Memang sulit menjadi tenang seperti Michael Corleone dalam The Godfather II, yang mampu tetap kalem dan logis ketika menghadapi ancaman pembunuhan padanya. Tapi…
Sehari pasca Jokowi mengumumkan ada dua WNI yang postif terjangkit Covid-19 pada 2 Maret 2020 lalu, seperti datangnya batuk-batuk di musim hujan, kabar tersebut lantas mendatangkan rasa panik pada sebagian orang.
Bahkan kepanikan itu, menyebar lebih cepat dan lebih banyak kepala ketimbang wabah yang sebenarnya, COVID-19.
Di Jakarta, orang berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan guna memborong bahan pokok, masker, dan obat-obatan, seoalah kabar yang di sampaikan Presiden itu adalah ancaman yang akan membuat sebagian orang hanya bisa mengembik di dalam kamar sampai batas waktu yang lama sekali.
Kepanikan ataupun kekhawatiran masyarakat terkait penyebaran Pandemi virus Corona di Indonesia memang cukup beralasan, di tambah belakangan, Pemerintah Pusat terkesan menutup informasi tentang persebaran virus tersebut.
Juru bicara penanganan wabah virus Corona, Achmad Yurinto pun tidak secara transparan menjabarkan lokasi keberadaan pasien yang terinfeksi serta riwayat perjalanan mereka.
Hingga Minggu, (15/3), Kemenkes hanya menginformasikan lokasi kota persebaran kasus COVID-19, seperti di DKI Jakarta, Tanggerang, Bandung, Solo, Yogyakarta, Bali, Manado, dan Pontianak, seperti dikutip dari Asumsi.co.
Pemerintah mengonfirmasi jumlah pasien yang positif terjangkit COVID-19 berjumlah 117 kasus, jumlah sembuh 8 orang, dan jumlah meninggal dunia sebanyak 5 orang (16/3), akan tetapi, jumlah ini dianggap hanya puncak gunung es.
Mengingat, tes COVID-19 yang dilakukan Indonesia diutamakan bagi orang-orang yang pulang dari wilayah terdampak di luar negeri, pernah berkontak dengan pasien yang positif Corona, atau orang yang menunjukan gejala serius pneumonia, alias pengecekan tidak dilakukan secara menyeluruh.
Setidaknya, ada dua kabar dari Pemerintah Pusat yang melempang di kepala saya. Pertama Covid-19 sudah memakan korban di Indonesia, dan ada yang sembuh. Kedua, kota di mana saya tinggali merupakan kota persebaran COVID-19, Yogyakarta.
Tetapi, saya tidak memamah mentah informasi tersebut begitu saja dan lantas buru-buru panik, kemudian mengurung diri di kamar dan memborong bahan pokok. Potensi penularan itu memang ada, akan tetapi saya berusaha tetap tenang dan tidak panik.
Jika ada sebagian masyarakat yang terlanjur takut dan panik dengan pandemi ini, kepada mereka saya tidak memiliki saran apapun, akan tetapi ada baiknya pertimbangkan kata psikiater asal Amerika bernama Arash Javanbakht ini.
“Dalam situasi panik, masyarakat cenderung ketakutan, dan ketakutan seringkali menyalip logika. Ada beberapa alasan. Pertama, logika itu lambat, sedangkan ketakutan itu cepat.”
Ini yang memicu ketika berada dalam situasi panik dan takut, malah membuat langkah antisipasi kita terhadap virus Corona menjadi berantakan, alih-alih menjalankan secara tepat bagaimana langkah yang mangkus melawan pandemi tersebut.
Memang sulit, untuk menjadi tenang seperti Michael Corleone dalam The Godfather II, yang mampu tetap kalem dan logis ketika menghadapi ancaman pembunuhan kepadanya, bahkan kepada keluarganya di suatu malam.
Susah sekali untuk setenang itu pada saat ancaman datang di mana-mana. Akan tetapi, sebagai manusia sebenarnya, kita harus mulai berusaha tetap tenang dan berpikir jernih, apalagi sudah terdengar kabar kasus COVID-19 ada yang berhasil sembuh.
