Nirwan Ahmad Arsuka adalah satu di antara sejumlah penulis yang tulisannya banyak saya baca dan kagumi. Kekaguman saya padanya, lebih dari soal kepenulisan. Tapi juga ketelatenan.
Pertengahan 2017, seseorang menghubungi saya. Dia bercerita tentang gerakan literasi dan bagaimana kondisinya di berbagai daerah saat ini. Dia juga sempat menawari saya sebuah perahu. Siapa tahu, saya mau menjadikannya Perahu Pustaka. Namun saya menolaknya.
Ada dua alasan kenapa akhirnya saya menolak penawaran itu. Pertama, Bengawan Solo teramat lebar dan punya fluktuasi pasang surut yang sulit diprediksi. Dan kedua, saya dan teman-teman dekat saya, tak ada yang bisa mengoperasikan perahu dengan baik.
Meski begitu, dia tetap mendukung dan memberi semangat pada saya agar terus membunyikan dentum literasi. Gerakan literasi bisa dihidupkan melalui bermacam cara, asal ada semangat dan niat secara seksama untuk menggerakkannya.
Bahkan, untuk mempertahankan dan merawat semangat saya, dia mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah forum yang mempertemukan para penggerak literasi dari bermacam sudut bumi Indonesia. “Kamu bisa banyak belajar di sini,” katanya.
Ya, orang itu adalah Nirwan Ahmad Arsuka. Sosok sunyi di balik Pustaka Bergerak sekaligus penulis yang tulisan-tulisannya sering saya baca dan kagumi semasa masih kuliah. Praktis, saya mengenalnya melalui tulisan saja, sebelum akhirnya berkomunikasi secara langsung dengannya.
Mas Nirwan adalah sosok penulis yang tulisannya amat dalam serupa hasil penelitian. Sekaligus peneliti dan pemikir yang pemikirannya mudah dipahami layaknya membaca tulisan populer.
Sebelum mendirikan Pustaka Bergerak pada 2014 lalu, beliau merupakan kurator Bentara Budaya Jakarta milik Kompas sejak 2001 hingga 2006. Pada 2012 sampai 2014, ia menjabat sebagai Direktur Freedom Institute.
** **
Sesaat setelah lulus kuliah, saya iseng mendirikan lini pustaka yang saya kelola sendirian di rumah. Namanya Guratjaga. Bermodal buku-buku koleksi pribadi dan rumah yang mulai sepi penghuni, saya menggelar lapak dan mengumpulkan anak-anak tetangga untuk belajar dan membaca.
Guratjaga kian ramai karena banyak anak yang suka baca komik. Dari sana, saya bersyukur pernah punya hobi baca komik. Sehingga, selain punya koleksi komik, saya tak bingung ketika anak-anak bertanya soal cerita di dalam komik.
Saya tak pernah berpikir jika apa yang saya lakukan bersama Guratjaga, adalah bagian kecil dari proses membunyikan dentum-dentum literasi, sebelum akhirnya saya berjumpa Nirwan Ahmad Arsuka dan bermacam manusia yang melakukan hal sama.
Guratjaga tentu bukan giat yang berbunyi nyaring. Namun, sekadar berbunyi ala kadarnya. Sebab, tiap kali saya disibukkan pekerjaan, tiap kali pula Guratjaga minim geliat atau bahkan tak ada kegiatan.
Terlepas betapapun kecil kegiatannya, Guratjaga adalah ruang gerak pertama saya di dunia literasi. Ruang gerak yang mengantarkan saya pada bermacam ruang lain seperti Sindikat Baca, Ngaostik hingga Pustaka Bergerak.
** **
Tepat 17 Agustus 2014 silam, Mas Nirwan melakukan pengembaraan bersama dua ekor kuda miliknya. Satu kuda ia tunggangi, satunya lagi membawa perbekalan. Ia mengembara dari Pamulang, Tangerang Selatan, menuju ke Parompong, Bandung.
Dari perjalanan berkuda itu, dia lebih sering melintasi jalan perkampungan dibanding jalan raya besar. Dari sana, dia bertemu banyak anak-anak desa, berkomunikasi dan mendengar kisah mereka.
Saat Mas Nirwan bertanya pada anak-anak tersebut tentang kondisi desanya, hampir semua anak tak banyak yang tahu. Padahal, seharusnya, anak-anak usia SD sudah bisa menjelaskan tentang keunikan desa mereka.
Mas Nirwan mengambil kesimpulan bahwa kondisi anak-anak tersebut bermuara pada nihilnya buku bacaan.
Dari perjalanan yang menghabiskan waktu total sepuluh hari itu, Mas Nirwan terbersit keinginan untuk membuat perpustakaan bergerak. Keinginan itu tiba-tiba muncul di benak penikmat karya-karya Jorge Luis Borges tersebut.
Dia memiliki pandangan bahwa Perpustakaan Bergerak mampu merobohkan tembok psikologis yang biasanya ada di perpustakaan yang tidak bergerak.
Dia bercerita, ketika masih aktif di Freedom Institute, dirinya sering bertanya kepada anak-anak penduduk sekitar perpustakaan Freedom yang jarang berkunjung. Jawaban yang didapatnya seragam. Banyak anak yang merasa segan dengan kondisi perpustakaan yang bagus.
Menurutnya, perpustakaan bagus dengan koleksi lengkap tentu dibutuhkan. Tapi, Nirwan juga ingin membangun perpustakaan yang tidak ada temboknya, supaya semua bisa datang untuk membaca.
