Menulis agar abadi. Barangkali celotehan itu berlebihan kadar, yang lumrah dipakai saban orang untuk memotivasi orang untuk muluk-muluk untuk mencoretkan kelindanan berita, cerita atau kisah yang ia punyai untuk memotivasi jamak orang.
Lazimnya menulis menjadi hal yang banyak digandrungi para pembaca, yang doyan mengunggah tulisannya di beberapa website maupun koran daerah, ketimbang membaca banyak buku-buku.
Tak seperti jibunan penulis yang dikenal ulung, mereka berpikir berulang-kali untuk mencoretkan imajinatif, merekonstruksi tulisan, bahkan membakar tulisan mereka hingga mencapai puncak perfeksionis. Ada juga yang mencermatkan penulisan dari unsur lain, seperti kosa kata, gaya bahasa, maupun memperbaiki ‘value’ tulisan.
Perkara menulis bagi sebagian orang merupakan hal yang amat sukar. Bahkan dapat menimbulkan mental breakdown, membikin mikir, memicu kesedihan, bahkan membikin marah. Merengek sebab merasa insecurity merupakan hal yang lazim dijumpai oleh saban penulis untuk memikirkan imajinatif seperti apa mestinya menulis yang apik.
Bagi sebagian yang lain menulis dapat memicu penyembuhan diri karena dengan melakukan aktivitas menulis–senantiasa mampu menghapus air mata, ibarat kata mengekpresikan perasaan dalam bentuk tuangan coretan.
Motivasi untuk menulis maupun enggan menulis sekiranya lahir dari berbagai macam kepingan kebutuhan maupun kepedeaan sang penulis. Seperti sabda Dea di buku ‘Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya’ “Di mana ada penulis di situ ada cemohan”. Dari berbagai cemohan barangkali ada yang lebih brutal menyatakan coretan seorang pengarang sebagai bukan tulisan.
Keterampilan saling mencemooh menjadi hal yang lazim untuk memperbanyak memoar perihal olahan kata-kata. Walakin, saban orang punya kemampuan masing-masing dalam menuliskan sesuatu. Ada yang fokus dalam puisi, ada yang fokus dalam essai, bahkan ada yang fokus dalam cerpen maupun novel.
Persoalan mengenai pembacaan dan gak harus muluk-muluk perlu dicoretkan sesempurna macam pengarang, toh kemampuan orang berkembang sesuai pengalaman yang ia kubangi. Dan persoalan-persoalan itu tak pernah disadari saban orang untuk memotivasi dirinya sendiri terlepas apapun latar belakangnya.
Belakangan ini, muncul semacam perlombaan dalam dunia buku yakni tren target membaca buku sebanyak-banyaknya. Tren ini muncul dibarengi dengan adanya istilah bookstagram, booktuber, booktwt yang lumrah dijumpai di laman-laman media sosial.
Karena hal inilah, para pembaca mulai berpatisipasi ingin menargetkan jumlah buku yang ingin dibaca dan merampungkan buku-buku dalam sepekan bahkan hanya selang beberapa hari saja sudah khatam.
Menarget jumlah bacaan kini digandrungi anak muda, perlahan istilah cupu yang dialamatkan si kutu buku menjelma dalam bentuk tren. Mengulas buku singkat dan sebanyak-banyaknya dan membagikan target bacaan hingga mencapai 100 buku dalam setahun, 10 buku dalam sepekan, bahkan khatam buku dalam sehari.
Keranjingan buku memang diperlukan sesuai kebutuhan pribadi para pembaca, namun celakanya tren ini lumrah digunakan untuk mengkotak-kotakkan kemampuan orang lain dalam membaca hingga imbas dari penargetan buku dapat memicu rasa cemas, rasa panik, dan rasa bersalah yang muncul sebab kesulitan mengejar target bacaan yang dibikin sendiri.
Buku-buku yang berkelindan entah buku fisik maupun buku digital sepatutnya dibaca dengan alon-alon tidak beruntuk-runtun untuk mengejar target sebanyak-banyaknya. Boleh jadi kita membacanya hanya untuk mendapat validasi (pengakuan) orang lain bukan dicondongkan sesuai kebutuhan pribadi masing-masing. Perkara buku yang dituntaskan dalam waktu ringkas barangkali telah menjadi budaya yang berkelanjutan.
