Album kenangan SMA, saat dilihat saat ini, pasti bisa mengocok perut. Dari berbagai biodata, ada beberapa kemiripan nasib yang tidak disadari sejak dulu.
Mungkin saja, ketika kamu menuliskan biodata album kenangan. Kamu juga tidak menyontek teman-temanmu. Sebab, kamu nulisnya di rumah sendiri-sendiri. Entah ada ikatan pertemanan yang kuat, atau ada unsur ketidaksengajaan saja, ada yang sama.
Jika kamu satu bangku dengan temanmu. Perilakumi di sekolah tidak akan jauh darinya. Oleh karena itu, dirimu merasa aman. Aman jika tidak melakukan, karena ada temannya. Contohnya, temanmu tidak mengerjakan PR. Pasti kamu juga tidak mengerjakan PR.
Sebagian mayoritas akan berkesempatan lebih unggul, walaupun mayoritas tersebut salah. Iya salah, karena tak mengerjakan PR. Dan gurumu pun malas untuk memberi hukuman.
Teori sikap dan perilaku (Theory of Attitudes and Behavior) yang dikembangkan oleh Triandis (1980), menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh sikap yang terkait dengan apa yang orang-orang ingin lakukan. Serta terdiri dari keyakinan tentang konsekuensi dari melakukan perilaku.
Setiap guru akan memberi hukuman, jika murid yang dihukum sangat sedikit. Satu sampai lima murid. Bahkan, kalau tidak malas. Sampai semua disuruh keluar kelas. Saking kesalnya, gurumu keluar kelas dan tak mau mengajar lagi.
Kembali ke album kenangan. Album yang semata-mata besok kamu simpan dalam rak bukumu. Apa kamu kini membukanya kembali? Tentunya iya, hanya sekadar mengenang teman-temanmu yang kini jarang ketemu.
Secara otomatis, kamu akan senyam-senyum sendiri. Lebih-lebih cengengesan. Perasaanmu pasti begini. “Lha aku kok iso-isone koyo ngene gek biyen.” Semua akan terlihat “kok isoo” ketika kamu lihat 2 tahun setelahnya.
Di album, juga tertuliskan beberapa keterangan. Nama, alamat, orang tua, cita-cita, pesan, dan kesan. Yah, hanya itu saja. Tapi, kamu sadar atau tidak. Jika dirimu dulu saat ngisi itu sangat lama. Dan berpikir, bagus atau tidak ya, wqwqwq ~
Sontak, ketika kamu mengisi pada cita-cita. Kamu akan bingung, selain kamu belum punya cita-cita. Kamu juga pusing, “aku mau jadi apa ya?.” Wajar, anak pada masa SMA pasti gemar euforia. Meniru teman sebayanya.
Cita-cita, dan yang paling lucu ialah diisi. “Jadi orang yang sukses dan kebanggan orang tua,” itu sangatlah global. Sukses dalam hal apapun, kita kelak tak pernah tahu. Seakan kamu pasrah pada sang Kholik.
Dan kamu juga percaya, bahwa masa depanmu akan cerah. Secerah mentari yang terbit dari ufuk timur. Apalagi, pesan dan kesan. Kamu menulisnya dengan kata yang sangat indah.
Tapi apa, tak indah jika kamu baca saat ini. Hambar tak ada maknanya sama sekali. Sesekali kamu juga menyesalinya. Kenapa dulu dirimu menulis seperti itu? Kenapa tidak seperti ini?
Itulah pentingnya ilmu pengertahuan. Fase belajar itu bertahap. Dan fase merangkai kata-kata juga bertahap. Di masa SMA kamu juga sedikit alay. Dan ketika kamu lulus, alaymu akan mengiringi tawamu.
Begitu pula saat kamu menuliskan biodatamu. Juga hampir sama dengan temanmu. Kamu tak bisa mengelak. Karena tulisalah yang abadi. Tak bisa kamu hapus, apalagi kamu berbohong dan beralasan apapun.
Nabs, Jangan salahkan dirimu, dan jangan sesali dirimu. Masa SMA itulah yang paling indah, dan dirimu bebas mengekspresikan itu.
Kelak saat kamu menghadapi kehidupan nyata, ada hiburan yang menggelitik seketika.