Pesantren Klotok Padangan, merupakan episentrum dan pilar persebaran islam era kolonial. Keberadaannya terbukti secara ilmiah dan empiris mempengaruhi munculnya sejumlah pesantren abad ke-19 di Bojonegoro dan Tuban.
Selama ratusan tahun, Klotok dikenal sebagai satu di antara sejumlah tempat keramat di Padangan. Selain Tebon, Kuncen, Oro-oro Bogo, dan Ngasinan, Klotok identik wilayah sepuh nan bertuah. Ia masyhur lokasi keramat, bahkan sebelum era Perang Diponegoro dimulai (1825 M).
Selain sebagai lokasi riyadhah, Klotok masyhur tanah yang tak bisa dimasuki pasukan penjajah. Sampai saat ini, siapapun yang memakai pakaian seragam dinas kerja, tak dibolehkan berziarah ke makbaroh Klotok, sebelum melepas dan mengganti pakaiannya. Sebab, seragam identik dengan pasukan penjajah.
Dulu, para peziarah yang ingin membuka lahan, membangun rumah, atau mendirikan sekolah, bertabaruk dengan mengambil segenggam tanah di makbarah Klotok sebagai azimat. Sampai saat ini pun, jika membahas Klotok, jawaban yang pertamakali muncul, kemungkinan besar terkait kisah keramatnya.
Kemasyhuran Klotok sebagai wilayah keramat, tak lepas dari figur Mbah Klotok, sosok melegenda yang membuka wilayah Klotok. Riwayat Mbah Klotok dipenuhi kisah dan hikayat keramat. Alhasil, sisi karomah jauh lebih dikenal dibanding sisi ilmiah peradaban islam yang pernah ada di sana.
Sampai tahun 1990-an, masih banyak peziarah dari berbagai daerah yang bertabaruk di Klotok dengan mengambil tanah hingga mencuil nisan di lokasi makbaroh Klotok. Tak hanya itu, banyak pula yang mengambil serpihan kayu dari kentongan dan bedug masjid Klotok. Untuk menghindari hal-hal tak diinginkan, akhirnya pihak keluarga mengamankan benda-benda itu.
Fakta Ilmiah Wilayah Klotok
Sesungguhnya, secara ilmiah, Klotok merupakan pusat peradaban islam. Klotok sendiri, adalah nama sebuah pesantren. Nama Pesantren Klotok tertulis dengan jelas di sejumlah lembaran manuskrip sebagai ranah intelektual islam awal abad ke-19 (1800 M) di Kabupaten Bojonegoro.
Sementara figur Mbah Klotok, adalah Syekh Abdurrohman Klotok, ulama faqih nan ahli Quran yang menulis banyak kitab dan melahirkan para ulama penyebar islam di era setelahnya. Nama lengkap beliau adalah Syekh Abdurrohman ibn Syahiddin ibn Sayyidi al-Fadangi (1776-1877 M). Nama lengkap itu ditulis beliau sendiri di salah satu lembaran kitab.
Baca Juga: Syekh Abdurrohman Klotok, Keramat Intelektual Peradaban Fiidarinnur Padangan
Nama Pesantren Klotok tertulis secara jelas di sejumlah lembar manuskrip, sebagai nama pusat pembelajaran dan pendidikan islam. Sementara di sejumlah kitab karya Mbah Klotok pun, nama Pesantren Klotok juga sering muncul sebagai nisbat lokasi penulis kitab.
Dalam sebuah catatan yang sempat kami temukan, Mbah Klotok membangun Pesantren Klotok pada tahun Alif 1218 H (1803 M). Dalam catatan itu, beliau bercerita, pembangunan Pesantren Klotok bersamaan dengan suasana geger (perang) Negara Jipang Padangan.
