Selain Manuskrip Padangan, Manuskrip Kasiman melengkapi temuan ilmiah terkait keberadaan Pesantren Betet dan kronik peradaban islam abad 19 di wilayah Bojonegoro.
Manuskrip Kasiman jadi fakta sahih yang memperjelas besarnya peradaban islam di wilayah Bojonegoro pada akhir abad 18 (1790 M) dan awal abad 19 (1800 M). Manuskrip itu, jadi bukti ilmiah aktivitas Pesantren Betet yang berdiri pada dekade pertama periode 1800 M.
Desa Betet Kecamatan Kasiman pernah jadi pusat peradaban islam abad 19 (periode 1800 M) di wilayah Bojonegoro, yang kala itu masih bernama Biladi Jipang Padangan. Hal ini sahih tercatat dalam sejumlah lembar manuskrip.
Dalam satu kardus manuskrip yang ditemukan di Desa Betet tersebut, terdapat sejumlah naskah dan manuskrip. Di antaranya; 1 bendel kitab Tafsir Jalalain, 2 bendel Mushaf Quran, 1 bendel Kitab Tauhid, 1 bendel Kitab Qisosul Hijra Nabi, dan 1 bendel kitab Minhajul Abidin.
Itu belum termasuk lembaran catatan sejarah, catatan sanad thoriqoh, hingga kitab wafaq mujarobat. Mengingat, seperti halnya manuskrip-manuskrip yang ditemukan di Padangan, dalam satu bendel kitab, berisi lebih dari satu pembahasan disiplin ilmu.
Terkait tinjauan isi yang lebih mendalam, masih dilakukan proses scaning dan identifikasi. Namun, dari amatan sederhana, cukup banyak informasi terkait peradaban intelektual islam di wilayah Kasiman. Wabilkhusus keberadaan Pesantren Betet.
Seperti halnya Manuskrip Padangan, Manuskrip Kasiman ditulis pada periode 1820-an M. Tepatnya di era kepengasuhan Syekh Syihabuddin (muasis) dan Syekh Syamsuddin (pengasuh kedua). Dalam kumpulan manuskrip tersebut, terlihat Syekh Syihabuddin menulis kitab tasawuf Minhajul Abidin dengan nama pena Abu Zar Albansary. Sebab, Syekh Syihabuddin memang lahir di Bancar Tuban.
Manaqib Syekh Syihabuddin: Ulama yang Melahirkan Banyak Penyebar Islam abad 19
Manuskrip dengan usia lebih dari 200 tahun tersebut, sampai saat ini masih tersimpan rapi di salah satu ndalem dzuriyah dari Syekh Syihabuddin Alfadangi. Selain manuskrip, pilar-pilar kayu bekas bangunan Pesantren Betet juga masih terjaga sebagai lantai musala.
Manuskrip Kasiman menyinggung nama-nama besar yang selama ini masyhur keramat seperti Mbah Syihabuddin, Mbah Syamsuddin Betet, hingga Mbah Tohir Syihabuddin. Dalam lembar manuskrip juga terdapat nama Mbah Nurmaddin Kedungpring Lamongan, sebagai bagian dari jejaring intelektual islam abad 19.
Serupa halnya di Padangan, di Kasiman, figur-figur yang selama ratusan tahun dikenal sebagai figur Keramat Wilayah, sesungguhnya adalah ulama intelektual yang berdakwah dan berkarya secara bil-ilmi di dunia nyata pada zamannya.
Dalam konteks genealogi peradaban, Kasiman adalah adik kandung Padangan. Tak heran jika nama-nama ulama yang pernah berdakwah di Kasiman bernisbat Alfadangi. Sebab, selain waktu itu Kasiman bagian dari wilayah Biladi Jipang Padangan, mereka juga masih satu rumpun keluarga besar Fiidarinnur.
Riwayat Pesantren Betet
Selama ratusan tahun, Pesantren Betet terdengar serupa mitos nan melegenda. Sebab, hanya diceritakan dalam konteks bil-ghaib saja. Namun sesungguhnya, keberadaan Pesantren Betet merupakan fakta sahih nan ilmiah, yang terbukti secara bil-ilmi dan bil-data empiris.
Nama Pesantren Betet juga disinggung Syekh Abdurrohman Klotok dalam salah satu lembar Manuskrip Padangan. Terutama saat beliau menceritakan keberadaan adik kandungnya, Nyai Betet, dan adik iparnya, Syekh Syihabuddin, yang mengajar santri di Pesantren Betet.
Pesantren Betet didirikan Syekh Syihabuddin Alfadangi (Mbah Syihabuddin Betet) sekitar tahun 1225 H (1810 M). Pesantren Betet berafiliasi secara langsung dengan Pesantren Klotok yang didirikan Syekh Abdurrohman Klotok pada 1218 H (1803 M). Keduanya masih satu rumpun dalam keluarga Bani Fiidarinnur.