“Buku hilang nggak apa-apa, yang penting semua bisa baca.” Begitu prinsip Mas Nirwan.
Berkat kegigihan dan ketelatenan beliau mengelola dan mengordinir simpul-simpul pustaka di seluruh Nusantara, kini Pustaka Bergerak memiliki belasan lini di berbagai pelosok tanah air.
Mulai Kuda Pustaka, Noken Pustaka, Bemo Pustaka, Motor Pustaka, Jamu Pustaka, Pizza Pustaka, Cakruk Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, dan berbagai macam nama benda atau makanan yang diakhiri kata “pustaka” di belakangnya.
** **
Nirwan Ahmad Arsuka adalah penulis Indonesia yang mungkin karya-karyanya sangat sering saya baca. Dulu, saat blog pribadinya masih bisa diakses, hampir setiap hari saya membaca tulisan-tulisan Mas Nirwan di sana. Saat saya bisa berkomunikasi langsung dengannya, tentu ada rasa senang luar biasa dalam hati saya.
“Kritik dan eksperimentasi adalah tulang punggung, lebih tepat lagi: nyawa, dari ilmu pengetahuan. Dengan kritik, ilmu mengoreksi penalarannya, menyadari sekaligus memperluas batas-batas teorinya. Dengan eksperimentasi, ilmu bertanya jawab dengan alam semesta tentang hakekat-hakekatnya.”
Paragraf di atas adalah petikan pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2015. Sebuah pidato dari Nirwan Arsuka yang diberi judul Percakapan dengan Semesta. Pidato ini juga menjadi bagian dari sebuah buku berjudul Percakapan dengan Semesta.
Sepintas, Nirwan Arsuka memang mirip Nirwan Dewanto. Baik dari nama maupun bidang yang digeluti. Namun, meski Nirwan Dewanto lebih populer di kalangan penikmat puisi, Nirwan Arsuka punya banyak hal yang membikin saya, secara personal, sangat kagum.
Untuk urusan karya misalnya, tulisan Mas Nirwan merupakan tulisan-tulisan panjang penuh permenungan filosofis dan sesekali tulisan-tulisan panjang realis yang amat bercahaya. Yang jelas, tulisan Mas Nirwan selalu panjang namun tak pernah membosankan.
Tak hanya perkara menulis, gagasan-gagasannya tentang dunia pendidikan anak dan penelitian benar-benar membuat saya terkesima. Lebih dari itu, dia memiliki ketelatenan yang luar biasa dalam memegang apa yang dia upayakan dan lakukan.
Di Pustaka Bergerak misalnya, Mas Nirwan selalu fokus pada buku-buku anak. Buku-buku bagus yang dibaca anak-anak. Dia beralasan karena anak-anak masih gampang menerima gagasan-gagasan baru, mereka juga punya rasa ingin tahu sangat besar.
“Artinya pikirannya belum dididik untuk fokus pada hal-hal tertentu dan dirusak oleh sekolah. Mereka masih sangat terbuka dengan segala macam hal. Juga karena memang masa depan ada di tangan anak-anak ini.” ucapnya dikutip dari Locita.co
Dan itu, katanya, menjadi alasan kenapa sejauh ini, Pustaka Bergerak fokus pada buku-buku anak. Dia berkeyakinan bahwa anak-anak Indonesia tidak nihil minat baca. Mereka punya minat baca yang besar tapi nihil buku bacaan.
Dia menganggap bahwa sistem pendidikan di Indonesia terlalu memusuhi permainan. Padahal, dunia anak adalah dunia main-main. Sedang sistem pendidikan menjauhi dunia main-main karena sistem pendidikan kita hanya ingin menghasilkan orang yang mudah diatur.
Baginya, disiplin tetap perlu. Namun, disiplin akan muncul tanpa diarahkan. Sebab, baginya, kita akan disiplin karena kita mendapat hasil. Karena itu, harus ada alternatif cara yang mampu menyeimbangkan sistem pendidikan.
Menurutnya, anak-anak tugasnya adalah bermain. Dalam permainan itulah, seseorang menyusun gagasan-gagasan baru, mencari perspektfi-perspektif baru. Temuan-temuan besar di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kata Nirwan, sebagian besar bermula dari permainan.
“Itu kan yang diajarkan para jenius di dunia seperti Leonardo Da Vinci dan Albert Einstein, khayalan itu katanya lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini hasilnya saja, sumber-sumbernya itu pada imajinasi.” tuturnya.
Ketelatenan. Itu yang saya baca dari Nirwan Arsuka. Dia punya ketelatenan yang luar biasa dalam hal memperjuangkan gagasannya. Sebagai sarjana teknik nuklir UGM, dia bisa menjadi sosok yang kaya raya andai mau mementingkan diri sendiri.
Tapi, beliau memilih dunia literasi sebagai ladang perjuangan. Dengan kiprah yang amat luar biasa besar, dia sosok rendah hati yang tak haus pada popularitas. Terbukti, hingga kini, tak banyak yang mengulas profil pribadi tentangnya. Mayoritas mengulas kontribusi dan kiprahnya di dunia literasi dan pendidikan.
Saat melihat banyak buku, saya bisa tiba-tiba ingat perjuangan Mas Nirwan bersama Pustaka Bergeraknya. Dan saat ingat Pustaka Bergerak, saya bisa ingat lini pustaka yang pernah saya kelola, Guratjaga. Mungkin benar jika buku-buku adalah pengingat. Ingat jika ia belum dibaca.