Bukti Empiris Keberadaan Pesantren Klotok
Ada cukup banyak bukti empiris terkait keberadaan Pesantren Klotok. Terutama di sebagian besar manuskrip yang ditulis Mbah Klotok. Sebab, mayoritas kitab yang beliau tulis, selalu menyertakan kolofon yang berisi lokasi selesainya penulisan kitab-kitab tersebut.
Kitab-kitab yang ditulis Mbah Klotok pada tahun 1236 H (1821 M) hingga 1270 H (1854 M), sangat detail dalam menyertakan informasi. Dari sematan informasi itulah, nama Pesantren Klotok bisa diketahui secara ilmiah.
Dalam lembaran di atas, terdapat keterangan amat rinci: Hari rabu malam waktu (duha?), bulan puasa tanggal 13 tahun Dal 1236 H (14 Juni 1821 M). Pemiliknya berada di negara Jipang Padangan Kampung Pakuncen. Kitab ditulis di negara Blora, di wilayah Kedungkluweh. Wa sohibul Kitab Fath al-Muin Tuan Haji Abdurrohman Fiidarinnur.
Syekh Abdurrohman sangat rinci dalam menulis informasi terkait sebuah kitab. Mulai dari waktu penulisan, hari, bulan, tahun, hingga lokasi penulisan. Dari informasi yang tersemat dalam lembaran kitab-kitab itulah, nama Pesantren Klotok sering tertulis secara jelas, sebagai pusat pendidikan islam.
Kitab Al Manasik Haji ini, ditulis Mbah Klotok pada tahun Dal 1255 H (1839 M), saat beliau berada di Makkah. Dalam kitab tersebut, beliau menjadikan nama Pesantren Klotok sebagai nisbat dan lokasi tempat tinggal sang penulis. Nama Pesantren Klotok tertulis amat jelas sebagai sebuah nama pesantren.
Di tahun yang sama, beliau juga menulis dua kitab lain berjudul Fiqih Haji dan Ijarah al- Madinah. Ketiganya beliau tulis saat berada di Makkah. Ini dibuktikan dengan kalimat: watuktabal kitab fi biladil Arob. Lalu disusul kalimat: wasohibul kitab Tuan Haji Abdurrohman ing Dusun Pesantren Klotok Negara Padangan.
Kitab berjudul Hadits Nisfu Syaban di atas, ditulis Mbah Klotok pada tanggal 10 Jumadil Akhirah tahun Ze 1270 H (10 Maret 1854 M). Dalam akhir kitab, ada kalimat berbunyi: Wa fi kitabil kitab fi bahri Ghobab. Wasohibul kitab Tuan Haji Abdurrohman Fiidarinnur, wa fil koryah Pesantren Klotok.
Kitab hadits ini ditulis saat berada di atas kapal laut, di tengah samudera Ghobab. Di lembaran ini juga tertulis nama Pesantren Klotok sebagai nisbat penulis kitab. Dua hari setelahnya (masih di atas kapal laut), tepatnya tanggal 12 Jumadil Akhirah Tahun Ze 1270 H (12 Maret 1854 M), Mbah Klotok menyelesaikan sebuah kitab tasawuf berjudul Fath al-Mannan.
Dalam catatan akhir kitab tasawuf Fath al-Mannan, terdapat keterangan: watuktabal kitab fi bahri Ghobab wa fi safaril hajj mimbiladil Arob wal madinatu Rasulullah Saw. ini bukti bahwa beliau menulis di sela-sela perjalanan laut.
Sebagian besar kitab Mbah Klotok ditulis di atas kapal laut. Terutama saat perjalanan pulang-pergi dari Makkah dan negeri Timur Tengah. Informasi tersebut selalu beliau tulis di lembar akhir kitab. Mbah Klotok sangat detail dan tertib dalam melampirkan bermacam informasi terkait penulisan kitab.
Lembaran di atas ditulis pada tanggal 10 Sela/Dzulqaidah tahun Za 1270 H (5 Agustus 1854 M), saat berada di Baitul Maqdis, Palestina. Lembaran ini ditulis selang 5 bulan setelah beliau menyelesaikan kitab Hadist Nisfu Syaban dan Fath al-Mannan.