Pesantren Betet berhubungan kuat dengan Pesantren Klotok. Syekh Syihabuddin (muasis Pesantren Betet) adalah saudara Syekh Abdurrohman Klotok (muasis Pesantren Klotok). Selain saudara keponakan, Syekh Syihabuddin adalah adik ipar Syekh Abdurrohman.
Baca Juga: Pesantren Klotok, Bukti Empiris Peradaban Islam Era Kolonial di Bojonegoro
Dua Jalur Dakwah
Jika Syekh Syihabuddin dikenal sebagai Aulia Sohib Wilayah utara, Syekh Abdurrohman dikenal Aulia Sohib Wilayah selatan sungai Padangan. Tak heran jika manuskrip yang ditemukan di Betet Kasiman, punya kemiripan dengan manuskrip yang ditemukan di Klotok Padangan.
Terkait kedekatan dua ulama tersebut, masyhur sebuah kredo: Nek pengen alim ngajio ning Mbah Abdurrohman, nek pengen jadug kanuragan ngajio ning Mbah Syihabuddin. Jika ingin alim (fiqih dan Quran) belajarlah pada Syekh Abdurrohman, jika ingin jadug (tasawuf dan ilmu hikmah) kanuragan, belajarlah pada Syekh Syihabuddin.
Kredo itu pun terbukti. Pada awal abad 20 (periode 1900 M), di wilayah Jipang Padangan terdapat dua jalur dakwah. Yakni jalur kejadugan dan jalur kealiman. Ada ulama-ulama alim penulis kitab, ada ulama sufistik yang kebal senjata. Keduanya saling melengkapi dan sesuai kebutuhan zaman. Mengingat, waktu itu para ulama berdakwah di bawah ancaman Belanda.
Syekh Syihabuddin wafat dan dimakamkan di Kuncen Padangan circa 1277 H (1860 M). Pasca wafat Syekh Syihabuddin, Pesantren Betet diasuh menantu beliau yang bernama Syekh Syamsuddin (Mbah Syamsuddin Betet). Di era inilah, Pesantren Betet menjadi sangat terkenal hingga ke berbagai daerah.
Kemunculan 200 Tahun Sekali: Sanad Ideologis dan Nasab Genealogis
Pesantren Betet dan Pesantren Klotok berupaya membangkitkan peradaban Menak Anggrung (berdiri pada 1009 H / 1600 M) yang sempat hilang akibat kecamuk perang. Tepat 200 tahun pasca era Pesantren Menak Anggrung, yakni periode 1215 H (1800 M), Pesantren Klotok dan Pesantren Betet berdiri.
Peradaban islam di Jipang Padangan, kerap mengalami kemunculan tiap 200 tahun sekali. Hal ini sesuai periodisasi. Pesantren Menak Anggrung melanjutkan era dakwah Syekh Nursalim Tebon sekitar 200 tahun sebelumnya. Sementara Syekh Nursalim Tebon melanjutkan dakwah era Sayyid Jamaluddin Akbar sekitar 200 tahun sebelumnya.
Pesantren Betet dan Pesantren Klotok berafiliasi dengan Pesantren Menak Anggrung, baik secara sanad ideologis maupun nasab genealogis. Sebab, keduanya masih terhitung dzuriyah Mbah Sabil, dari putri yang bernama Nyai Jabbar binti Sabil.
Syekh Syihabuddin (muasis Pesantren Betet) adalah keturunan ke-4 Syekh Abdul Jabbar Jojogan, dan keturunan ke-5 Syekh Sabil Menak Anggrung. Nasabnya: Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Khatib bin Jabbar (menantu Syekh Sabil).
Sementara Syekh Abdurrohman (muasis Pesantren Klotok) juga keturunan ke-4 Syekh Abdul Jabbar, sekaligus keturunan ke-5 Syekh Sabil Menak Anggrung. Nasabnya: Abdurrohman bin Syahiddin bin Sayyidi bin Khatib bin Jabbar (menantu Syekh Sabil).
Selain itu, Syekh Syihabuddin juga adik ipar Syekh Abdurrohman. Sebab, adik kandung Syekh Abdurrohman yang bernama Nyai Betet, menikah dengan Syekh Syihabuddin yang kelak menurunkan banyak ulama penyebar islam di sejumlah daerah di Jawa Timur.
Selain dalam bidang keilmuan klasik, keberadaan manuskrip (Manuskrip Kasiman dan Manuskrip Padangan) juga punya peran besar dalam menjelaskan peradaban islam sebelum Perang Diponegoro (1825 M). Ini alasan telaah ilmiah teramat penting agar penggambaran peradaban tak sekadar lewat dongeng.