Bagaimana tidak, entah dipahami atau setengah paham atau mungkin tidak sama sekali. Buku-buku yang ditargetkan tak membikin pembaca menikmati buku yang ia sedang baca. Tren ini seakan-akan mengharuskan para pembaca untuk membaca buku-buku berat yang kadang-kadang tak membikin paham, justru bisa jadi dapat menyesatkan para pembaca. Buku-buku berat yang saya maksud ialah buku-buku selain novel seperti buku-buku riset, buku-buku filsafat, buku sejarah maupun buku-buku kesehatan mental.
Sejujujurnya saya percaya dengan ucapan guru saya waktu di pesantren, yakni seberapun kau membaca buku, kau tak akan mendapat ilmu tanpa seorang guru, setidaknya guru memberikan bekal pemahaman mana yang baik dan yang buruk.
Sebab dalam beberapa buku bacaan seperti buku-buku terbitan Marjin Kiri ataupun Insist Press jamak menampung kelindanan buku-buku berat yang kiranya diperlukan pengarah dalam memberikan pemahaman penuh.
Banyak istilah-istilah akademis yang jarang terdengar banyak orang. Sisi baiknya dengan adanya kosa kata maupun istilah yang berwatak akademis kita juga dapat mengetahui dan mencari tahunya di KBBI.
Dengan kata lain tren ini hendaknya melibatkan arahan dari orang yang betul-betul paham, apalagi persoalan perihal buku tidak Cuma berkitar dalam bentuk ulasan ringkas tetapi diboncengi dengan bekal pemahan yang utuh yang dapat dipetik melalui seorang guru maupun orang yang mampu menjelaskan isi yang dimuat dalam buku tersebut agar kita tak sempoyongan ketika dalam keadaan mengkhatamkan membaca.
Adapun kawan-kawan yang sempat mempertanyaiku bagaimana cara menikmati buku supaya membaca menjadi kenikmatan yang tiada hentinya
yakni dengan membaca alon-alon . Kita dapat menikmati setiap lembar dari buku yang dibaca dan menemukan makna, dengan tidak terburu-buru mengkhatamkan supaya buku-buku yang dibaca menjadi kumpulan kertas yang bermakna sekaligus teman akrabmu.
Membicangkan buku yang banyak digandrungi orang seperti buku-buku filsafat, buku-buku riset maupun buku-buku yang menggunakan istilah akademistik, saya tak muluk-muluk terburu-buru untuk paham.
Saya kebanyakan membaca buku-buku novel anak- novel perempuan, maupun buku-buku yang menyunsung isu kesehatan mental, dan sekarang kerap membaca buku-buku puisi yang sekiranya gampang merampungkannya sekali atau dua kali dudukan. Tak harus muluk-muluk maupun buru-buru melahap buku-buku berat yang meski terkadang akupun membacanya dan gak paham.
Hingga kini aku menyakini seperti layaknya mencoret itu sukar begitupun dengan membacanya. Diperlukan pemahaman yang utuh dari beberapa orang yang sudah mampu untuk menjelaskannya supaya tidak asal-asalan dalam membaca sebuah buku dan tak serta merta membagikannya ke publik.
Seperti yang terjadi pada beberapa kawanku yang meminjam buku dari perpustakaan Jenggala, yang kerap memboyong buku-buku berat. Padahal si peminjam masih dikategorikan pembaca pemula, ia mendaku setelah merampungkan isi buku yang menghimpun kalimat-kalimat akademistik yang jarang diketahui jamak orang, ia belum mampu memahaminya.
Sejak saat itulah saya menyimpulkan bahwa membaca salah satu kegiatan yang sangat sukar.
Perbedaan mengenai menulis maupun membaca–mungkin tidak akan pernah, dan tidak perlu, usai.
Meski terkadang argumen yang dihasilkan itu-itu saja, kontroversi yang menyulut perihal menuliskan supaya abadi, maupun membaca buku walau tak mengerti maknanya, semacam ini selalu jadi gerbang untuk menjajal mencermati perkara dari beragam sudut pandang. Dan, pada akhirnya, memberi ruang untuk memahami cara hidup orang lain yang mungkin saja berbeda.