Untuk langkah menghadapi Covid-19 yang bisa kita lakukan, ada banyak sekali iklan layanan masyarakat yang mengabarkannya; kita perlu rajin mencuci tangan, tidak sering-sering menempelkan tangan ke wajah, mencukupi kebutuhan gizi, dan sebisa mungkin menghindari kerumunan.
Saya berusaha menjalankan langkah tersebut dengan disiplin, makan tiga kali sehari, tetap berada di kamar saat tak mendesak untuk keluar kamar, dan mendengar musik. Tidak terlalu merepotkan, hanya saja, satu-satunya hal yang terkadang susah dihindari ialah kebosanan.
Saya, dan mungkin beberapa orang yang berada di perantauan lainya, barangkali cukup bosan ketika harus berdiam diri di kamar guna menghindari penyebaran pandemi ini.
Terlebih antisipasi itu harus dimulai dari kesadaran sendiri dan tak ada yang mengingatkan. Saya jauh dari keluarga, dan di tengah kebosanan, sesekali datang rasa khawatir tentang bagaimana kabar di rumah.
Orang tua saya berada di daerah Bojonegoro, daerah yang dikabarkan kasus COVID-19 masih nihil. Saya menelpon ibu untuk menebus kekhawatiran itu, menyapanya atau mengatakan kepada ibu agar tetap tenang, atau memberi tahu bahwa saya dalam keadaan sehat.
Kabar yang saya peroleh, semuanya dalam keadaan sehat dan masih tenang, bahkan Bapak masih berangkat bekerja, sembari di kala senggang menjalankan hobinya mengurus tanaman. Saya cukup bersyukur.
Akan tetapi kabar tersebut tidak lantas membuat potensi kasus penyebaran Corona di daerah asal saya bisa terus bersih dan secerah matahari pagi. Perlu ada mitigasi dari Pemerintah Kabupaten guna menghalau penyebaran Virus ataupun persiapan penanganan kasusnya.
Sebagaimana di daerah lain, seperti Surakarta, setelah ditemukan kasus kematian pertama yang disebabkan COVID-19. Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmoko menetapkan kota Surakarta berstatus KLB atau Kejadian Luar Biasa (13/3).
Mulai melakukan penutupan serta pembatalan acara di Solo, termasuk meniadakan car free day untuk sementara waktu, meliburkan murid TK sampai SMA, menutup kegiatan di GOR Manahan dan Sriwedari, hingga menutup destinasi pariwisata, semua itu demi mencegah penyebaran virus Corona meluas.
Begitu juga dengan beberapa pemerintah maupun pemangku kebijakan di daerah, seperti pemda Surabaya yang telah meniadakan car free day, pemda Bandung yang menutup sejumlah area publik, dan pemerintah DKI Jakarta yang meliburkan sekolah selama dua minggu serta menunda dilaksakanya ujian nasional tingkat SMA/SMK, di kutip dari Asumi.co.
Semua daerah tersebut menjalankan antisipasi sekaligus penanganan bencana pandemi virus Corona. Meskipun daerah-daerah yang saya sebut di atas memiliki jumlah pendatang dan tingkat keramian yang lebih tinggi ketimbang Bojonegoro, akan tetapi penanganan dan kabar tersebut bisa menjadi acuan antisipasi penyebaran virus Corona yang bisa di mulai pemerintah daerah, agar kasus COVID-19 tidak sampai ditemukan di Bojonegoro ataupun meluas, alih-alih berlarut larut dan membuat masyarakat merasa takut.
Dengan adanya bencana virus Corona tahun ini, saya tahu, dunia menjadi gempar, perekonomian negara boleh menurun, dan untuk sementara waktu aktivitas harian kita menjadi sedikit repot.
Akan tetapi tak ada yang perlu benar-benar kita takutkan, bahkan di Wuhan—wilayah penyebaran awal virus Corona— sudah berangsur pulih. Kita harus meyakini bahwa dunia belum mau berakhir, dengan penanganan yang baik oleh pemerintah dan masyarakat, semuanya akan lekas membaik.
Royan Muhamad Nur, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta asal Bojonegoro.