Dalam lembaran akhir kitab ini, beliau menyertakan sebuah kalimat: Wasohibul kitab Tuan Haji Abdurrohman fi Bilad Jipang Padangan wa fi Daril Pesantren Klotok, wa tktabul kitab fi Biladil Arob.
Itu sedikit di antara bukti-bukti empiris dan sahih dan ilmiah terkait keberadaan Pesantren Klotok sebagai pusat peradaban islam era kolonial (periode 1800 M) di Bojonegoro, yang waktu itu masih dikenal dengan Biladi Jipang Padangan.
Keberadaan Pesantren Klotok sebagai episentrum peradaban islam, juga dibuktikan dengan banyaknya santri Mbah Klotok yang kelak mendirikan pusat-pusat peradaban islam di wilayah Bojonegoro dan Tuban. Hal ini juga terbukti secara empiris melalui peninggalan-peninggalan pesantren yang sampai saat ini masih bisa dijumpai melalui bermacam riwayat.
Para Dzuriyah dan Santri Klotok
Mbah Klotok atau Syekh Abdurrohman Klotok dan istrinya memang tidak dikaruniai keturunan. Namun, adik kandung Syekh Abdurrohman yang bernama Nyai Syihabuddin, memiliki tujuh putra-putri yang kelak diasuh dan diangkat anak Syekh Abdurrohman Klotok.
Tujuh keponakan sekaligus anak angkat yang diasuh Syekh Abdurrohman Klotok adalah; Kiai Abdul Latif Syihabuddin, Nyai Wajirah Syihabuddin, Kiai Abdullah Syihabuddin, Kiai Tohir Syihabuddin, Kiai Murtadho Syihabuddin, Nyai Jono Syihabuddin, dan Kiai Syahid Syihabuddin.
Ketujuh anak angkat sekaligus para santri Klotok tersebut, kelak menjadi penyebar islam dan melahirkan peradaban-peradaban islam baru di sejumlah daerah. Terutama di wilayah Bojonegoro dan Tuban.
Selain ketujuh anak angkat tersebut, Mbah Klotok juga mengasuh saudaranya yang lain, yakni Kiai Syamsuddin. Kelak, Kiai Syamsuddin menjadi bagian dari keluarga besar Bani Syihabuddin, karena dinikahkan dengan Nyai Wajirah binti Syihabuddin.
Selain Kiai Syamsuddin, Mbah Klotok juga mengasuh saudaranya yang lain lagi, yakni Kiai Abdul Qodir Munada. Kelak, Kiai Abdul Qodir Munada dinikahkan dengan Nyai Sulbiyah binti Syamsuddin, dan menjadi bagian dari keluarga besar Bani Syihabuddin.
Keluarga Bani Syihabuddin inilah, para dzuriyah Mbah Klotok yang kelak jadi pemegang estafet dakwah Mbah Klotok. Sebab, keberadaan mereka menyebar ke berbagai daerah dengan membawa misi syiar islam, melalui pendirian sejumlah pesantren.
Di luar keluarga Bani Syihabuddin, Mbah Klotok memiliki satu santri kinasih yang punya peran besar terhadap persebaran islam di wilayah Bojonegoro. Beliau adalah Sayyid Abdurrohman Basyaiban Stren (Sayyid Abdurrohman Stren). Sayyid Abdurrohman Stren masyhur sebagai ulama Waliyyun min Auliyaillah yang bermukim di wilayah Padangan selatan.
Persebaran Santri Klotok
Para santri Klotok menyebar dan membangun peradaban islam di sejumlah daerah. Di antara santri-santri Klotok yang jejaknya masih terekam jelas dengan meninggalkan peradaban dan persebaran islam, adalah :
Nyai Wajirah Syihabuddin menikah dengan Kiai Syamsuddin. Beliau mengembangkan Ponpes Betet Kasiman, peninggalan Mbah Syihabuddin. Dari Nyai Wajirah binti Syihabuddin, banyak menurunkan ulama di Bojonegoro. Termasuk KH Yasin Mruwut dan KH Muntaha (Mbah Ho) Padangan.
