nanti, aku dipertemukan dengan pria yang tepat, yang lebih bertanggung jawab serta penyayang. Berbeda dengan sosok ayah yang kukenali.