Kiai Abdullah Syihabuddin menyebarkan islam di Kuncen. Cucu-cucunya kelak jadi ulama besar. Yang terkenal adalah Kiai Mustajab Gedongsari bin Nyai Salamah binti Abdullah Syihabuddin, dan Kiai Zainuddin Mojosari bin Nyai Romlah binti Abdullah Syihabuddin.
Kiai Tohir Syihabuddin berdakwah di Betet Kasiman. Bersama sang ayah, Mbah Syihabuddin, beliau membesarkan Pesantren Betet yang berlokasi di Kecamatan Kasiman. Kiai Tohir tidak memiliki keturunan. Beliau mengasuh anak-anak dari adiknya, yakni Nyai Wajirah Syihabuddin.
Kiai Murtadho Syihabuddin berdakwah di Kuncen. Beliau memiliki putri bernama Nyai Mu’isyah Murtadho. Dari Nyai Mu’isyah ini, lahir seorang putra yang kelak jadi ulama besar bernama KH Muslich Shoim (pendiri Ponpes Tanggir Tuban). Mbah Muslich Shoim adalah cucu Kiai Murtadho.
Nyai Jono Syihabuddin menikah dengan Kiai Muhammad Jono Demang Mayang Kerek, Tuban. Keduanya menyebarkan agama islam di Kerek. Dari keduanya, lahir Kiai Madyani Ishaq Rengel Tuban, yang kelak menyebarkan islam di Rengel Tuban. Kiai Madyani Ishaq adalah ayah dari KH Sholeh Tsani Bungah Gresik.
Kiai Syahid Syihabuddin mendirikan Pesantren Kembangan, di Kecamatan Gayam. Pesantren Kembangan punya pengaruh besar dalam persebaran islam di wilayah Gayam, Kalitidu, Ngasem, hingga Malo. Kiai Syahid dikaruniai 20 anak yang banyak mendirikan pesantren. KH Ahmad Bisri Mbaru (salah satu muasis NU Padangan), adalah cicit Kiai Syahid.
Kiai Syamsuddin Betet yang menikah dengan Nyai Wajirah, mengembangkan Pesantrn Betet Kasiman. Beliau memiliki banyak keturunan. Di antara yang terkenal adalah Kiai Yasin Mruwut, Nyai Sulbiah (Nyai Abdul Qodir), KH Hasan Munawar, hingga Mbah Ho Padangan.
Kiai Abdul Qodir Munada yang menikah dengan Nyai Sulbiyah binti Syamsuddin, mengembangkan Ponpes Bringan. Dari keduanya, kelak lahir KH Ahmad Basyir (muasis Ponpes Al Basyiriah Pethak) dan Syekh Sulaiman Kurdi Makkah.
Sayyid Abdurrohman Stren, mendirikan Pesantren Stren di Desa Purworejo Padangan. Sayyid Abdurrohman Stren memiliki cukup banyak santri. Salah satu santri Pesantren Stren yang paling terkenal adalah KH Hasyim Jala’an. Sayyid Abdurrohman Stren adalah guru utama dari KH Hasyim Jala’an (muasis utama NU Padangan, sekaligus penulis kitab Tashrifan Padangan).
Nama santri-santri Syekh Abdurrohman Klotok di atas, kelak membangun peradaban dan punjer-punjer islam di sejumlah daerah. Ini bukti empiris dan sahih, sekaligus ilmiah bahwa Pesantren Klotok adalah peradaban islam yang kelak melahirkan banyak pesantren dan tokoh besar di wilayah Bojonegoro, Tuban, hingga Gresik dan Nganjuk.